Abu Musa al-Asy‘ari – Sang Pengambil Keputusan

Abu Musa al-Asy‘ari adalah sahabat Nabi keturunan Bani Asy‘ari yang bernama Abdullah. Ayahnya bernama Qais ibn Sulaim ibn Hudhar ibn Harb, ibunya bernama Dzubayyah bint Wahab, berasal dari daerah Akk, yang masuk Islam dan wafat di Madinah. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang apakah Abu Musa ikut hijrah ke Abisinia atau tidak? Abu Umar ibn Abdul Barr mengatakan bahwa yang benar adalah bahwa setelah kedatangannya ke Makkah, Abu Musa kembali ke negerinya dan berjanji kepada orang-orang dari Bani Abdi Syams bahwa ia akan kembali lagi. Di sana ia tinggal beberapa hari, hingga pada suatu hari datanglah rombongan Bani Asy‘ari di atas se buah kapal. la pun ikut dengan rombongan tersebut bersama 50 orang lainnya. Namun, angin laut membawa mereka hingga tiba di negeri Raja Najasi. Rombongan itu merapat di Abisinia bertepatan dengan kepergian rombongan Ja‘far ibn Abu Thalib dari sana. Maka, kedua kapal itu—kapal Bani Asy‘ari dan kapal rombongan Ja‘far—berlayar beriringan menuju Madinah untuk bergabung dengan Nabi saw. dan kaum muslim. Mereka tiba di Madinah tepat ketika Nabi saw. baru pulang dari Perang Khaibar.
Ada pula riwayat yang menceritakan bahwa kapal Bani Asy’ari terbawa angin hingga mencapai Abisinia dan mereka menetap di sana beberapa saat. Ketika rombongan Ja‘far hendak berangkat menuju Madinah, mereka ikut serta. Karena alasan itulah Ibn Ishaq berpendapat bahwa Abu Musa ikut berhijrah ke Abisinia. Wallahii A‘lam.
Abu Musa dikenal pemberani, mulia, dan penunggang kuda yang tanpa tanding. Hal ini ditegaskan oleh hadis Nabi saw., “Pemimpin ahli berkuda adalah Abu Musa”.
Abu Musa diangkat menjadi gubernur Bashrah pada 17 Hijriah menggantikan al-Mughirah. Ketika menjabat sebagai gubernur Bashrah, Khalifah Umar r.a. mengirimkan surat ke padanya yang berbunyi, “Pergilah menuju Ahwaz”.
Maka, Abu Musa segera berangkat menuju Ahwaz dan menaklukkan kota itu tanpa peperangan. Tidak lama berselang, Abu Musa juga berhasil menaklukkan Isfahan pada 23 H.
Abu Musa juga dipercaya oleh Rasulullah untuk menjadi walikota Zubaid dan Adn. Pada masa Khalifah Umar, ia diangkat sebagai gubernur Bashrah, dan ia menyaksikan wafatnya Abu Ubaidah ibn al-Jarrah di Syam.
Sebelum mengutus Muaz ibn Jabal ke Yaman, Rasulullah saw. mengutus Abu Musa al-Asy‘ari ke sana untuk mengajarkan Al-Quran dan agama Islam kepada penduduk di sana. Ketika melepas siapa pun untuk menjadi utusannya, Rasulullah selalu berpesan, “Permudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakkuti, dan hendaklah kalian bersatu-padu.” Pesan seperti itu pulalah yang dikatakan Rasulullah kepada Abu Musa.
Ketika mendapat perintah dari Rasulullah, Abu Musa bertanya Wahai Rasulullah, sesungguhnya di negeri kami ada minuman keras dan gandum dan minuman keras dan madu”.
Nabi saw. menjawab, “Setiap yang memabukkan adalah haram”. Jawaban Rasulullah ini menjadi satu kaidah yang tidak boleh ditafsirkan, direkayasa, atau ditakwilkan dengan penjelasan apa pun. Tak ada peluang ijtihad untuk pernyataan seperri itu.
Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz ibn Jabal adalah dua orang sahabat yang saling setia. Keduanya mematuhi perintah Nabi saw. dan saling menasihati satu sama lain dalam kebaikan.
Nama lengkapnya adalah Abu Musa ibn Abdullah ibn Qais. la termasuk sahabat Rasulullah yang terkenal. la berasal dari Suku Qahthan dan datang di Makkah dari daerah Zabid di
Yaman ketika Islam terbit di bumi Makkah. la masuk Islam, kemudian berhijrah ke Abissinia. Abu Musa mencurahkan sebagian besar waktu dan perhatiannya untuk mempelajari Al-Quran sehingga ia menjadi seorang sahabat yang mahir dalam bidang qiraah Al-Quran. Suaranya merdu. Rasulullah memberikan kesaksian atas hal itu, “Sesungguhnya orang ini telah diberi seruling keluarga Dawud”.
Suatu pagi, seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya istri-istri Nabi dan perempuan-perempuan kalian mendengarkan bacaanmu tadi malam”.
Abu Musa berkata, “Andai saja aku tahu, tentu aku akan membuat mereka lebih merasa khusyuk dan dipenuhi kerinduan kepada Allah”.
Nabi saw. juga memberikan kesaksian atas kepahlawanan dan keberaniannya, “Pemimpin para pahlawan adalah Abu Musa al-Asy‘ari.” Nabi saw. mengagumi kecakapan dan ketegasan Abu Musa sehingga suatu ketika Rasulullah bersabda, “Seorang hakim tidak boleh memberikan putusan hingga telah nyata kebenaran baginya seperti jelasnya perbedaan antara malam dan siang”.
Ketika terjadi konflik antara Ali dan Muawiyah, Abu Musa menjadi perunding dari pihak Ali pada peristiwa tahkim berhadapan dengan Amr ibn al-Ash yang menjadi perunding dari pihak Muawiyah. Keduanya sepakat agar kedua pemimpin itu (Ali dan Muawiyah) dicopot dari jabatannya sebagai khalifah. Amr memintanya berbicara terlebih dahulu sehingga Abu Musa maju dan mengatakan, “Aku mencopot Ali dan Muawiyah dari jabatan khalifah”.
Namun, saat tiba giliran Amr ibn al-Ash, ia bangkit berdiri menuju mimbar dan berkata dengan lantang, “Aku mencopot Ali dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah”.
Merasa bahwa Amr ibn al-Ash telah mengkhianatinya, Abu Musa mengasingkan diri dari keramaian dan menetap di dekat Masjidil Haram hingga wafatnya.
Leave a Reply