Home » Blog » Ali ibn Abu Thalib – Ayah Dua Cucu Tercinta Nabi

Ali ibn Abu Thalib – Ayah Dua Cucu Tercinta Nabi

Ali ibn Abu Thalib

Ali ibn Abu Thalib adalah seorang sahabat Nabi yang berasal  dari suku Quraisy keturunan Bani Hasyim. Ayahnya bernama Abu Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf dan ibunya bernama Fatimah bint Asad ibn Hasyim. la punya tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan, yaitu Thalib, Ja’far, Uqail, Jamanah, Raithah, dan Ummu Hani. Allah telah  memberinya kemuliaan ketika ia dinikahkan kepada salah seorang putri Nabi Muhammad saw., Fatimah al-Zahra, pemimpin para wanita ahli surga. Dari pernikahannya ia di karuniai dua putra kesayangan Rasulullah: Hasan dan Husain, pemimpin pemuda ahli surga.

Ia memiliki beberapa nama julukan, dan julukan yang paling disukainya adalah Abu Turab -Laki-Laki Berdebu-. la senang jika seseorang memanggilnya dengan julukan itu, “Abu Turab”.  Itulah yang dikatakan oleh salah seorang perawi, Sahl ibn Sa‘d. Ia menyukai julukan itu karena yang memanggilnya dengan nama itu pertama kali adalah baginda Rasulullah saw. Suatu hari, layaknya rumah tangga yang lain, Ali marah kepada istrinya, Fatimah al-Zahra putri Muhammad. Tetapi, tidak seperti para suami lainnya, saat marah ia menghindar, keluar rumah, dan pergi ke masjid. la duduk bersandar pada salah satu dinding  Masjid Nabi saw. Tanpa disadarinya, Nabi saw. datang menghampiri. Nabi saw. melihat punggung Ali dipenuhi debu sehingga beliau membersihkan pakaian Ali dari debu dan berkata, “Hai laki-laki yang berdebu—Abu Turab.” Dalam versi  riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengusap debu dari pakaiannya lalu berkata, “Bangunlah,  hai Abu Turab! Bangunlah, hai Abu Turab.”

Ali ibn Abu Thalib r.a. adalah khalifah keempat dari rangkaian empat Khalifah Rasyidin. Riwayat hidupnya sangat panjang. la adalah keturunan Bani Hasyim pertama yang memiliki keturunan dari wanita yang juga keturunan Bani Hasyim. la juga yang pernah mempertaruhkan nyawa dengan meng gantikan Nabi Muhammad saw. yang menempuh perjalanan Hijrah bersama Abu Bakr. Ali tidur di atas ranjang Nabi saw. sehingga kaum musyrik menyangka Nabi saw. masih tidur di rumahnya.

Setelah Nabi saw. menikah dengan Siti Khadijah r.a. beliau melihat pamannya, Abu Thalib, hidup dalam kekurangan dengan beberapa orang anak sehingga beliau meminta al-Abbas  untuk membantu Abu Thalib. Nabi saw. bersepakat dengan al-Abbas untuk berbicara kepada Abu Thalib. Setelah berunding, Abu Thalib berkata, “Tinggalkan Uqail bersamaku dan bawalah dua anakku yang lain untuk kalian asuh.”

Rasulullah saw. memilih Ali, sementara al-Abbas memilih  Ja’far. Sejak saat itu, Ali hidup dalam asuhan keluarga Rasulullah.  Setelah Ali beranjak dewasa, Rasulullah saw. menikahkannya dengan salah seorang putrinya, Fatimah al-Zahra. Ali sangat rajin membantu ibu mertuanya, Khadijah yang amat menyayanginya. Rasulullah saw. sendiri dua kali mempersaudarakan nya; pertama dengan kaum Muhajirin dan kedua dengan kaum Anshar setelah Hijrah. Dalam berbagai kesempatan beliau sering berujar kepada Ali, “Kau adalah saudaraku di dunia dan akhirat.”

Bagaimana kisah perjalanan Ali ibn Abu Thalib menemu kan Islam?

Ada tiga orang dari tiga golongan berbeda yang pertama memeluk Islam: Abu Bakr, Khadijah, dan AH ibn Abu Thalib.  Abu Bakr dari golongan pria dewasa, Khadijah dari golongan wanita, dari Ali ibn Abu Thalib dari golongan remaja (anak-anak).

Ibn Ishaq menceritakan bahwa AH ibn Abu Thalib menyatakan keislamannya satu hari setelah keislaman Khadijah. Saat itu Ali melihat Rasulullah saw. dan Khadijah r.a. sedang shalat berjamaah. Ali r.a. bertanya, “Wahai Muhammad, apakah yang sedang paduka lakukan?”

Beliau menjawab, “Ini agama Allah yang telah dipilih-Nya  dan dengan agama itu Dia mengutus Rasul-Nya. Maka, aku mengajakmu menuju (agama) Allah, untuk menyembah-Nya, serta menjauhi Latta dan Uzza.”

Ali menjawab, “Ini sesuatu yang baru kudengar, aku tak bisa memutuskan sampai aku menceritakannya kepada ayahku,  Abu Thalib.”

Mendengar jawaban Ali, Rasulullah saw. bersabda, Ali, jika kau tak mau memeluk Islam, rahasiakanlah!”

Ali r.a. mematuhi ucapan Rasulullah saw. dan ia tidak menceritakan masalah itu kepada siapa pun. Malam itu ia memikirkan ajakan Nabi saw., dan Allah berkenan memberikan hidayah kepadanya. Keesokan paginya ia kembali menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Apa yang harus kukatakan ke padamu, wahai Muhammad?”

Rasul bersabda, “Kau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang maha esa dan tidak ada sekutii bagi-Nya. Kau kafifirkan Latta dan Uzza, dan kaubebaskan dirimu dari segala sekutu selain Allah.”

Ali ibn Abu Thalib pun bersyahadat dan menyatakan ke islamannya. la merahasiakan keislamannya sehingga ayahnya sendiri, Abu Thalib, tidak mengetahuinya. Ali ibn Abu Thalib memiliki keistimewaan yang tak dapat dimiliki orang lain, yakni ia diasuh sejak kecil oleh Nabi saw. la baru berusia  sepuluh tahun ketika menyatakan syahadat di hadapan Rasulullah saw.

Anas ibn Malik menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus dan diangkat sebagai nabi pada hari Senin, sementara Ali memeluk Islam pada hari Selasa.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ulaim al-Kindi dari Salman al-Farisi dikatakan bahwa orang yang pertama kali mengikuti Nabi Muhammad dan memeluk Islam dari umat ini adalah Ali ibn Abu Thalib.

Ali ibn Abu Thalib membuktikan kepahlawanan dan kewiraannya dalam Perang Badar ketika ia melayani tantangan duel kaum musyrik. Dalam perang tanding menjelang Perang Badar berkecamuk, Ali dapat membunuh al-Walid ibn Utbah ibn Rabiah, sedangkan sahabat Nabi yang lain, Ubaidah ibn al-Harits, bertarung melawan Utbah ibn Rabiah. Ketika Ubaidah terdesak oleh lawan, Ali dan Hamzah ibn Abdul Muthalib langsung membantunya sehingga keduanya berhasil membunuh Utbah.

Mengenai peran AH dalam Perang Uhud, Abu Musa me riwayatkan dari Muhammad ibn Marwan al-Uqaili dari Amar  ibn Abu Hafshah dari Ikrimah bahwa Ali bercerita, “Ketika  banyak orang meninggalkan Rasulullah saw. di medan Uhud,  aku melihat banyak korban berjatuhan, tetapi aku tidak men dapati Rasulullah saw. di antara para korban. Aku berkata  dalam hati, ‘Demi Allah, Rasulullah tidak mungkin lari, tetapi  aku tak melihat beliau di antara para korban. Allah pasti murka  karena apa yang telah kami lakukan sehingga Dia mengangkat  nabi-Nya. Tak ada jalan lain bagiku kecuali terus berperang  sampai tetes darah penghabisan. Kemudian kupecahkan ujung  pedangku, lalu kudekati pasukan yang tersisa, dan ternyata  Rasulullah saw. berada di antara mereka.

Ali dikenal sebagai prajurit yang tangguh dan memiliki keberanian yang sangat mengagumkan. Perang Khaibar membuktikan keberanian Ali ibn Abu Thalib dan keahlian tempurnya. Saat itu, Rasulullah membawa sekitar seribu empat ratus orang untuk menyerang Khaibar. Mereka mengepung perkampungan Khaibar dan terus mencari peluang untuk menerobosnya. Salah satu benteng pertahanan mereka yang terkuat adalah benteng Qumush. Kaum muslim kesulitan menerobosnya. Pada hari itu, Ali ibn Abu Thalib terserang sakit mata.

Ketika kaum muslim hampir berputus asa, Rasulullah bersabda membangkitkan semangat mereka, “Besok, panji kaum muslim akan dipegang oleh seorang laki-laki yang dicintai Allah dan rasul-Nya dan ia mencintai Allah dan rasul-Nya. Dialah yang akan membukakan kemenangan untuk kita.”

Para sahabat bertanya-tanya, siapakah yang akan mendapat peran mulia itu dan masing-masing berharap diri merekalah yang akan memegang panji kemenangan kaum muslim. Keesokan harinya Rasulullah memanggil Ali ibn Abu Thalib yang masih sakit mata. Nabi saw. mengusap kedua matanya seraya  berdoa kepada Allah. Serta merta sakit mata yang diderita Ali  sembuh seakan ia tak pernah merasa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah memberikan panji kaum muslim kepadanya. Ali berkata, “Apakah mereka harus kuperangi semua hingga mereka masuk Islam?”

Rasulullah menjawab, “Bawalah pasukanmu hingga mereka turun ke halaman rumah mereka, lalu serulah mereka kepada Islam, dan sampaikanlah kepada mereka apa yang diwajibkan oleh Allah atas diri mereka. Demi Allah, seorang dari mereka mendapatkan hidayah adalah lebih baik bagimu daripada rampasan perang berlimpah.”

Ali ibn Abu Thalib menyerbu benteng al-Qamush dan di sambut seorang prajurit Yahudi bernama Marhab, yang dengan  angkuh menyerukan tantangan:

Semua penduduk Khaibar telah mengenal namaku

Marhab, yang tak mengenal ampun atau kelembutan

Akulah singa padang pasir yang ditakuti semua orang

Akulah petarung bangsaku yang ditakuti semua lawan

Betapa banyak leher musuh yang putus ditebas pedangku

 

Ali membalas syair Marhab:

Ibuku menamaiku sang penghancur. Lihatlah, akan kuhancurkan kalian dengan pedang. Akulah singa penguasa segala rimba.

Keduanya bertempur gagah berani. Mereka saling serang  dan berusaha menjatuhkan lawan. Setelah pertarungan yang  cukup lama dan melelahkan, Ali berhasil memukul lawannya  dengan pukulan yang sangat keras sehingga memecahkan ke palanya. Marhab jatuh terkapar. Kemenangan pasukan Muslim  semakin dekat.

Abu Ja’far al-Thabari meriwayatkan cerita Rafi maula Rasulullah saw.: “Kami berangkat bersama Ali ibn Abu Thalib setelah Rasulullah menyerahkan bendera kaum muslim kepadanya. Ketika kami mendekati dinding pertahanan, penduduk Khaibar keluar dan perang pun tak dapat dihindari. Tiba-tiba seorang Yahudi menyerang Ali dengan pukulan yang sangat keras hingga perisainya terlempar. Dengan gerakan yang tangkas  Ali memegang daun pintu benteng dan menggunakannya sebagai perisai. la terus bertempur sambil membawa daun pintu itu hingga akhirnya Allah memberi kami kemenangan. Usai perang, Ali melemparkan daun pintu itu. Aku termasuk di antara delapan orang yang mencoba mengangkat daun pintu  itu, tetapi kami tak mampu melakukannya.”

Pada peristiwa Khandaq, Ali berhasil membunuh Amr ibn Abdu Wudd yang menantangnya untuk berduel. Amr ibn Abdu Wudd adalah merupakan salah seorang pemimpin pasukan kavaleri musuh. la membawa sekitar seribu orang kavaleri. Ketika melihat Madinah dikitari parit yang cukup lebar, ia memerintahkan pasukannya untuk menuruni parit sehingga ia bisa  menyeberanginya. Tiba di sisi yang berbeda, ia meneriakkan tantangan duel. Ali berdiri meminta izin kepada Rasulullah untuk memenuhi tantangan itu. Rasulullah berkata kepadanya,  “Tetapi dia Amr.”

Ali menjawab, “Meski dia Amr!”

Ali langsung loncat kehadapan Amr dan berkata, “Hai  Amr, dulu kau pernah bersumpah bahwa tidak seorang Quraisy pun yang mengajakmu kepada salah satu dari dua bentuk ikatan persaudaraan kecuali engkau akan memenuhi ajakannya.

Amr menjawab, “Benar.”

“Maka dengarlah, aku menyeru dan mengajakmu kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan kepada Islam.”

“Aku tak peduli.”

“Kalau begitu, ayo turun. Kita bertarung!”

“Mengapa tidak, wahai anak saudaraku. Demi Allah, pedangku ini haus akan darahmu. Perhatikanlah, aku akan membunuhmu.”

“Demi Allah, akulah yang akan membunuhmu.”

Serta-merta Amr loncat dari kudanya dan berhadap-hadap an dengan Ali. Keduanya bertarung habis-habisan. Dua singa  Arab saling menerkam. Pedang mereka berkeiebat menangkis  dan mencari sasaran. Akhirnya, Ali berhasil membinasakan  lawannya. la keluar sebagai pemenang. Kaum mukmin keluar  sebagai pemenang.

Tentang keluasan ilmu yang dimiliki Ali ibn Abu Thalib,  Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa menghendaki ilmu, ia harus mendatangi pintunya.

Ibn Abbas berkata, “Ali telah dianugerahi sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan, demi Allah, ia bahkan memiliki pula sepersepuluh ilmu yang dianugerahkan kepada mereka.

Said ibn Amr ibn ibn Said ibn al-Ash berkata kepada Ubaidillah ibn lyasy ibn Abu Rabiah, “Paman, kenapa manusia lebih condong kepada Ali?”

Ubaidillah menjawab, “Keponakanku, sesungguhnya Ali memiliki apa yang engkau inginkan. Keluasan ilmunya tak dapat ditandingi siapa pun. la pun memiliki wawasan yang luas, ia lebih dahulu memeluk Islam, menantu Rasulullah saw., memahami sunnah beliau, mahir bertempur, dan sangat mengasihi orang yang membutuhkan.

Ali r.a. pernah berujar tentang nilai penting ilmu:

Ilmu berbisik kepada amal

Dan amal mesti menjawabnya

Jika tidak, ilmu menjadi sia-sia

Dalam kesempatan lain, la berujar, “Sepanjang hidupku bersama Rasulullah saw., tidak pernah sekalipun mataku terpejam dan kepalaku terbaring tidur kecuali aku mengetahui pada hari itu apa yang diturunkan oleh Jibril a.s tentang yang halal dan yang haram atau tentang yang sunnah, atau kitab,  atau perintah dan larangan, dan tentang siapakah ayat itu turun.”

Ali mencapai keistimewaan dalam bidang ilmu karena dua sebab. Pertama, karena anugerah yang diberikan Allah kepadanya berupa akal yang cerdas dan lisan yang fasih. la pernah berkata, “Allah menganugerahiku akal yang cerdas dan lisan yang fasih.” Kedua, Nabi selalu mendorongnya untuk mencari ilmu. Ali berkata, “Jika aku bertanya, aku pasti mendapatkan  jawaban dan jika aku diam, beliau akan mengajariku.

Keluasan ilmu dan kecerdasan Ali ibn Abu Thalib telah diakui oleh kebanyakan umat, bahkan oleh Nabi saw. Alangkah baik jika kita dengarkan nasihatnya tentang etika orang-orang yang berilmu. Ali r.a. berkata, “Pelajarilah ilmu sehingga kalian dikenal dengan ilmu itu, amalkanlah ilmu kalian sehingga kalian menjadi ahli amal, karena akan datang setelah kalian suatu zaman, sembilan dari sepuluh orang pada zaman itu mengingkari kebenaran (al-haqq), dan tidak selamat dari zaman itu kecuali orang yang bertobat dan kembali. Mereka adalah para pemimpin yang mendapat petunjuk dan pelita ilmu, bukan orang yang tergesa-gesa, banyak cakap dan menyia-nyiakan waktu.”

Dalam kesempatan yang berbeda ia berkata, “Wahai orang yang berilmu, amalkanlah ilmu kalian karena seorang alim adalah yang mengetahui kemudian mengamalkan. Seorang alim adalah yang ilmunya bersesuaian dengan amalnya. Akan muncul kaum-kaum yang membawa ilmu namun tidak mengamalkannya, yang tersembunyi pada diri mereka bertolak belakang  dengan yang terlihat, ilmunya bertentangan dengan amalnya, mereka duduk saling berhadapan membangga-banggakan ilmunya masing-masing, seraya melecehkan orang lain. Akibatnya, seseorang marah kepada teman semajelisnya dan meninggalkannya. Ketahuilah, amal mereka itu tidak akan naik kepada Allah Yang Mahasuci.

Tentang kezuhudan dan ketawadukannya, Ali pernah berkata, “Dunia itu tak ubahnya bangkai, siapa saja yang menginginkannya sedikit saja maka bersabarlah menunggu giliran dengan anjing-anjing.”

Diceritakan bahwa suatu hari Ali mendatangi penjual pakaian bersama pembantunya. la membeli dua helai baju, kemudian berkata kepada pembantunya, “Pilihlah salah satu engkau sukai!”

Pembantu itu pun mengambil baju yang disukainya dan Ali mengambil baju lainnya, lalu memakainya. Saat ia mengulurkan tangannya, ternyata baju itu kepanjangan. Ali berkata kepada pembantunya, “Potonglah bagian yang kepanjangan ini!” Si pembantu itu kemudian memotongnya, dan Ali mengenakan pakaian itu, lalu beranjak pergi.

Ali ibn Abu Thalib memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Nabi saw., yang membedakannya dari para Ahlul Bait lain. Diriwayatkan dari Sa‘d ibn Abi Waqqash r.a. bahwa sebelum pergi ke medan Perang Tabuk, Rasuiullah saw. mepercayakan urusan di Madinah kepada Muhammad ibn Musalmah r.a. dan  menitipkan keluarganya kepada Ali ibn Abu Thalib. Kaum munafik menghasut Ali karramalldhu wajhah bahwa Nabi meninggalkannya di Madinah karena ia tidak menyukai Ali. Maka, Ali segera pergi menyusul Nabi saw. dan berkata, “Wahai  Rasulullah, engkau (hanya) memberiku tugas untuk mengurusi wanita dan anak-anak?” Rasuiullah saw. memintanya pulang  seraya menghiburnya dengan ucapan, “Tidak relakah engkau memiliki kedudukan disisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja, tidak ada nabi setelahku.

Diriwayatkan dari Zurr ibn Hubaisy dari Ali bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya, “Tidak ada yang mencintaimu kecuali  orang mukmin dan tidak ada yang membencimu kecuali orang-orang munafik.”

Ketika Nabi Muhammad saw. mengutus Ali untuk menjadi qadi di Yaman, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku hanyalah pemuda biasa dan Tuan mengutusku untuk menetapkan hukum di antara mereka. Bagaimanakah aku mengambil keputusan?”

Nabi saw. menepuk dadanya sambil berdoa “Ya Allah, tunjukkanlah hatinya dan tetapkanlah lisannya.”

Ali menuturkan, “Demi Allah, sejak saat itu aku tak pernah ragu dalam mengambil keputusan.” Umar ibn al-Khattab sendiri pernah berkata, “Jika tak ada  Ali, Umar pasti sudah hancur.”

Diriwayatkan dari Abu Hanifah dari Hamad dari Ibrahim dari Anas bahwa suatu hari seseorang memberikan hadiah kepada Nabi saw. dan kemudian beliau bersabda, “Ya Allah, datangkanlah makhluk yang paling engkau cintai sehingga ia makan burung ini bersamaku.” Kemudian datanglah Ali ibn Abu Thalib r.a. mengetuk pintu. Anas ibn Malik r.a. berkata,  “Nabi sedang ada keperluan.” Lalu Ali kembali pulang. Nabi saw. muncul lagi dan menyatakan ucapan seperti yang pertama. Ali ibn Abu Thalib kembali mengetuk pintu dan Anas ibn Malik berkata, “Bukankah telah kukatakan bahwa Nabi sedang sibuk.” Lalu Nabi saw. kembali bersabda seperti dua ucapannya yang  pertama. Sekali lagi Ali datang lalu mengetuk pintu lebih keras dari ketukannya yang pertama. Nabi saw. mendengar ketukannya, dan ketika itu Anas telah mengatakan bahwa Nabi saw. sedang sibuk. Tetapi Nabi saw. memberi izin kepada Ali untuk masuk dan setibanya Ali di dalam, Nabi saw. bersabda, “Wahai Ali, apa yang menghalangimu untuk segera menemuiku?”

Ali berkata, “Aku telah datang, namun Anas menolakku, lalu aku datang lagi tetapi Anas menolakku lagi, dan untuk ketiga kalinya aku datang, tetapi Anas tetap menolakku.”

Nabi saw. bersabda, “Wahai Anas, mengapa kaulakukan itu?

Anas menjawab, “Aku ingin agar orang yang kauharapkan dalam doamu itu adalah orang Anshar.”

Nabi saw. bersabda, “Wahai Anas, memangnya ada orang Anshar yang lebih baik dibanding Ali? Atau adakah orang Anshar yang lebih utama dibanding Ali?”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Amar akan dibunuh oleh golongan yang zalim.” Maka, ketika meletus Perang Shifin antara pasukan Ali dan Muawiyah, banyak orang yang menunggu, kepada siapa Amar berpihak. Ketika melihat bahwa Amar berada di pihak Ali, mereka paham  bahwa Ali berada di pihak yang benar. Amar ikur serta dalam perang itu sampai akhirnya ia terbunuh oleh pihak yang zalim. Ibn Umar pernah berkata, “Belum pernah aku merasakan penyesalan berkaitan dengan urusan dunia selain ketika aku tidak dapat ikut berperang bersama Ali melawan kelompok yang zalim.”

Al-Khathib al-Baghdadi menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali, “Siapakah yang pertama kali paling celaka?”

Ali menjawab, “Mereka yang menyembelih unta (milik Nabi Salih a.s.).”

Nabi saw. bertanya lagi, “Lalu siapakah yang terakhir  paling celaka?”

Ali menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.

Nabi saw. bersabda, “Orang yang memukulmu atas ini lalu  a mencelup atas ini,” ujar Rasulullah sambil menunjuk ke arah ubun-ubun dan janggutnya.

Pada waktu Ali hendak melaksanakan shalat subuh, Abdurrahman ibn Muljam membuntutinya. Ketika Ali hendak masuk masjid, Abdurrahman menebaskan pedangnya tepat mengenai keningnya. Ketika itu Ali berkata kepada orang di sekelilingnya, “Jiwa harus dibayar dengan jiwa. Jika aku mati, bunuhlah dia sebagaimana dia membunuhku. Jika aku bertahan hidup,  biarlah aku yang akan memutuskan hukumannya.

Ali ibn Abu Thalib wafat pada 40 Hijriah. Jiwanya yang suci bersih menghadap sang Pencipta. Semoga Allah merahmatinya.

You also like

Ka‘b ibn Zuhair ibn Abu Sulma Penyair Agung   

Ka‘b ibn Zuhair ibn Abu Sulma Penyair Agung   

Ka‘b ibn Zuhair ibn Abu Sulma adalah seorang sahabat Nabi keturunan Bani Zainah. la dikenal sebagai penyair ulung.…
Al-Hasan dan al-Husain Pemimpin Pemuda Surga   

Al-Hasan dan al-Husain Pemimpin Pemuda Surga   

Al-Hasan dan al-Husain adalah sahabat sekaligus cucu Rasulullah  saw. Keduanya adalah belahan hati Rasulullah saw. dan pemimpin para…
Abu Ayyub al-Anshari

Abu Ayyub al-Anshari – Tempat Persinggahan Nabi

Abu Ayyub al-Anshari adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, yang berasal dari suku Khazraj. Nama aslinya adalah…
Fairuz al-Dailami- Pembunuh al-Aswad al-Unsa al-Kazzab  

Fairuz al-Dailami- Pembunuh al-Aswad al-Unsa al-Kazzab  

Abu Umar ibn Abdul Bar menuturkan dalam kitab al-lsti'ab bahwa Fairuz al-Dailami adalah seorang sahabat Nabi yang  berasal dari…
Ashim ibn Tsabit  Jasadnya Dilindungi Lebah  

Ashim ibn Tsabit – Jasadnya Dilindungi Lebah  

Ashim ibn Tsabit sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Aus keturunan Bani Dhubay. la mendapat…
Dihyah al-Kalabi; Jibril Turun  dalam Rupa Dirinya  

Dihyah al-Kalabi; Jibril Turun  dalam Rupa Dirinya  

Dihyah al-Kalabi adalah sahabat Nabi yang berasal dari suku al-Kalabi. Ayahnya bernama Khulaifah ibn Farwah ibn Fadhalah. la…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Shopping Cart

No products in the cart.

Return to shop

Nama Toko

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu