Khadijah binti Khuwailid; Perempuan Agung Istri Rasulullah Saw. yang Utama

Khadijah binti Khuwailid adalah seorang perempuan agung yang merupakan simbol kesucian, kehormatan, dan ketakwaan dalam dunia Islam. Perempuan ini adalah orang yang kali pertama mengimani ajaran Islam yang dibawa oleh suaminya. Dialah orang yang membenarkan ketika orang lain mendustakan Muhammad saw. Dialah perempuan yang selalu berada dalam hati Muhammad saw., sekalipun setelah ia wafat. Dialah perempuan pertama yang dijamin masuk surga dan mendapat salam dari Tuhannya.
Khadijah dilahirkan pada 68 tahun sebelum Hijriah, 15 tahun sebelum Tahun Gajah, atau 15 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw., di Kota Mekah, dalam sebuah keluarga yang terpandang. Ia hidup dalam suasana yang terpuji dan nasab yang mulia. Ia memiliki nama lengkap Khadijah binti Khuwailid ibn Asad ibn ‘Abdul ‘Uzza ibn Qushay Al-Quraisyiyah Al-Asadiyah r.a. Anak perempuan dari Khuwailid ibn Asad dan Fatimah binti Za’idah Al-Amiriyah ini berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy.
Khuwailid ibn Asad, ayahnya, adalah seorang tokoh pembesar Suku Quraisy yang terkenal kaya dan dermawan. Khuwailid sangat mencintai anggota keluarga dan kaumnya, menghormati tamu, dan suka membantu orang miskin. Ia juga termasuk sahabat kakek Nabi Muhammad saw., Abdul Muthalib. Khuwailid juga merupakan salah satu delegasi Quraisy yang diutus ke Yaman untuk memberi ucapan selamat kepada rajanya, Saif ibn Dziyazin, atas keberhasilannya mengusir pasukan Abessinia dari negerinya. Peristiwa ini terjadi dua tahun setelah penyerangan Mekah pada Tahun Gajah.
Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah al-Amiriyah. Silsilah nasabnya berujung pada Amir ibn Lu’ay. Neneknya adalah Halah binti Abdul Manaf. Silsilah ayah dan ibunya berasal dari keturunan Quraisy yang mulia dan terpandang. Nasab Khadijah dari pihak ayahnya berhimpun dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada kakek buyutnya, Qushay ibn Kilab. Qushay ibn Kilab adalah pemimpin Quraisy yang berhasil merebut kekuasaan Kota Mekah dari tangan Kaum Khuza’ah pada abad ke-5 Masehi, yang telah menguasai kota ini selama berabad-abad. Kemudian, Qushay menjadi pemimpin agama dan pemerintahan Kota Mekah yang selanjutnya diteruskan oleh keturunannya.
Sedangkan nasab dari ibu Khadijah bertemu dengan nasab Nabi Muhammad saw., yakni pada kakek buyutnya, Abdul Manaf. Dengan demikian, dari pihak ayah maupun ibu, Khadijah dan Nabi Muhammad saw. memiliki kekerabatan yang sangat dekat. Dan, Khadijah merupakan istri Nabi Muhammad saw. yang memiliki kekerabatan lebih dekat dibanding dengan istri-istrinya yang lain.
Istri pertama Rasulullah saw. ini memiliki sifat yang ulet, cerdas, dan penyayang. Sebelum kedatangan Islam, Khadijah sudah memiliki budi pekerti yang tinggi, kedudukan yang mulia di tengah-tengah kaumnya, dan kesucian diri dari noda-noda paganisme pada zaman jahiliah sehingga tak heran bila masyarakat setempat memberinya julukan Ath-Thahirah (seorang perempuan yang suci).
Sebagai Ummul Mukminin (ibunya orang-orang mukmin), ia merupakan istri yang paling baik dan memiliki suri teladan yang baik bagi insan yang mau mengikutinya. Ia telah menyediakan rumah yang nyaman dan tenteram sebelum Nabi Muhammad saw. diangkat sebagai Rasul.
Ia memiliki keahlian dalam berdagang dan berasal dari keturunan orang berada. Khadijah menjadi seorang pedagang yang cukup sukses sehingga ia mempunyai beberapa orang pegawai yang dibayarnya untuk menjadi pekerjanya.
Menikah dengan Nabi Muhammad saw.
Pada 575 M, Khadijah ditinggalkan ibunya. Sepuluh tahun kemudian ayahnya Khuwailid yang menyusul. Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orangtuanya. Kemudian, Khadijah mengambil alih bisnis keluarganya itu.
Sebelum bertemu Rasulullah saw., Khadijah kali pertama menikah dengan Abu Halah ibn Zurarah At-Tamimi. Dari pernikahannya ini, Khadijah memiliki dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Itu sebabnya ia juga disebut sebagai Ummu Hindun. Tak lama kemudian, suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu, Khadijah menikah lagi dengan Atiq ibn Abid ibn Abdullah Al-Makhzumi. Setelah beberapa lama, suami keduanya pun meninggal dunia dan juga meninggalkan harta dan perniagaan.
Jadilah pada saat itu Khadijah menjadi perempuan terkaya di kalangan kaum Quraisy. Oleh karena itu, banyak pemuka dan bangsawan Quraisy yang datang melamarnya. Namun, Khadijah menolak lamaran mereka dengan alasan bahwa perhatian Khadijah saat itu sedang tertuju hanya untuk mendidik anak-anaknya. Dan, ia juga merupakan saudagar yang kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.
Padahal, alasan utamanya adalah karena ia mempercayai mimpinya. Pada suatu malam setelah melakukan tawaf di sekitar Kak bah, Khadijah tertidur dengan senyum di bibirnya. Kemudian, ia bermimpi bahwa matahari turun dari atas langit Mekah ke dalam rumahnya. Matahari itu begitu terang sehingga menyinari seluruh ruangan. Khadijah terbangun karena kaget. Lalu, ia memikirkan mimpinya tersebut.
Keesokan harinya, ia menemui sepupunya, Waraqah ibn Naufal, dan menceritakan perihal mimpinya tersebut;
“Berbahagialah, wahai sepupuku. Seandainya Allah benar-benar membuat mimpimu menjadi kenyataan, maka cahaya kenabian akan masuk ke rumahmu. Dan, darinya akan terpancar cahaya risalah nabi terakhir.”
Sejak saat itu, Khadijah menjalani hari-harinya dengan bahagia dan penuh pengharapan bahwa tafsir mimpinya itu akan terlaksana. Maka, ketika datang para pemuka Quraisy yang ingin melamarnya, tetapi ia tidak melihat ciri-ciri kenabian pada orang itu, Khadijah pun menolak semua pinangan itu dengan halus.
Sampai pada suatu ketika, Khadijah mendengar kabar tentang seorang pemuda berkepribadian yang jujur, ucapannya selalu benar, amanah, dan memiliki akhlak yang mulia. Pemuda itu tak lain adalah Muhammad saw. Khadijah menawari Muhammad untuk membawa harta dagangannya ke Syam (sekarang Suriah). Ia pun memberi gaji yang lebih besar daripada para pegawai sebelumnya.
Muhammad saw. pergi ke Syam, membawa barang dagangan Khadijah dengan disertai pegawai Khadijah yang bernama Maisyarah. Pada perjalanannya itu, di dekat rumah seorang pendeta Nasrani yang bernama Buhaira, Muhammad saw. mengajak Maisyarah untuk berhenti dan berteduh di bawah sebatang pohon.
Buhaira pun bertanya kepada Maisyarah; “Siapakah yang berteduh itu?”.
Maisyarah pun menjawab; “Ia hanya seorang laki-laki dari Suku Quraisy, dari Mekah”.
Buhaira kemudian berkata; “Tidak ada orang lain yang singgah dan berteduh di bawah pohon itu, kecuali ia adalah se orang nabi’’.
Ketika sampai di Syam, Muhammad saw. berhasil menjual seluruh barang dagangannya dan memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Setelah selesai urusannya, mereka pun segera kembali ke Mekah. Selama perjalanan pulang itu, Maisyarah sering melihat gumpalan awan yang memayungi Muhammad saw. dari panas matahari yang menyengat.
Sekembalinya di Kota Mekah, Muhammad saw. menyerahkan hasil perniagaannya itu kepada Khadijah dengan keuntungan dua kali lipat besarnya. Maisyarah pun lalu bercerita kepada Khadijah tentang perjalanan mereka, mengenai keuntungan-keuntungan, serta watak dan kepribadian Muhammad saw.
Mendengar dan melihat perangai yang baik, budi pekerti yang luhur, kejujuran, dan kemampuan yang dimiliki Muhammad saw., juga tanda-tanda kenabian seperti yang dikisahkan oleh Maisyarah tersebut, Khadijah pun semakin mengagumi sosok Muhammad saw., bahkan kemudian muncul juga perasaan cinta.
Kemudian, Khadijah pun menyampaikan keinginannya kepada saudara sepupunya yang bernama Waraqah ibn Naufal untuk meminang Muhammad saw. Waraqah adalah sanak keluarga Khadijah yang tertua. Ia kerap mengutuk bangsa Arab yang menyembah patung dan melakukan penyimpangan dari kepercayaan nenek moyang mereka (Nabi Ibrahim dan Ismail). Pendek kata, ia pun mengutus seorang sahabatnya yang bernama Nafisah binti Munayyah untuk menemui lelaki istimewa itu.
Nafisah binti Munayyah itu pun menyampaikan pesan Khadijah kepada Muhammad saw., “Wahai anak pamanku, sesungguhnya aku tertarik kepadamu karena kekerabatanmu, kemuliaan yang engkau miliki di kalangan kaummu, jiwa amanahmu, baik budi bahasamu, dan kejujuran tutur katamu.” Melalui perantaraan utusannya itu, Khadijah pun menawarkan dirinya kepada Rasulullah saw. untuk dilamar dan dinikahinya.
Berdasarkan pesan Khadijah melalui Nafisah itu, Muhammad saw. kemudian menemui pamannya, Abu Thalib, dan meminta nasihat dari beliau. Mendengar kabar menggembirakan itu, Abu Thalib pun tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan nya itu, dan ia pun berkata, “Sesungguhnya ini adalah rezeki yang Allah limpahkan untukmu, wahai Muhammad’’.
Kabar bahagia itu pun disampaikan kepada ‘Amr ibn Asad, paman Khadijah. Kemudian, diundanglah seluruh pemuka dan bangsawan Mekah untuk menghadiri akad nikah yang penuh berkah tersebut.
Tibalah hari suci yang dinantikan. Dengan mas kawin 20 ekor unta, Muhammad saw. menikah dengan Khadijah pada 595 Masehi. Akad pernikahan berlangsung dengan wali dari Khadijah adalah pamannya, ‘Amr ibn Asad dan Waraqah ibn Naufal. Dan, dari pihak keluarga Muhammad saw. diwakili oleh Abu Thalib dan Hamzah.
Sesaat sebelum akad, Abu Thalib menyampaikan lamaran sekaligus bermaksud untuk meminta kesediaan Khadijah binti Khuwailid untuk menikah dengan Muhammad ibn Abdullah saw.
Ia berkata; “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan Anda sebagai orang yang bernenek moyangkan Ibrahim, sebagai anak cucu Ismail dan Ma’ad, serta keturun an Mudhar. Ia telah menjadikan Anda sebagai penjaga Kakbah dan pemelihara kehormatan Baitullah. Ia menjadikan untuk Anda sebuah rumah bertabir yang penuh kesucian dan aman. Ia menjadikan Anda sebagai penguasa bagi manusia. Kemudian, anak saudaraku ini, Muhammad ibn Abdullah, adalah seseorang yang sukar dicari bandingannya. Walaupun dalam masalah harta ia termasuk papa, tetapi ketahuilah bahwa harta itu naungan yang akan hilang, menjadi perkara yang suatu saat akan sirna. Muhammad adalah orang yang keturunan dan kekerabatannya telah engkau kenal. Ia telah melamar Khadijah binti Khuwailid, serta memberikan mahar sebesar dua belas setengah uqiyah emas. Dan, demi Allah, setelah ini ia akan memiliki kedudukan yang agung dan tempat yang mulia’’.
Lamaran Abu Thalib itu disambut oleh Waraqah ibn Naufal yang berdiri mewakili Khadijah binti Khuwailid. Ia berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Anda sebagaimana Anda sebutkan tadi. Ia memberikan berbagai kelebihan sebagaimana Anda uraikan tadi, maka Anda semua adalah bangsawan Arab dan pemuka kaumnya. Anda merupakan pemilik keutamaan yang tak bisa dipungkiri oleh kabilah mana pun, kebesaran dan kemuliaan yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Kami sangat ingin memiliki tali hubungan dengan kemuliaan yang Anda miliki, maka saksikanlah wahai segenap pemuka Quraisy bahwa saya menikahkan Khadijah putri Khuwailid dengan Muhammad putra Abdullah’’.
Pernyataan Waraqah ibn Naufal tadi langsung ditegaskan kembali oleh ‘Amr ibn Asad. Ia pun berdiri dan mengucapkan kalimat sebagaimana diucapkan Waraqah sebelumnya, “Saksikanlah, wahai Kaum Quraisy! Sesungguhnya aku menikahkan Muhammad ibn Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid.” Saat itulah terjadi akad nikah yang telah mempersatukan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad ibn Abdullah saw. sebagai suami-istri. Segenap pemuka dan tokoh Quraisy menjadi saksi atas pernikahan itu.
Setelah ijab kabul pernikahan mulia itu terlaksana, diadakanlah walimatul ‘ursy (pesta pernikahan) dengan menyembelih beberapa ekor unta dan kambing. Acara ini dihadiri oleh para tamu undangan yang terdiri atas para sahabat dan kerabat kedua pengantin. Ternyata, di antara mereka yang hadir, ada pula ibu susuan Muhammad saw., yaitu Halimah Al-Sa’diyah dari Bani Sa’ad yang terletak cukup jauh dari Kota Mekah. Ia datang untuk ikut menyaksikan pernikahan Muhammad saw. yang dulu pernah menjadi anak susuannya. Usai menghadiri pernikahan itu, Halimah Al-Sa’diyah langsung pulang kembali ke Bani Sa’ad dengan dibekali sejumlah bahan makanan oleh Khadijah binti Khuwailid sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasanya mengasuh dan menyusui suaminya tercinta pada masa kanak-kanak.
Pada saat itu, Muhammad saw. berusia 25 tahun dan Khadijah berusia 40 tahun. Bagi keduanya, perbedaan rentang usia yang cukup jauh dan harta kekayaan yang tidak seimbang di antara mereka bukanlah masalah sebab pernikahan mereka dilandasi oleh cinta yang tulus dan pengabdian hanya kepada Allah Swt. Melalui pernikahan itulah, Allah Swt. memberi keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Dari pernikahannya dengan Muhammad saw., Khadijah dikaruniai enam orang anak meskipun usianya pada saat itu sudah 40 tahun. Menurut logika manusia umum, usia Khadijah tersebut tentunya adalah usia yang sudah uzur dan tidak produktif bagi seorang istri. Namun nyatanya, Allah Swt. berkehendak lain. Allah Swt. menganugerahkan enam anak dari pasangan Muhammad saw. dan Khadijah. Keenam anak itu terdiri atas dua orang putra dan empat orang putri. Anak pertama bernama Qasim sehingga kemudian Muhammad saw. mendapat julukan Abu Qasim. Putra kedua bernama Abdullah, yang diberi nama panggilan Ath-Thahir dan Ath-Thayyib karena dilahirkan setelah kedatangan Islam. Kedua putra ini meninggal dunia ketika masih bayi.
Anak yang ketiga bernama Zainab. Pada kemudian hari, Zainab menikah dengan Abu Al-‘Ash dan berhijrah memeluk Islam lebih awal daripada suaminya. Zainab meninggal dunia pada awal tahun kedelapan setelah memeluk Islam. Zainab dimakamkan di Pemakaman Baqi’.
Anak keempat dan kelima adalah dua orang putri, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Keduanya dinikahi oleh anak Abu Lahab, Atabah dan Utaibah. Mengetahui kedua putranya menikahi putri Muhammad saw., Abu Lahab pun marah dan berkata; “Aku tidak akan berkumpul dengan kalian jika kalian tidak menceraikan kedua anak Muhammad!” Maka, keduanya menceraikan istri mereka sebelum sempat menggaulinya.
Kemudian, Ruqayyah menikah dengan Utsman ibn Affan. Ia ikut berhijrah ke Kota Madinah bersama suaminya. Ia meninggal di Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Sepeninggal Ruqayyah, Utsman menikah lagi dengan Ummu Kulstum. Lantaran menikahi kedua putri Muhammad saw., Utsman ibn Affan kelak dijuluki Dzun Nurain (pemilik dua cahaya).
Sedangkan anak yang bungsu adalah Fatimah Az-Zahra. Ia menikah dengan sahabat yang terkenal dan disegani oleh umat, yaitu Ali ibn Abi Thalib. Ia adalah ibunda Hasan dan Husein. Fatimah mengembuskan napas terakhir pada 11 H dalam usia 30 tahun. Ia dimakamkan di Baqi’.
Dengan demikian, putra-putri Muhammad saw. semuanya lahir dari rahim Khadijah, kecuali Ibrahim yang lahir dari rahim Maria Al-Qibtiyah, seorang budak perempuan yang diterima oleh Muhammad saw. sebagai hadiah dari Muqaiqis, Raja Mesir.
Masuk Islam
Setelah menikah, Khadijah dan Muhammad saw. merasakan kedamaian dan ketenteraman hidup dalam makna yang sebenarnya. Barangkali inilah yang dijanjikan Allah Swt. dalam konsep sakinah:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ – ٢١
Terjemah :
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Khadijah mencintai suaminya, Muhammad saw., dengan seluruh perasaannya. Cinta kepada suaminya yang mulia, yang memiliki akhlak mulia yang tecermin dalam setiap perilakunya. Setelah sekian lama membina rumah tangga dan bergaul dengannya, Khadijah bertambah yakin bahwa lelaki yang ia pilih sebagai suaminya itu adalah orang yang paling pantas mengusung risalah dan membangkitkan umatnya dari keterpurukan dan paganisme jahiliah.
Khadijah selalu berusaha menyediakan setiap kebutuhan dan sarana yang dapat memberi ketenangan dan kesenangan kepada Muhammad saw. Ia tidak pernah ragu merelakan hartanya untuk digunakan oleh Muhammad saw. sehingga ia benar-benar menyerahkan seluruh emosi, perasaan, dan hartanya hanya kepada suaminya tercinta. Dan, ia pun selalu berusaha menyukai orang yang disukai oleh suaminya dan sangat menghormati orang yang menghormati suaminya sehingga Muhammad saw. pun menjadi seorang suami yang senang dan bahagia.
Setelah berkeluarga, Muhammad saw. mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya untuk merenung dan berpikir memperhatikan berbagai gejala alam dan persoalan hidup manusia. Sejak kecil ia memang terbiasa berpikir mendalam tentang kehidupan yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan Tuhan semesta alam, bahkan saat Muhammad masih kecil dan bekerja sebagai penggembala kambing. Ia banyak memikirkan soal Kakbah, sejarahnya, kehidupan nenek moyangnya, Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. hingga cikal bakal masyarakat Arab.
Muhammad juga sering memikirkan alasan orang-orang menyembah berhala yang mereka buat sendiri dan saat itu sangat banyak jumlahnya di dalam dan di sekeliling Kakbah. Padahal, Muhammad yakin bahwa mereka pun pasti sudah tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat melakukan apa-apa untuk mereka. Tak habis pikir Muhammad mengenai kebiasaan kaumnya tersebut.
Kemudian, Muhammad saw. pun berpikir dengan lebih mendalam, pasti ada sesuatu yang Maha di atas segalanya, yang menciptakan seluruh alam raya dan seisinya, yang telah mengaturnya dengan ketentuan-Nya, dengan hukum alam yang tak terbantahkan, tentang pergantian siang dan malam, terang dan gelap, dan berbagai kejadian alam lainnya.
Hampir lima belas tahun, Muhammad saw. selalu melakukan pemikiran tersebut dan ia sering berkhalwat (menyepi atau menjauhkan diri dari segala kesibukan) di dalam Gua Hira untuk memikirkan semua tentang manusia, kehidupan, dan alam semesta hingga pada suatu hari turunlah wahyu Allah Swt. kepadanya.
Malaikat Jibril mendekatinya dan berkata; “Bacalah!”.
Muhammad saw. menjawab, “Aku tidak dapat membaca”.
Lalu, Malaikat Jibril mendekap Muhammad yang berusaha keras untuk melepaskannya.
Jibril kemudian melepaskan Muhammad dan berkata lagi; “Bacalah!”
Muhammad kembali menjawab; “Aku tidak dapat membaca”.
Kemudian, ia merengkuh Muhammad dan mendekapnya lagi. Muhammad mencoba berontak,
Jibril pun melepaskannya dan berkata; “Bacalah!”.
Muhammad menjawab lagi, “Aku tidak dapat membaca”.
Kemudian, Jibril merengkuh Muhammad dan melepaskannya lagi hingga pada akhirnya Muhammad pun bisa membaca atas tuntunan Jibril, meski dengan suara terbata-bata.
“Allah tidak pernah memberiku pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia telah beriman kepadaku ketika orang lain kufur, ia memercayaiku ketika orang-orang mendustaiku. Ia memberi hartanya kepadaku ketika tidak ada orang lain yang membantuku.” (HR Bukhari)
Mengenai hal ini, Aisyah binti Abu Bakar r.a. berkata; “Sebelum kedatangan wahyu, awalnya Rasul sering mengalami al-ru’ya al-shadiqah (mimpi-mimpi yang benar). Apa yang sering terlihat dalam mimpinya itu selalu terbukti kebenarannya secara nyata. Setelah itu, Rasulullah saw. pun terbiasa untuk berkhalwat di Gua Hira. Di sana Rasul beribadah selama beberapa malam, kemudian pulang ke rumah Khadijah r.a. untuk mengambil bekal dan melanjutkan khalwatnya. Begitulah yang Rasul lakukan sampai kedatangan al-haq (kebenaran mutlak), yaitu kedatangan Malaikat Jibril a.s. untuk menyampaikan wahyu pertama: Iqra bismi Rabbikalladzi khalaq ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’” (HR Bukhari).
Dalam riwayat Al-Biqa’iy, disebutkan bahwa beberapa waktu sebelum turunnya wahyu pertama, Muhammad saw. sering mendengar suara;
“Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah Yang Maha benar!”,
Ketika mencoba mencari sumber suara itu, Muhammad saw. lalu menyaksikan semua penjuru penuh cahaya gemerlap. Kenyataan itu sangat meresahkannya hingga Muhammad saw. pun lantas tergesa-gesa pulang menemui istrinya tercinta, Khadijah r.a.
Saat tiba di rumah, Khadijah menyarankannya untuk menemui Waraqah ibn Naufal, seorang pendeta yang memiliki pengetahuan luas tentang agama-agama samawi terdahulu. Muhammad saw. pun segera menemui Waraqah. Dalam pertemuannya dengan Waraqah itu.
Waraqah ibn Naufal bertanya kepada Muhammad saw.,; “Dari arah mana engkau mendengar suara itu?”
Muhammad saw. menjawab; “Dari atas.”
Lalu, Waraqah menjelaskan; “Percayalah bahwa suara itu bukan bisikan setan karena setan tidak mampu datang dari arah atas, tidak pula dari arah bawah. Suara itu adalah suara malaikat!”.
Pada malam lailatul qadar, saat turun wahyu Ilahi pertama di Gua Hira, Muhammad saw. sangat ketakutan. Ketika fajar menjelang, Rasul terakhir bagi umat manusia ini pun bergegas pulang ke rumahnya. Saat bertemu dengan istrinya, Muhammad saw. segera menceritakan apa yang terjadi di Gua Hira dengan suara yang terputus-putus dan badannya menggigil ketakutan.
Sontak saja Khadijah pun segera mendekapnya dengan erat, menghibur, dan menenangkannya:
“Ya, Abul Qasim, Allah melindungimu, tenangkan, dan mantapkanlah hatimu. Demi Allah, aku berharap engkau akan menjadi Nabi bagi umat ini. Allah tidak akan menghinakanmu. Engkau adalah orang yang menjaga silaturahmi, selalu berkata benar, sanggup menghadapi kesukaran, hormat kepada para tamu, dan menolong orang-orang dalam kebenaran”.
Sikap mulia Khadijah ini pun lantas dikomentari oleh Aisyah Abdurrahman seperti berikut, “Adakah seorang perempuan selain Khadijah yang sanggup memberi suasana yang kondusif bagi Rasulullah saw. untuk melakukan renungan yang panjang dan sanggup mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan bentuk pengorbanan tingkat tinggi sehingga beliau benar-benar siap untuk menerima risalah dari langit?”.
Adakah seorang istri, selain Khadijah, yang dapat menyambut dakwah monumental yang dibawa oleh Rasulullah saw. dari Gua Hira seperti ditunjukkan oleh Khadijah? Yakni, menyambutnya dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan keimanan yang mendalam. Ia sama sekali tidak menodai keyakinan atas kejujuran Muhammad saw. dan tidak pula meninggalkan keyakinannya bahwa Allah Swt. tidak mungkin akan mencelakakannya.
Adakah seorang perempuan terpandang, kaya raya, hidup mewah, dan senang, selain Khadijah? Ia sanggup kehilangan segalanya, seperti kenyamanan, kemewahan, dan kenikmatan karena lebih memilih untuk tetap mendampingi suaminya dalam menjalani masa-masa yang sangat sulit. Ia tetap mendukung saat suaminya menerima berbagai macam penderitaan dan intimidasi, demi mempertahankan yang mereka yakini sebagai kebenaran?
Tidak. Hanya Khadijah yang mampu melakukannya karena dialah perempuan yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk mendampingi kehidupan orang yang dipilih oleh-Nya sebagai Nabi. Dialah orang pertama yang memeluk Islam dan Allah Swt. telah menjadikannya sebagai sumber perlindungan, ketenangan, dan dukungan bagi Rasulullah saw.
Setelah menenangkan suaminya, Khadijah pun segera menemui Waraqah ibn Naufal untuk menanyakan apa yang dialami oleh suaminya di Gua Hira. Waraqah menyambutnya dengan penuh sukacita dan sangat antusias mendengarkan kisah Khadijah tentang suaminya.
Wajah Waraqah tampak cerah berseri-seri sesaat setelah Khadijah selesai bercerita tentang peristiwa yang dialami sua minya di Gua Hira.
Dengan semangat, Waraqah berkata: “Mahasuci, Mahasuci, demi Tuhan yang menentukan hidup dan matiku. Jika engkau percaya, wahai Khadijah, yang datang kepada Muhammad itu adalah malaikat terbesar yang dahulu pernah datang kepada Musa dan Isa. Suamimu adalah Nabi bagi umat ini. Katakan kepadanya hendaknya ia tetap tabah dan tegar”.
Selesai mendengarkan pernyataan dari Waraqah tersebut, Khadijah tampak sangat bahagia. Ia pun segera meminta diri kepada Waraqah untuk memberi tahu suaminya tentang penjelasan Waraqah itu. Namun, saat tiba di rumah, dilihatnya Muhammad saw. masih tertidur sehingga Khadijah pun tidak tega untuk membangunkannya. Ia hanya duduk di pembaringan suaminya sambil menunggu Rasulullah terbangun dari tidurnya.
Tidak lama kemudian, dilihatnya Muhammad saw. bergerak, keringat dingin membasahi wajahnya, napasnya terengah- engah, Rasulullah pun membuka mata dan terbangun dari tidurnya. Sedemikian rupa keadaan Muhammad saw. sehingga terlihat seperti sedang mendengarkan suara di hadapannya perlahan-lahan, seakan-akan sedang mengingat kalimat-kalimat yang tidak boleh dilupakannya. Ternyata, pada saat itu Rasulullah saw. sedang menerima wahyu Ilahi yang kedua (Q.S Al-Muddatstsir; 1-7)
;
يٰٓاَيُّهَا الْمُدَّثِّرُۙ -١
Terjemah :
1. Wahai orang yang berkemul (berselimut)!
قُمْ فَاَنْذِرْۖ – ٢
Terjemah :
2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْۖ – ٣
Terjemah :
3. dan agungkanlah Tuhanmu,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْۖ -٤
Terjemah :
4. dan bersihkanlah pakaianmu,
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْۖ -٥
Terjemah :
5. dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji,
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُۖ -٦
Terjemah :
6. dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْۗ -٧
Terjemah :
7. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.
Saat Muhammad saw. menyadari keadaannya tersebut, ia lalu melihat ke sekelilingnya, tetapi tidak ada seorang pun, kecuali Khadijah yang memandang takjub ke arahnya. Istrinya itu lantas segera memberitahukan penjelasan Waraqah ibn Naufal kepadanya. Rasulullah saw. pun berkata, “Khadijah, habislah sudah waktu untuk tidur dan beristirahat. Baru saja, Malaikat Jibril menyampaikan wahyu Ilahi. Allah Swt. memerintahkanku untuk memberi peringatan kepada umat manusia dan mengajak mereka untuk sujud dan beribadah hanya kepada Allah Swt. Siapakah gerangan yang bisa aku ajak dan siapa pula yang akan menerima ajakanku?”.
Pada detik itu juga, Khadijah tanpa menyimpan keraguan sedikit pun menyatakan diri menerima ajakan suaminya, menerima risalah Allah Swt. yang dibawa suaminya. Betapa bahagia, tenang, dan tenteram hati dan jiwa Rasulullah saw. mendengar sambutan istrinya yang langsung mengakui dan membenarkan ajakannya. Khadijah pun menyatakan keimanannya kepada Allah Swt. dan membenarkan kerasulannya langsung di hadapan suaminya sendiri.
Khadijah mengimani kenabian Rasulullah saw., membenarkan risalah yang dibawanya, dan mendorong sepenuhnya tugas yang Rasulullah saw. emban. Khadijah menjadi orang yang kali pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia membenarkan ajaran yang dibawa oleh suaminya itu. Dengan kehadirannya, Allah Swt. pun meringankan beban yang dipikul Rasulullah Muhammad saw.
Pada awal-awal Muhammad saw. mendakwahkan Islam kepada kaumnya di Mekah, ia selalu ditolak dan didustakan, bahkan dirinya sampai dianggap sebagai orang gila. Setiap saat, selalu terdengar kabar menyedihkan tentang penolakan kaumnya terhadap kerasulan Muhammad saw. Namun, Allah Swt. senantiasa melapangkan hati Muhammad saw. dengan keberadaan istrinya tercinta, Khadijah. Jika Rasulullah saw. kembali kepada Khadijah, ia selalu meneguhkan hatinya, membantu meringankan bebannya, membenarkan ucapan dan tindakannya, serta menggembirakan hati suaminya atas segala penghinaan yang ditimpakan orang-orang Quraisy kepadanya.
Atas dukungannya terhadap Nabi Muhammad, Allah pun memerintahkan Nabi untuk menyampaikan kabar gembira tentang pahala kepadanya.
Rasu lullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah bahwasanya ia akan memperoleh rumah yang terbuat dari mutiara yang ditata indah, di dalamnya tidak terdengar kebisingan suara dan tidak didapat keletihan akibat kerja.” (HR Muslim)
Awal Masa Jihad di Jalan Allah Swt.
Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agama yang dibawanya sebelum diumumkan kepada masyarakat luas. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya dalam berjihad di jalan Allah Swt. dan turut serta menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah Swt.
Dengan turunnya wahyu kedua dari Allah Swt., yaitu QS Al-Muddatstsir : 1–7 tersebut, Muhammad saw. pun lalu mulai mendapatkan perintah berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan ahlul bait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman kepada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian, menyusul Ali ibn Abi Thalib, keponakan Rasulullah saw. yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau.
Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid ibn Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid ibn Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Zubair ibn Awam, Thalhah ibn Ubaidi- lah, dan sahabat-sahabat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran Kota Mekah.
Masa Berdakwah Terang–terangan
Setelah dirasa kurang efektif berdakwah secara sembunyi- sembunyi, lantas turunlah perintah Allah Swt. kepada Rasulullah untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Tanpa ada rasa takut sedikit pun, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar! Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Ia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan’’.
Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad saw. memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan kepada Latta, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang memenuhi pelataran Kakbah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah saw. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi dengan kotoran hewan dan duri. Mendapat perlakuan semacam itu, lalu apakah Khadijah mulai panik? Jawabannya, tidak!
Khadijah tetap tampil mendampingi Rasulullah saw. dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan dan dari bibirnya meluncur kata-kata yang menguatkan. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudi an ia memotivasi dan menguatkan hati Nabi Muhammad saw.
Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan sehingga tidak jarang ia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalah tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Di antara orang yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza ibn Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintahkan anak-anak mereka untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulul- lah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah Swt. telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman ibn Affan bagi Ruqayah. Allah Swt. mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya:
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ – ١
Terjemah :
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!
مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ -٢
Terjemah :
2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.
سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ -٣
Terjemah :
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).
وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ -٤
Terjemah :
4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ – ٥
Terjemah :
5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.
Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Khadijah tidak lagi memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan menegakkan agama Allah.
Sementara itu, Abu Thalib, paman Rasulullah saw., menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy. Sebab, Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh Kaum Quraisy.
Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslim
Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw. baik itu berupa rayuan, intimidasi, maupun penyiksaan, Kaum Quraisy lalu memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum Muslim dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Kakbah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum Muslim, termasuk Rasulullah saw, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran Kota Mekah dan diboikot oleh Kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah saw. dan istrinya tetap dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dari kehidupan sebelumnya yang selalu bergelimang dengan harta kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah saw. Ia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah Swt. akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup.
Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah bertambah kukuhnya keimanan dalam hati mereka. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy pun gagal sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum Muslim kembali ke Mekah. Rasulullah saw. pun kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
Kepribadian dan Keutamaan Khadijah
Keistimewaan dan keutamaan Khadijah sungguh tidak berbilang. Perjalanan hidupnya bertabur kemuliaan yang tidak terbatas. Kepribadian dan perilakunya yang lurus benar-benar sesuai dengan sifat orang mukmin. Terdapat banyak riwayat dan informasi dari data sejarah Islam yang menerangkan berbagai keutamaan perempuan suci yang mulia ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Imannya Kuat dan Ilmunya Mendalam
Pada masa jahiliah, Khadijah tidak seperti perempuan Quraisy pada umumnya. Ia begitu istimewa karena memi liki kehormatan, kedudukan yang tinggi, keimanan sejati, berjiwa besar, dan perilaku yang suci sehingga mendapat julukan Ath-Thâhirah atau perempuan suci. Ia adalah perempuan yang dekat dengan sumber-sumber keimanan. Di dalam jiwanya, ia banyak merasakan kegelisahan terhadap fenomena paganisme jahiliah. Oleh karena itu, tidak jarang ia mencurahkan kegelisahannya kepada Waraqah ibn Naufal.
Sebelum Islam datang, Khadijah menganut agama Hanif (agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s.) yang berpegang pada manhaj tauhid. Keimanannya sama sekali tidak pernah tercemar dengan lumpur ataupun noda-noda paganisme jahiliah yang tersebar pada masa itu. Demikianlah potret dan kualitas keimanan perempuan terbaik penghuni surga ini sebelum kedatangan Islam.
Setelah dipilih oleh Allah Swt. menjadi pendamping hidup Muhammad saw., Khadijah menjadi perempuan yang pertama memeluk Islam, percaya, dan beriman kepa- da Allah Swt. serta Rasulullah saw.
Tentang keimanan Khadijah, Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Allah tidak pernah memberiku pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia telah beriman kepadaku ketika orang lain kufur, ia mempercayaiku ketika orang-orang mendustaiku. Ia memberikan hartanya kepadaku ketika tidak ada orang lain yang membantuku. Dan, Allah Swt. juga menganugerahi aku anak-anak melalui rahimnya, sementara istri-istrikuyang lain tidak memberiku anak”. (HR Bukhari, Ahmad, dan Thabrani).
Keimanan Khadijah lahir dari ketajaman pandangan, keyakinan, kepercayaan, dan penyucian yang ditempuh untuk keimanan tersebut. Sebagai bukti dari keimanan tersebut, Khadijah berusaha menenangkan hati dan menguatkan pendirian suaminya menjelang Muhammad menerima wahyu pertama. Ia pernah mengatakan kepada Rasulullah saw.:
“Tidak suamiku, demi Allah. Allah itu tidak akan mungkin sekali pun merendahkan dirimu. Karena engkau selalu menyambung silaturahmi, memikul beban, menghormati tamu, membantu orang miskin dan engkau selalu menolong siapa saja. Bergembiralah engkau, wahai putra bapak saudaraku, dan teguhkanlah hatimu. Demi Tuhan, yang diriku atas kekuasaan Nabi, sesungguhnya aku sangat berharap engkau akan menjadi Nabi bagi umat ini”.
Khadijah bahkan selalu melapangkan hati dan menghilangkan kesedihan Rasulullah saw. Hal seperti ini sudah jelas muncul dari keimanan yang dalam, pemikiran yang cermat, serta pemahaman yang baik terhadap hakikat suatu permasalahan. Menurut pemahaman Khadijah, suaminya itu memiliki semua sifat-sifat terpuji sehingga Allah Swt. jelas tidak akan mungkin merendahkan Nabi Muhammad saw.
Mendapat Salam dan Berita Gembira dari Allah Swt.
Berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan yang mendapat salam dari Allah Swt. dan berita gembira bahwa ia akan mendapat sebuah rumah yang terbuat dari mutiara di surga, yang didalamnya tidak ada kepayahan dan kesusahan. Berikut inilah hadisnya:
“Wahai Rasulullah, ini adalah Khadijah, ia datangdengan membawa sebuah bejana dan wadah yang berisikanmakanan serta minuman. Maka, jika ia telah sampai kepa-damu, sampaikanlah kepadanya salam dari Tuhannya dandariku, dan beri tahukanlah kepadanya sebuah kabar gembiraberupa sebuah rumah di dalam surga yang terbuat dari muti-ara yang didalamnya menyenangkan dan tidak ada kepayahansertakesusahan”.(HR Bukhari).
Di dalam hadis yang lain, Anas ibn Malik berkata;
“Suatu ketika Jibril datang menemui Rasulullah. Pada saat itu beliau sedang bersama Khadijah. Maka, Jibril pun berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyampaikan salam kepada Khadijah.’ Maka, Khadijah pun menyahut: ‘Sesungguhnya Allah itulah As Salam. Salam (sejahtera) pula atas Jibril dan atasmu pula salam dari Allah beserta rahmat dan berkahfiya’”. (HR Nasa’i dan Hakim)
Dijuluki Ummul Mukminin yang Paling Utama
Khadijah itu lebih utama dibanding istri Rasulullah saw. lainnya karena beliau merupakan perempuan pertama yang beriman, yang berjuang bersama Nabi, dan yang selalu menemaninya pada saat suka maupun duka. Dialah yang menenangkan dan meneguhkan hati Nabi tatkala beliau menghadapi siksaan dan kezaliman Kaum Quraisy. Ia juga yang turut bersama-sama merasakan beban penderitaan dalam aksi boikot yang dilancarkan Kaum Quraisy kepada Rasulullah saw. Khadijah juga dijuluki Ummul Mukminin yang melahirkan putra-putri Rasulullah, kecuali Ibrahim.
Di antara beberapa hal yang menjadi keistimewaan Khadijah sebagai orang pertama dalam Islam antara lain:
- Orang pertama yang shalat bersama Rasulullah saw.
- Perempuan pertama yang memberi keturunan kepada Rasulullah saw.
- Perempuan pertama di antara istriistri Nabi saw. yang mendapat berita dijamin masuk surga.
Wafatnya Khadijah
Setelah berakhirnya pemboikotan Kaum Quraisy terhadap kaum Muslim, Khadijah kemudian sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan. Semakin hari, kondisi kesehatan badannya semakin memburuk. Dalam kondisi sakit yang tidak terlalu lama itu, pada usia 65 tahun akhirnya wafatlah seorang mujahidah suci yang sabar dan teguh imannya ini, Khadijah Al-Kubra binti Khuwailid.
Khadijah wafat pada 10 Ramadan tahun ke-10 kenabian atau tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah atau 619 M. Ketika itu, usia Rasulullah saw. sekitar 50 tahun. Beliau dimakamkan di dataran tinggi Mekah yang dikenal dengan sebutan Al-Hajun.
Peristiwa wafatnya Khadijah sungguh sangat menusuk jiwa Rasulullah saw. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu. Apalagi, Abu Thalib juga telah meninggalkannya. Dengan wafatnya dua orang yang dicintai Rasulullah saw., maka tahun itulah kemudian disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun ke- sedihan) dalam kehidupan Rasulullah saw.

Zainab binti Khuzaimah; Ibunda Orang Miskin

Leave a Reply