Abu al-Ash ibn Rabi – Orang yang Menepati Janji

Abu al-Ash ibn Rabi seorang sahabat Nabi yang berasal dari Suku Quraisy. Bapaknya bernama al-Rabi ibn Abdul Uzza ibn Abdi Syams, dan ibunya bernama Halah bint Khuwailid, dan bibinya adalah istri Rasuluilah saw., Khadijah bint Khuwailid. Nabi saw. menikahkannya kepada putri tertuanya, Zainab r.a.
Abu al-Ash adalah pebisnis sejati. Dalam menjalin hubungan bisnis ia sangat menjunjung tinggi kejujuran. la juga dikenal dermawan dan sangat mengasihi orang yang kurang beruntung. Karenanya, ia disukai memuliakannya.
Hubungannya dengan Rasulullah terjalin atas dasar cinta dan sikap saling menghormati. Tak pernah sekali pun terjadi perselisihan antara dirinya dan Rasuluilah, apalagi sikap saling memusuhi. Namun, tak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, begitu pun dengan hubungan baik yang terjalin antara Abu al-Ash dan Rasulullah saw. Suatu hari, Abu al-Ash bersama kafilah dagang yang dipimpinnya pulang dari perjalanan dagang yang memberinya banyak keuntungan. Mereka pulang ke Makkah dengan penuh sukacita. Namun, di perjalanan menuju rumahnya, Abu al-Ash mendengar kabar yang mengejutkan tentang Muhammad saw., yang dikatakan oleh sebagian orang Makkah telah menghina tuhan-tuhan mereka dan menyerukan agama baru, agama Islam. Tiba-riba raut mukanya berubah dan ia merasa gelisah mendengar kabar tersebut. la pun bergegas pulang untuk mencari kebenaran tentang kabar itu.
Ketika Abu al-Ash memasuki rumah dan bertemu Zainab, ia berkata, “Benarkah berita itu, ataukah semua itu hanya isapan jempol dan gosip murahan?”.
Ketika Zainab menanyakan maksud ucapannya, Abu al-Ash berkata, “Diperjalanan menuju rumah banyak orang yang berbicara tentang ayahmu. Mereka bilang, ayahmu membacakan beberapa ayat yang menurutnya diturunkan oleh Allah kepadanya”.
Zainab menjawab, “Itu bukan berita dusta, tetapi memang seperti itulah kebenarannya, seperti sinar matahari yang terang cahayanya. Telah turun wahyu kepada ayahku dan kami mengimani serta membenarkannya. Kami pun mengikuti segala yang datang kepadanya dari sisi Allah”.
Kemudian datang pemuka Quraisy menemui Abu al-Ash, dan memintanya untuk menceraikan Zainab, dan menggantinya dengan wanita lain dari suku Quraisy. Tetapi Abu al-Ash menolak permintaan tersebut karena ia sangat mengasihi istrinya. Peristiwa itu menunjukkan keteguhan hati Abu al-Ash untuk mempertahankan Zainab sebagai istrinya. Nabi saw. mendengar kabar tentang peristiwa itu dan merasa senang karenanya. Beliau tidak pernah melupakan keteguhan menantunya tersebut.
Ketika terjadi Perang Badar Abu al-Ash turun ke medan perang dan bergabung dengan pasukan musyrik. Namun, dalam peperangan itu ia tertawan oleh Abdullah ibn Jubair ibn al Nu‘man al-Anshari. Selain dirinya, ada banyak orang Makkah yang juga ditawan oleh pasukan muslim. Perang Badar menjadi momentum pertama yang menanclai kehancuran suku Quraisy. Dalam perang itu beberapa pemimpin Quraisy tewas terbunuh dan sebagian lainnya digiring sebagai tawanan.
Setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Nabi saw. Memutuskan bahwa para tawanan itu akan dipulangkan ke Makkah setelah mereka memberi tebusan. Maka, beberapa keluarga Quraisy segera mengirimkan utusan untuk menebus anggota keluarga mereka yang ditawan pasukan Muslim. sementara, Zainab mengutus adik iparnya untuk menebus Abu al-Ash dengan membawa sebuah kalung yang diberikan oleh ibundanya, Khadijah bint Khuwailid r.a., ketika ia menikah dengan Abu al-Ash.
Rasulullah terkesiap ketika melihat barang yang dijadikan tebusan oleh putrinya yang tercinta untuk membebaskan suaminya kalung itu segera mengingatkannya kepada istrinya tercinta yang telah wafat. Maka, Rasulullah saw. berkata kepada para sahabat, “Jika kalian akan melepaskan tahanan ini dan memulangkannya kepadanya (Zainab), serta mengembalikan tebusan yang diberikannya maka lakukanlah”.
Para sahabat berkata, “Baiklah, wahai Rasulullah”.
Sebelum Abu al-Ash pulang ke Makkah, Rasulullah nemuinya dan memintanya agar menceraikan Zainab karena mereka berdua memiliki keyakinan yang berbeda. Abu al-Ash menyanggupinya dan berjanji akan memenuhi keinginan Nabi saw.
Saat Abu al-Ash tiba di rumahnya dan Zainab ingin menyalaminya, ia berkata, “Islam telah memisahkan kita. Bersiaplah karena aku telah berjanji kepada ayahmu untuk ngembalikanmu kepadanya”.
Zainab berduka mendengar keputusan suaminya itu. Terapi, di sisi lain, ia juga merasa senang karena akan kembali bersua dan menetap dengan ayahandanya tercinta, Rasuiullah saw. Maka, ia segera mempersiapkan segala bekal dan kebutuhan untuk menempuh perjalanan menuju Madinah.
Untuk menemani perjalanan Zainab, Abu al-Ash meminta adiknya, Kinanah ibn al-Rabi untuk mengantarkannya ke tempat Zaid ibn Haritsah dan sahabatnya menunggu. Maka, pergilah Kinanah menuntun unta tunggangan Zainab di siang hari, ketika matahari bersinar terik. Keduanya berjalan dengan puluhan pasang mata Quraisy mengawasi. Kinanah menyiapkan busur dan tombaknya sebagai tindakan jaga-jaga menghadapi marabahaya dan rintangan dalam perjalanan.
Kaum Quraisy mengawasi kepergian Zainab dengan perasaan kesal gundah, dan dendam. Didorong kebencian yang mendalam kepada Rasuiullah, berangkatlah serombongan Quraisy mengikuti jejak Zainab. Mereka mempercepat langkah sehingga dapat menyusulnya di tempat yang disebut “Dzu Thuwa”. Laki-laki yang paling dahulu mencegat perjalanan Zainab adalah seorang musyrik yang tengah tergila-gila didera dendam kesumat kepada kaum muslim, yaitu Hibar ibn al-Aswad al-Asadi. la begitu bernafsu mengejar Zainab dan ingin mencelakakannya karena tiga saudaranya binasa terbunuh di Perang Badar oleh pasukan muslim, sahabat Muhammad, ayahanda Zainab.
Si kafir Hibar yang tak lagi memiliki kehormatan dan rasa kemanusiaan itu melemparkan tombaknya sehingga mengenai hewan tunggangan Zainab. Akibatnya, hewan itu jatuh tersungkur ke tanah dan melemparkan penumpangnya.
Dengan sigap Kinanah loncat ke sisi Zainab dan menghadang kaum kafir mendekatinya. la berseru lantang: “Demi Allah! Siapa saja yang mendekat, akan kuhunjam dengan tombakku”.
Kafir pengecut itu berbalik arah menjauhi Zainab. Abu Sufyan yang melihat peristiwa itu dari kejauhan berkata kepada Kinanah, “Jatuhkan tombakmu. Biarkan aku berbicara kepadamu”.
Kinanah menjatuhkan tombaknya dan Abu Sufyan berjalan mendekatinya. Setelah berhadapan ia berkata, “Wahai Kinanah, tindakanmu ini sungguh tidak pada tempatnya. Engkau keluar di siang hari, secara terang-terangan di tengah pandangan banyak orang. Padahal kautahu bahwa kami sedang berduka. Kautahu musibah dan kesulitan yang sedang kami rasakan akibat peperangan dengan Muhammad. Melihatmu berjalan di depan hidung mereka, tentu saja mereka merasa terhina dan murka. Tindakanmu ini telah merendahkan harga diri kami. Demi hidupku! Aku sama sekali tidak bermaksud jahat kepada putri Muhammad ini. Tetapi aku minta, kembalilah ke Makkah dan bawalah putri Muhammad ini ke rumahnya. Kelak, jika suasana sudah reda, dan orang-orang tak lagi membicarakannya, pergilah secara diam-diam, dan bawalah Zainab kepada Ayahnya”.
Kinanah menuruti ucapan Abu Sufyan. Namun, ketika hendak beranjak pergi, ia mendengar jerit kesakitan Zainab. Kinanah melihat bercak-bercak darah di kaki Zainab. Ternyata, kandungannya gugur akibat terpelanting dari tunggangannya.
Akhirnya, Zanab dipertemukan lagi dengan suaminya tercinta, Abu al-Ash ibn al-Rabi, dan tinggal di rumahnya selama beberapa hari hingga kekuatannya kembali pulih. Ketika kabar tentang Zainab sampai ke telinga Rasulullah, beliau murka dan memerintahkan sahabatnya untuk membakar dua laki-laki jahat—Hibar dan sahabatnya—yang mencegat dan menjatuhkan Zainab dari tunggangannya. Namun, segera Rasulullah menyadari kedudukan dirinya dan melihat bahwa perintahnya itu melampaui batas kemanusiaan sehingga beliau membatalkan perintahnya itu dan menggantinya dengan hukuman mati.
Setelah situasi reda dan pengawasan kaum Quraisy terhadap Zainab lebih longgar, Kinanah kembali membawa Zainab dan menyerahkannya kepada ayahnya, Rasulullah Muhammad saw.Ketika Zainab menceritakan sikap dan perilaku Abu al-Ash kepada ayahnya, Nabi saw. memuji menantunya tersebut dan bersabda, “la telah berbicara kepadaku dan ia mepercayaiku. la telah berjanji kepadaku, dan ia memenuhi janjinya”.
Hari demi hari berlalu dan Abu al-Ash tetap dalam kemusyrikan, sementara Zainab tetap tinggal bersama ayahnya tercinta, Rasulullah saw. Pada suatu hari, Abu al-Ash kembali dari perjalanan dagang dan ia membawa barang dagangan suku Quraisy. Namun, di tengah perjalanan menuju Makkah, pasukan kecil di bawah pimpinan Zaid ibn Haritsah mencegat mereka, merampas barang dagangan mereka, dan menawan anggota kafilah, termasuk dirinya. Para tawanan itu digiring menuju Madinah. Abu al-Ash meminta perlindungan kepada Zainab putri Rasulullah saw., dan Zainab memenuhi permintaannya.
Di pagi hari, ketika kaum muslim baru saja mendirikan shalat Subuh, Zainab berteriak, “Wahai penduduk Madinah, aku menjadi jaminan dan pelindung Abu al-Ash ibn al-Rabi.” Setelah berteriak beberapa kali, ia segera masuk rumah, berwudu, dan kemudian mendirikan shalat Subuh.
Udara dingin di pagi itu mengantarkan suara Zainab menembus dinding masjid. Usai mengucapkan salam, Nabi saw. berpaling menghadap orang-orang dan bertanya, “Apakah kalian mendengar apa yang baru saja kudengar?”.
Mereka menjawab, “Benar. Kami juga mendengarnya”.
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, aku tidak mengetahui apa-apa hingga aku mendengar apa yang baru saja kudengar”.
Kemudian Nabi beranjak dari tempat shalatnya dan bergegas ke rumah Zainab. Di dalam rumah, ia melihat Abu al-Ash sedang duduk termenung. Melihat kedatangan Nabi, Zainab segera mendekatinya dan berkata lirih:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia Abu al-Ash, sebagai kerabat, dia adalah anak bibiku, dan sebagai orang Iain, dia adalah ayah anak-anakku… aku menjadi jaminan dirinya”.
Nabi memandang wajah Zainab dengan pandangan yang lembut dan penuh kasih, kemudian ia berkata;
“Putriku, hormatilah tamumu. Jangan kaubebani dirimu. la bukanlah orang lain bagimu”.
Kemudian Nabi saw. meminta Abu al-ash dan kawan- kawan seperjalanannya untuk datang ke masjid. Di Sana telah berkumpul para sahabat, termasuk yang ikut mencegat kafilah dagang Abu al-Ash.
Rasulullah berkata, Kalian telah mengenal orang ini. Kalian telah mengambil dan menahan hartanya. Jika kalian berbuat baik dan mengembalikan hartanya, aku sangat menghargainya. Jika kalian tetap menahannya maka sesungguhnya harta itu adalah harta fe dari Allah yang menjadi hak kalian”.
Semua sahabat yang turut dalam pencegatan itu menjawab serempak: “Wahai Rasulullah, kami akan mengembalikan semua hartanya”.
Semua orang mengembalikan harta dagangan milik orang Quraisy yang ada di bawah tanggung jawab Abu al-Ash. Setelah semua barang terkumpul, Abu al-Ash kembali pulang ke Makkah. Kaum Quraisy senang melihat kedatangan Abu al-Ash lengkap dengan semua barang dagangan mereka. kemudian Abu al-Ash membagikan seluruh harta kepada para pemiliknya, lalu Abu al-Ash berkata dengan suara yang lantang, “Wahai kaum Quraisy, masih adakah di antara kalian yang belum kuberikan haknya?”.
Mereka menjawab serempak, “Tidak. Semuanya telah kau berikan. Engkau utusan yang mulia. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan”.
Kembali ia memandang wajah-wajah Quraisy lalu dengan suara yang mantap, Abu al-Ash berseru, “Asyhadu an lâ ilâha illallâh wa wasyhadu anna muhammad rasûlullâh—Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Tak ada yang menahanku untuk menyatakan keislamanku kecuali kekhawatiranku bahwa kalian menuduhku ingin memakan harta kalian. Setelah ku sampaikan amanat dan hak-hak kalian … dan setelah kutunaikan tugasku…dengarkanlah, wahai kaum Quraisy, aku berislam”.
Usai mengungkapkan pengakuannya, Abu al-Ash memecut hewan tunggangannya dengan cepat menuju Madinah, negeri Hijrah. Abu al-Ash kembali kepada Nabi dan tinggal bersama istri tercintanya, Zainab bint Rasulullah saw. Abu al-Ash masuk Islam sebelum peristiwa Futuh Makkah.
Mereka dikaruniai dua anak, yaitu Ali dan Umamah. Zainab wafat pada tahun kedelapan, sementara Abu al-Ash wafat pada tahun kedua belas Hijriah. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka berdua.

Kerajaan Safawi di Persia

Leave a Reply