Dzul Bijadain Nabi saw. – Mendoakan Jenazahnya

Ibn al-Atsir bercerita tentang Dzul Bijadain bahwa suatu hari Dzul Bijadain yang saat itu masih bernama Abdul Uzza datang menghadap Nabi Muhammad saw. Maka, Rasulullah mengganti namanya menjadi Abdullah (yakni Abdullah ibn Mughafal ibn Abdi Nuhim), dan kemudian dikenal dengan sapaan “Dzul Bijadain”. la mendapat panggilan itu karena ketika memeluk Islam, semua hartanya dirampas oleh kaumnya, dan ia hanya mengenakan bijad—sehelai kain usang. Kemudian ia pergi menemui Rasulullah dan di tengah perjalanan ia memotong pakaiannya menjadi dua bagian, untuk menutupi tubuhnya dan untuk menutupi kepalanya. Ketika bertemu Rasulullah saw., beliau menyapanya dengan sebutan “Dzul Bijadain”. Menurut satu pendapat, nama Dzul Bijadain disematkan kepadanya karena ia mendapatkan bijad itu dari ibunya, dan ibunya itu memotong pakaian tersebut menjadi dua bagian. Dengan pakaian itulah ia menemui Rasulullah saw.
Setelah memeluk Islam, Dzul Bijadain selalu menyertai Rasulullah saw. Hidupnya sangat sederhana, tetapi ia tekun beribadah dan rajin membaca Al-Quran. Ibn Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Harits al-Taimi yang menuturkan bahwa Abdullah adalah anak seorang wanita pelaku zina. la tumbuh sebagai anak yatim yang diasuh pamannya. Beruntung, sang paman memperlakukannya dengan baik, tetapi pamannya itu marah saat mendengar Abdullah telah mengikuti agama Muhammad. la berkata, “Jika benar kau telah mengikuti agama Muhammad, kuambil semua yang telah kuberikan kepadamu.”
la menjawab, “Aku benar-benar telah menjadi seorang muslim.
Maka, tanpa pikir panjang lagi, pamannya mengambil semua yang telah diberikan kepada Abdullah sehingga yang tersisa hanya sehelai kain yang melekat di badan. Abdullah pergi menemui ibunya, dan sang ibu memotong kain itu menjadi dua bagian; sebagian menjadi sarung, dan sebagian lainnya untuk menutupi tubuh. Ketika tiba waktu Subuh, ia pergi untuk shalat berjamaah bersama Rasulullah. Tuntas shalat, ia lihat semua orang bersalaman, dan ia pun ikut bersalaman. Rasulullah melihatnya dan bertanya, “Siapakah engkau?”
“Namaku Abdul Uzza.”
Rasulullah bersabda, “Engkau bernama Abdullah Dzul Bijadain. Sering-seringlah datang ke tempatku.”
la juga mendapat julukan lain, yaitu awwah, karena ketika berdoa dan bermunajat kepada Allah, ia terlihat sangat larut, khusyuk, menyerahkan seluruh diri dan jiwanya kepada Allah, la menangis dan merintih memohon ampunan Allah dan limpahan rahmat-Nya. Lisannya tidak pernah berhenti dari membaca Al-Quran. Bibirnya selalu basah berzikir kepada Allah. Suaranya yang keras ketika membaca Al-Quran membuat beberapa sahabat lain merasa terganggu, termasuk Umar. Suatu ketika Umar mengadukan persaoalan itu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar suara orang pedalaman ini? la mengeraskan suaranya ketika membaca Al-Quran sehingga mengganggu pembaca lainnya.”
Nabi saw. hanya tersenyum mendengar pengaduan Umar dan mencoba menghiburnya, “Biarkanlah dia, wahai Umar, sesungguhnya ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah mengajarinya Al-Quran hingga ia menjadi seorang qari yang baik. Hatinya selalu dipenuhi rasa cinta dan rindu kepada Allah dan Rasul-Nya sehingga setiap kali berangkat ke medan perang, ia memilih rombongan yang mengiringi Rasulullah. Sering kali ia berdoa memohon kepada Allah agar diwafatkan sebagai syahid. Namun, dalam beberapa kali peperangan, ia tak pernah mendapatkan kesyahidan. la merasa berduka karena sangat mengharapkan kemuliaan pahala sebagai syahid. Karena itu, saat kaum muslimin bersisap-siap untuk pergi ke medan perang Tabuk, Abdullah segera mendekati Nabi saw. dan memohon kepadanya agar didoakan mati sebagai syahid dalam perang tersebut. la berharap terbunuh akibat sabetan pedang atau tusukan tombak musuh.
Namun, Nabi saw. justru mendoakan yang sebaliknya. Rasulullah berdoa kepada Allah agar menjaganya dari pedang musuh dan menjauhkannya dari serangan mereka. Ketika mendengar doa Rasulullah, Abdullah berkata, “Demi bapakku dan ibuku wahai Rasul, aku tidak menginginkan ini.”
Rasulullah membalasnya, “Jika kau berperang di jalan Allah, kemudian kau sakit dan meninggal maka sesungguhnya kau mati syahid dan jika untamu tiba-tiba menjadi liar tak terkendali, lalu kau terjatuh dan mati maka kau mati syahid.”
Tidak lama setelah perang tersebut, ia terserang penyakit demam. Dan setelah selama beberapa hari terbaring sakit, ia meninggal dalam keadaan rida dan tenang. Para sahabat menguburnya di waktu malam. Rasulullah turun di liang kubur, sementara Abu Bakr dan Umar menyerahkan jenazahnya dari atas. Setelah siap dikubur, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah meridainya maka ridailah dia.” Para sahabat benar-benar merasa kehilangan. Sebagian mereka berharap didoakan oleh Rasulullah seperti doanya untuk Abdullah “Dzul Bijadain”. Bahkan, Ibn Mas‘ud berkata, “Duh, andai saja akulah yang dikuburkan.”
Ibn al-Atsir meriwayatkan dari al-A‘masy dari Abu Wail bahwa Abdullah ibn Mas‘ud berkata, “Aku melihat Rasulullah di Tabuk, di dalam liang kubur Abdullah Dzul Bijadain, sementara Abu Bakr r.a. dan Umar r.a. berada di atas . Rasulullah bersabda, Turunkan saudara kalian (yakni Abdullah Dzul Bijadain).’ Kemudian beliau menyandarkan kepala Abdullah dan menghadapkannya ke arah kiblat. Setelah itu beliau berdoa sambil menghadap kiblat, ‘Ya Allah, aku sungguh rida kepadanya maka ridailah dia.’
Ibn Mas‘ud berkata, “Demi Allah, aku sangat ingin seperti dia. Aku masuk Islam 15 tahun sebelum dia.”
Dalam riwayat lain Abu Bakr r.a. berkata, “Sungguh, aku ingin seperti shahibul qabr (yakni Abdullah Dzul Bijadain).”
Sungguh mulia akhir hidupmu wahai Abdullah Dzul Bijadain. Engkau mendapatkan akhir yang bahagia karena didoakan Rasulullah di liang kuburmu. Semoga Allah merahmatinya.

Sejarah Kerajaan Cirebon

Leave a Reply