Home » Blog » Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta

Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta

Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta

Kritik Terhadap Sumber Rujukan dalam  Peristiwa Fitnah

Tidak ada diantara rentetan peristiwa sejarah umat kita  (lslam) satu peristiwa pun yang mencapai polemik seperti  kejadian yang menyebabkan kematian Khalifah Utsman bin Affan, hingga tragedi Perang Unta dan Shiffin. Bahkan peristiwa ini  dinamakan sebagai fitnah karena terjadi fitnah sesama manusia. Dan ia benar-benar menguji tingkat keberagamaan, akhlak dan  keteguhan mereka dalam prinsip dan akidah. Peristiwa itu betul-betul merupakan fitnah yang mencabik-cabik umat menjadi  kelompok dan golongan, dan merupakan awalpertentangan dan  perselisihan dalam Islam. Bahkan setiap orang dapat diketahui posisinya dari kejadian ini dengan pertanyaan: ‘Apa pendapatmu  tentang peristiwa Utsman, apakah terbunuh karena ia zhalim atau  terzhalimi?” Dan dari jawabannya akan diketahui, dari kelompok  mana ia.

Sumber-sumber tentang fitnah dan pemberitaan  mengenainya sangaflah banyak memenuhi isi kitab-kitab yang  berjilid. Dan memberi gambaran buat pembaca bahwa di  dalamnya akan didapati rincian kejadian dengan amat detail,  lengkap beserta tokoh-tokohnya, perkembangan, dan  prediksinya. Beberapa penulis sejarah kontemporer telah amat  banyak menulis tentang peristiwa ini, sehingga mereka sampai  pada kesimpulan yang bermacam-macam dan pada posisi yang  berbeda-beda. Karena setiap orang mendapatkan dari peristiwa  itu apa yang mendukung pendapat dan prediksinya, juga yang  menyokong opini dan kecenderungannya antara pendukung  Utsman atau penentangnya, dan antara sangsi terhadap posisinya  atau menjadi pembelanya, serta antara penghujat para sahabat  melalui pencercaan dan penghinaannya atau pembela para  sahabat yang selalu siap setiap saat dibutuhkan.

Kenyataannya, setiap sejarawan dari mereka memiliki  argumen yang mereka sandarkan dan ambil. Dan diantara  mereka ada yang mengumpulkan hal-hal yang saling  bertentangan, sekali-kali dibela dan sekali-kali diserangnya,  mencoba untuk menghabiskan kabar berita dan meletakannya  pada tempatnya. Padahal suatu hal yang saling bertentangan dan  bertolak belakang sehingga tidak bisa dikumpulkan.

Sungguh bahwa peristiwa-peristiwa fitnah itu tidak pernah  diketahui kejelasannya, dan seorang ahli sejarah tidak  sembarangan bersandar kepadanya kecuali memang yang shahih  dan benar-benar lebih unggul dari riwayat yang batil. Apakah ada  satu dari para sejarawan mencoba mengangkat pertentangan  dalam peristiwa itu dan mengklasifikasikannnya? Saya tidak tahu  persis. Tapi yang mungkin bisa diketahui bahwa para sejarawan  itu masih terus menggali sumber berita dan meletakannya  disamping berita lainnya, untuk menambah perbendaharaan  peristiwa tanpa mengklarifikasinya atau memastikan  keshahihannya.

Bagaimana cara memastikannya? Hendaknya kita.harus  mengawalinya dengan mengelompokkan berita-berita tersebut  sesuai riwayatnya agar bisa dipertemukan dengan prediksi para  periwayat tersebut, dan juga agar bisa dibedakan antara pembawa  berita yang jujur dan yang mencoba melakukan penyesatan.  Dapat terungkap dari mereka siapa diantara mereka yang paling  memastikan kebenaran riwayatnya. Itulah langkah pertamanya.  Selama seorang sejarawan tidak mengetahui sumber-sumber  informasi yang ada ditangannya dan tidak bisa mengukur  kebenarannya, maka ia tidak bisa membangun bangunan sejarah  di atasnya. Sehingga apa yang wajib dilakukan adalah melihat  sumber-sumber yang ada di hadapan kita, dikelompokkan lalu  memisahkan mana yang benar dan yang bohong. Inilah kritik  eksternal dalam sejarah dan kemudian disusul dengan kritik  internal untuk informasi berita, yang akan membuktikan  kesesuain dan ketepatannya dalam hal keshahihan dan  kepastiannya dan selaras denga logikanya.

Para sejarawan terdahulu telah banyak menulis tentang  pembunuhan Ubman. Dan orang pertama yang menulis tentang  kasus fitnah ini dalam sebuah karya tulis adalah Abu Mikhnaf Luth  bin Yahya (157 H), yang memiliki karya “Maqtal Utsmon”  (Pembunuhan Utsman).tl Diikuti kemudian Saif bin Umar At Tlrmimi (sekitar tahun 1 80 H), ia menulis buku’Al-Futu h Al -Kabiir  wa Ar-Riddah ” dan buku ” Al- Jamol wa MasiiratuAi.syoh wo Ali” .21  Kemudian Abu Ubaidah Mu’ammar bin Mutsanna (tahun 207 H)  dengan bukunya “Maqtal Utsman”.3t Dan kemudian buku “Ar Riddah wa Ad-Daar”al ditulis oleh Muhammad bin Umar Al Waqidy (207 H) seputar terbunuhnya Utsman dirumahnya.  Selanjutnya Ali bin Al-Madainy (225 Hl mengeluarkan kitab  “Maqtal Utsmah”.lt Dan Umar bin Syaibah (262 H) adalah  sejarawan terdahulu yang paling akhir menulis karya tentang  ” Maqtal Utsman” (Pembunuhan Utsman).

Dari pemaparan singkat ini bisa kita lihat bahwa para ahli  sejarah terdahulu menggebu-gebu dalam peristiwa ini, maka  mereka berlombaJomba berkarya didalamnya, karena peristiwa  ini memiliki nilai menurut para sejarawan. Namun buku karya  mereka tersebut tidak pernah selamat dari terpaan zaman  sehingga tidak ada satu kitab pun bisa berada di tangan kita.  Meskipun demikian para ahli sejarah yang sempat bertemu  dengan mereka telah mengingat dengan baik sebagian dari apa  yang ada didalam buku-buku tersebut. Sehingga didapatkan Al Baladzuri meriwayatkan kepada kita potongan dari informasi  berita yang dibawa oleh Saif bin Umar dan Al-Waqidy. Hal serupa  dilakukan Ibnu Asaakir pada karya biografi besar tentang  Utsman, yaitu karya yang belum sempat beredar dan ditelaah  para sejarawan di zaman sekarang.

Demikianlah dapat dikatakan bahwasannya sebagian  informasi bisa kita ketahui dari apa yang disebutkan oleh Abu  Mikhnal Saif, dan Al-Waqidy tentang peristiwa fitnah. Apabila kita  himpun perkataan dari setiap mereka dengan teliti maka akan  nampak bahwa ia memiliki arah yang berbeda-beda. Seperti Abu  Mikhnaf yang beraliran Syiah, ia tidak pemah mengangkat sosok  Utsman sebagai sang khalifah, jushu yang banyak adalah usaha  untuk menjatuhkannyau sehingga ia berhak mendapatkan itu  semua.

Ia juga membeberkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah  adalah salah seorang yang menentang dan memberontak  padanya.Dan mengesankan bahwa Ali bin Abi Thalib tampil  seakan-akan condong dan membela Utsman, padahal ia marah  terhadap perbuatan dan perkataannya.

Sedang Al-Waqidy dari riwayat-riwayatnya dapat dilihat  kebenciannya terhadap Ubman, sampai At-Thabary memperkecil  penukilan riwayat darinya karena kekejiannya, sebab apa yang  bisa dinukil darinya berisi hujatan dan tuduhan terhadap  Utsman. Dan oleh Al-Baladzuri hujatan kejam itu ditambahkannya. Sedang Al-Waqidy tidak mengurangi pengesanan para  sahabat sebagai perekayasa terhadap pembunuhan Utsman, khususnya disebut disini adalah Thalhah. Kemudian tidak  penting baginya bahwa Ali bin Abi Thalib tampakberseberangan  dengan Utsman dan berseteru dengannya. Adapun  Muhammad bin Abu Bakar baginya adalah pembunuh atau  pelaku langsung pembunuhan tersebut. ltu semua melalui  riwayat yang dituturkan para syeikh dan pendahulu syeikhnya. Adapun Saif bin Umar didapati lepas dan mengesampingkan riwayatAbu Mikhnaf dan Al-Waqidy, dengan menyajikan rantai sejarah yang tidak ada didalamnya tuduhan terhadap  para sahabat bahkan membebaskan mereka dari itu semua,  seperti yang akan kita saksikan.

Tapi anehnya, para sejarawan terdahulu dan juga terkini  sama-sama menyajikan secara sejajar pemaparan berita ketiga  sejarawan tadi, seakan-akan satu arah dan sejalan, padahal  sebenamya saling bertentangan dan bertolak belakllng. Sehingga  tidak diragukan lagi bahwa siapa yang ingin mendapatkan  macam-macam riwayat yang saling bertolak belakang untuk  mendukung teori yang dipahami dan dipertahankannya, maka  ia pun mendukung riwayat itu demi mendukung setiap yang ia  inginkan. Tapi apakah seorang sejarawan patut mengumpulkan  riwayat yang saling bertentangan tersebut? Tentu tidak, bahkan  ia seharusnya menunjukkan perbedaan pandangan para  sejarawan saat ia menukilnya dari mereka, untuk mengingatkan  pembaca akan fanatisme, tuduhan atau kekejian mereka.

Hendaknya kita saling bertanya pada saat di hadapan kita  sumber-sumber berita yang saling bertentangan dan bermacam-macam itu, mana yang kita jadikan sandaran dan kita akan  diambil? Sungguh upaya jarh dan to’dilyang dilakukan para ahli  hadits yang telah berhasil menyingkap ihwal para ulama dari sisi kredibilitas periwayatan mereka, mereka memperingatkan kita  untuk berhati-hati terhadap perkataan Al-Waqidy.

Imam An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i menuduhnya dengan  dusta dan mengada-ngada, yaitu suatu klaim terpedas yang  disandangkan kepada seorang periwayat kabar berita. Adapun  Bukhari,Ad-Dulaby, Al-Uqaily, dan Abu Hatim Ar-Razi telah  sepakat untuk tidak mengambil riwayat-riwayatnya. Dikatakan  oleh Adz-Dzahaby: “Telah tercapai kesepakatan umum (ijma’)  unfuk melemahkan riwayat Al-Waqidy.”

Sehingga jika pendapat para ahli hadits ini disandarkan  maka apa yang dikatakan Al-Waqidy itu setidaknya dibenturkan  ke dinding. Adapun pandangan mereka tentang Abu Mikhnaf  lebih kurang pedas dari pada Al-Waqidy, namun mereka tidak bisa  mempercayai kabar-kabamya, dan menilainya lemah, dan tidak  memperdulikan riwayat darinya karena ia telah tertuduh sebagai  zindiq.

Pendapat keseluruhan ulama jorh wata’dil dari kalangan  ahli hadits bahwa mereka tidaklah bisa percaya kepada ketiga  sejarawan tersebut yang menyimpan riwayat cerita tentang bagedi  fitnah. Sehingga di sini perlu segera dikatakan bahwa penilaian  ahli hadits terhadap kalangan sejarawan hendaknya tidak  dijadikan neraca terakhir dalam sejarah, karena para ahli hadits  sangat keras dan ketat dalam timbangan penilaian mereka, dan  jika diterapkan standar penilaian ini terhadap sejarah, maka  sebagian besar dari sejarah akan runtuh.

Untuk itu kita kembali kepada ukuran timbangan kedua  yaitu bahwa para ahli hadits juga memperrnudah dalam riwayat  dari orang-orang yang dinilai lemah, walaupun riwayat-riwayat  mereka sebenarnya lebih mendukung hadits-hadits yang shahih  dan bisa dipercaya. Jadi dalam sejarah bisa dimaklumi mengambil  sisi kelonggaran dari para ahli hadits, sehingga bisa dijadikan  sarana untuk menelusuri kebenaran atau hakekat sejarah dan  pengetahuannya.

Dengan demikian kita wajib menemukan berita-berita yang  shahih tentang tragedi fitnah tersebut dan mempertimbangkannya dengan apa yang dikabarkan oleh Al-Waqidy, Abu  Mikhnaf, dan Saif. Maka riwayat-riwayat shahih itu sejalan dengan  riwayat mereka terhitung sebagai hal yang bisa diambil, dan apaapa yang bertolak belakang, hendaknya dibuang dan ditinggalkan. Cara seperti itu tidak saja bisa berlaku untuk hadits tapi juga  bisa diterima dalam sejarah.

Bahkan sejarah menambahkannya dengan yang suafu hal  yangbisa diambil, yaitu sejamh bisa mempercayai perkataan para  saksi mata lebih besar dari kepercayaannya kepada orang-orang  yang jauh dari suatu peristiwa.

Jadi misi yang kita emban adalah mendapatkan riwayat-riwayat dari peristiwa fitnah yang diriwayatkan oleh orang-orang  yang bisa terpercaya dan jujur, yang bersumber dari para saksi  mata dalam kejadian-kejadian tersebut atau dari sumber terdekat.  Agar kumpulan tersebut rnenjadi standar bagi kita semua unfuk  menerima riwayat-riwayat yang lain atau bahkan menolaknya.

Riwayat-Riwayat Terdahulu dan Utuh dari  Peristiwa Fitnah Serta Kritiknya

Terdapat beberapa berita yang terpotong-potong tentang  peristiwa fitnah yang riwayatnya dapat dipercaya dan  diriwayatkan langsung oleh para saksi mata. Dan peristiwa itu tidak ditampilkan secara kronologis sejarah, tapi memberikan  potongan kecil dari peristiwa tanpa harus bersambung dengan  kejadian-kejadian lain. Pemberitaan yang sebagian-sebagian ini amatlah terbuka untuk bisa diletakan dalam timbangan dan  disandingkan dengan berita-berita lain yang serupa, atau untuk dibenarkan dengannya, tapi tidak serta merta menjadi standar umum.

Tapi beruntunglah bahwa riwayat lama dari peristiwa fitnah  ini yang tidak terputus-putus, dengan penuturan sejarah yang  hampir lengkap, dan meliput banyak dari kondisi sekitar kejadian.  Dan riwayat ini bebas untuk dijadikan standar yang mendalam, dan kita akan menampilkan riwayat-riwayat itu dengan gaya  penuturan sejarah, dan siapa saja saksi mata yang diambil  didalamnya.

Berikut ini akan disajikan beberapa sumber yang ada yaitu  tujuh riwayat, dimana akan mengisahkan kisah fitnah dengan  sajian sejarah yang runut, dan setiap riwayat dinisbahkan kepada  periwayat pertama yang menyaksikan kejadian atau bersambung  langsung dengan orang yang menyaksikannya kemudian  dituturkan seperti yang ia ketahui atau yang ia gambarkan.  Ketujuh riwayat lama tersebut ternisbat pada periwayat berikut:

  1. Yazid bin Abi Habib (tahun 53-L28 H) yaitu Mufti Mesir pada
  2. Muhammad bin Syihab Az-Zuhri{58-124 H)Ahli hadits dari negeri Syam.
  3. Abu Khunais Sahm Al-Azdi yang hadir dalam peristiwa dan hidup sampai masa Umarbin AbdulAziz.
  4. Said bin Al-Musayyib (13-94 H) salah satu dari tujuh fuqaha terkemuka di Madinah.
  5. Al-Ahnaf bin Qais (7zH\yaitu pembesar bani Tamim yang terkenal kesantunan dan Ia hidup sezaman  dengan tragedi fitnah atau tidak jauh darinya.
  6. Abu Said Maula Abu Usaid Al-Anshari, ikut menyaksikan hagedi fitnah dan mengetahui keadaannya.
  7. Zubair bin Awwaam, salah seorang sahabat

Betapa amatpentingnya ketujuh riwayat tadi benar-benar  ternisbahkan kepada periwayatnya, sebab ia bagaikan harta  temuan yang menyingkap rahasia kejadian fitnah. Namun  riwayat-riwayat tersebut sayang bukan pada satu tingkatan yang  sama dalam keshahihan. Seperti riwayat yang dinisbatkan kepada  Said bin Al-Musayyib harus dijauhkan, karena setelah ditelusuri  tampak lemah dan munkar. Imam Al-Hakim An-Naisaburi  menyatakan salah satu perawi dalam sanadnya telah digugurkan  dari sanad karena orang yang lemah dan riwayatnya dipungkiri.Kenyataannya bahwa riwayat ini tidak memberikan kehormatan  yang disandang Said bin Al-Musayyib sebagai shahabat dalam  perkataannya yang lain yang benar. Adapun riwayat Az-Zuhri, para ahli hadits menganggap  isnadnya lemah, namun kelemahan tersebut tampak lebih jelas  dari sisi kritikan internal. Seperti bahwa riwayat ini meletakkan  Thalhah bin Ubaidillah sebagai turut serta bersama para  penentang Utsman. Yaitu posisi yang yang bertolak belakang sama  sekali dengan perginya Thalhah kepada Ali bin Abu Thalib untuk  meminta balas dendam akan kematian Utsman. Maka tidak  masuk akal bahwa ia termasuk para penentangnya, lalu  kemudian menuntut pembalasan atas tertumpahnya darah  Utsman. Ia bahkan keluar memerangi mereka bersama Aisyah,  dan membunuh jumlah yang cukup besar dari mereka, seperti  yang akan kita lihat.

Sedang riwayat Yazid bin Abi Habib juga tergolong lemah  dari sisi sanad, dan didalamnya didapati berita-berita yang aneh  yang tidak ada dalam riwayat-riwayat lainnya.

Apapun penilaian terhadap riwayatAz-Zuhri dan Yazid bin  Abu Habib, namun yang pasti keduanya tidak sempat  menyaksikan kejadian tersebut, maka sudah barang tentu kita  harus mengedepankan riwayat-riwayat dari para saksi mata  bagedi tersebut atas riwayat keduanya, jika penisbatannya riwayat  kepada mereka memang shahih. Untuk riwayat Az-Zubair  terbilang riwayat yang teringkari karena diriwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal.

Untungnya bahwa tiga riwayat lainnya datang dari orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut, dan teriwayatkan  dengan sanad yang baik, tidak mengalami laitikan atau sanggahan  jika dibandingkan sedikitnya riwayat-riwayat sejarah yang  sanadnya bersih dari anggapan ragu atau lemah.

Mengagumkannya lagi bahwa ketiga riwayat ini mengarah  pada satu haluan dalam mengisahkan peristiwa inidan saling  mendukung satu sama lainnya seperti yang akan terlihat nanti.  Berikut akan ditampilkan satu persatu dari riwayat-riwayat  tersebut.

Pemaparan Riwayat Abu Said

Riwayat shahih yang pertama dan terpenting adalah  riwayatAbu Said Maula Abu Usaid As-Sa’idy Al-Anshari.Abu  Said ini telah menyaksikan sendiri peristiwa itu, dan seperti dinukil  dari Abu Nadhrah, ia juga mengetahui para tokoh didalamnya  dan sempat berkumpul dengan mereka seperti Thalhah dan Ali  bin Abu Thalib. Bahkan Abu Nadhrah yang menukil dari Abu  Said ini hidup berdekatan dengan masa peristiwa Jamal (perang  Unta), atau mungkin ikut serta didalamnya. Dan peristiwa ini  terjadi setahun setelah terbunuhnya Utsman.

Dari sini komentar apa yang bisa dilontarkan terhadap  sebuah riwayat dengan sanad yang baik yang dinukildari orang  yang sezaman dengan peristiwa dan berdekatan darinya, bahkan  mungkin ikut serta didalamnya, kemudian penukilannya melalui  orang yang menyaksikannya atau melihat sendiri bagian dari  peristiwa tersebut; bukankah layak untuk bisa dijadikan asas  sandaran? Tentu saja jawabannya: Iya. Apalagi jika ditambah  kepercayaan akan riwayat ini dengan ukuran lain, seperti  kecocokannya dengan potongan-potongan berita tentang  kejadian yang terlihat tampak pada kitab-kitab hadits shahih, dan  juga sejalan dengan alur dua riwayat lainnya yang menggunakan  saksi-saksi langsung pada kejadian, yang kemudian menghapus  keraguan terhadap riwayatAbu Said ini.

Berikut, teks dari riwayat tersebut yang dimulai dengan  pemberitaan utusan Mesir yang datang ke Madinah dengan  membawa protes ketidakpuasan terhadap tindakan Utsman di  tahun-tahun kekhilafahannya yang terakhir:

Bagian pertama: Pertemuan antara Utsman dan ufusan  dari Mesir yang memprotesnya.

“Tatkala Utsman mendengar bahwa utusan penduduk  Mesir telah menuju kepadanya, maka ia ingin menyambutnya di  sebuah kampung yang terletak di luar kota Madinah. Ketika  mereka mendengar rencana tersebut, maka utusan itu bertemu  ke tempat yang Utsman sudah ada di situ, karena ia tidak senang  mereka menemuinya di kota Madinah. Maka datanglah mereka  dan berkata kepadanya: ‘Ambilkan sebuah mushaf Al-Quran”,  maka Utsman pun mengambilnya, kemudian mereka berkata:  “Buka Surat ketujuh!” Dan mereka menyebut surat Yunus  dengan surat ketujuh. Maka dibacakan surat itu oleh Utsman  sampai pada ayat berikut:

“Katakanlah apakah kamu sekalian melihat apa yangtelah  Allah turunkan bagimu sekalion dari rezeki, kemudian jadikan hol  itu horam dan holol. Katakan hanya Alloh-lah yang menglzinkan  itu semua atau kepada Allah kamu sekalian akan berbuat  berdusta.” Maka mereka berkata: “Berhenti! Bukankah engkau  melarang para penggembala mengembalakan hewan dimana  untamu ada didalamnya?? Apakah Allah yang mengizinkanmu  atau kepadaAllah kamu berdusta?” Maka Utsman berkata: “Saya  akan melaksana-kannya, ayat ini diturunkan dalam hal ini dan ini.  Sedang tentang wilayah terlarang yang kalian maksud itu  sebenamya Umar telah menetapkannya sebelumku untuk setiap  unta sedekahan. Adapun ketika aku memerintah bertambahlah  jumlah unta sedekahan, maka aku tambahkan tempatnya sesuai  pertambahan unta sedekahan tadi. Dan saya akan tetap  melakanakannya.

Namun mereka tetap mendesak Utsman dengan ayat ifu,  namun Utsman tetap mengatakan: “Saya akan tetap  melaksanakannya, ayat itu turun dalam perkara ini dan ini.” Fada  waktu itu yang berbicara dengan Utsman adalah pemuda  berumur tigapuluh tahunan. Kemudian mereka mengkritiknya  dengan hal-hal yang ia tidak punya jalan keluar darinya. Dan  Utsman pun mengakuinya, ia kemudian berguman: “Saya  memohon ampun dan bertaubat pada Allah.” Lalu ia katakan  kepada mereka: ‘Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab:  “Kami akan meminta perjanjian darimu.” Kemudian mereka  tuliskan persyaratan yang harus dipenuhi Utsman, sementara  Utsman mengambiljanji mereka untuk tidak melakukan  pemberontakan, juga tidak memisahkan diri dari jamaah (kaum  muslimin) apabila Utsman telah menjalankan syarat mereka, atau  sesuai dengan yang mereka sepakati. Dan Utsman berkata kepada  mereka: ‘Apa yang kalian inginkan?” Mereka berkata: “Kami  ingin penduduk Madinah tidak mengambil pemberian tersebut.”  Utsman menjawab: “Tidak! Sesungguhnya harta ini diperuntuk kan bagi orang yang berperang dan orang terdahulu dari para  sahabat Rasulullah.” Mereka pun ridha akan keputusan itu dan  mereka pun masuk ke kota Madinah dengan hati yang lapang.

Kemudian Utsman berdiri untuk berkhutbah seraya  berkata: “Sungguh demi Allah tidak pernah saya melihat utusan  di muka bumi ini yang lebih tahu tentangku daripada utusan  yang datang kepadaku ini.” Dan sekali lagi ia mengatakan: “Aku  khawatir akan utusan dari penduduk Mesir ini, maka barangsiapa  memiliki tanaman maka segeralah ia menyusulnya, dan barang siapa memiliki hewan perahan maka segeralah ia memerahh  susunya. Ingatlah! Tidak ada haria kalian pada kami, karena harta  ini diperuntukkan bagi yang berperang atau para pendahulu dari  sahabat Rasulullah.” Maka marahlah semua orang, dan mereka  berkata: “lni adalah makar orang-orang BaniUmayyah.”

Ini adalah bagian pertama dari teks riwayat. Didalamnya  tampak bahwa Utsman dan orang-orang yang datang dari Mesir  mengambilhukum antara mereka dengan Al-Qur’an. Hal ini  persis seperti apa yang ada di potongan teks lain dengan sanad  shahih dari Muhammad bin Sirin, seorang alim yang masyhur,  dimana dikatakannya: “Maka tatkala ditawarkan kepada mereka  Al-Qur’an maka mereka menerimanya.” Dan tampak di  dalamnya juga beberapa syarat dan bukan seluruhnya. Adapun  sisa dari syarat tersebut dan pembatasannya dalam komentar Ibnu  Sirin sebagai berikut: “Dan mereka mensyaratkan bahwa sesuafu  yang ternafikan akan dibalikkan, dan yang tadinya dilarang akan  diberikan, dan akan dipenuhi/oi’, dan akan dalam pembagian nya, dan akan diangkat orang yang memiliki kekuatan dan  amanah.”

Dan perlu kita tunjukkan di sini bahwabagian pertamadari  teks ini menunjukkan bahwa Utsman tidak bisa melepaskan diri  dari segala perbuatan-perbuatannya kepada utusan Mesir  tersebut, dan sebenarnya masalah mendasar adalah masalah  pembagian harta hasil/utuhaot (pembukaan wilayah baru); yaitu  masalah amat penting seperti yang akan lihat.

Bagian kedua: Ditemukannya surat bercap tandatangan  Utsman berisi perintah untuk membunuh beberapa orang dalam  utusan Mesir

“Kemudian para utusan Mesir itu kembali dengan segala  kerelaan. Namun di tengah jalan mereka mendapatkan seorang  pengendara menghalangi mereka kemudian memisahkan diri,  kemudian datang kembali kepada mereka, kemudian  memisahkan diri dan kadang mendahului mereka. lalu mereka  menghardik pengendara tadi: ‘Ada apa, jika ada urusan apa  maumu?” Dia menjawab: “Saya adalah utusan Amirul Mukminin  kepada gubernurnya di Mesir.” Mereka pun menggeledahnya,  ternyata mereka menemukan sebuah surat yang didiktekan oleh  Utsman unfuk gubernumya, dan di sifu ada stempelnya: agar ia  menyalib mereka (para utusan) atau membunuhnya, atau  memotong tangan dan kaki mereka karena pembangkangan  mereka.” Maka para utusan itu berputar kembali, sesampainya  mereka di kota Madinah mereka mendatangi Ali seraya berkata:  ‘Apakah dirimu tidak melihat jelas musuh Allah? Sungguh  Utsman telah menulis tentang kami begini dan begitu…Maka  sesungguhnya Allah telah menghalalkan darahnya. Untuk itu  berdirilah, wahai Ali, untuk menemuinya bersama kami!” Ali  Rodhiyallahu Anhu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan pergi  bersama kalian”. Maka mereka berkata: ‘lladi kenapa engkau, ya  Ali, menulis (sebuah surat) kepada kami?” Ali menjawab: “Demi  Allah, saya tidak pernah menulis surat apapun kepada kalian.”  Kemudian para utusan itu saling memandang satu sama lainnya,  lantas sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:  “Hanya karena inikah kalian akan berperang atau hanya gara gara inikah kalian marah?” Kemudian Ali bergegas bangkit dan  keluar dari kota Madinah menuju sebuah kampung, sedang  mereka bergerak pergi menemui Utsman, kemudian berucap: “Engkau telah menulis tentang kami begini, dan begitu. . .  ” Lantas  dijawab oleh Utsman: “sungguh hanya ada dua pilihan: kalian  datangkan dua orang saki dari kaum muslimin, atau kalian ambil  sumpah dariku dengan nama Allah Yang tidak ada Tuhan  melainkan Dzat-Nya, bahwa saya tidak pernah menulis (surat),  atau memberi catatan, atau mengetahui hal tuduhan itu. Dan  kalian tahu bahwa sebuah surat bisa ditulis atas dasar omongan  orang, dan stempel bisa diukir (ditiru) dengan stempellain!”  Mereka berkata: “Demi Allah, telah Allah halalkan darahmu, telah  berakhirlah perjanjian dan kesepakatan kita!” Kemudian mereka  mengepung Utsman.

Pada bagian kedua ini terlihat amat penting, dimana  terbongkar beberapa fakta-fakta yang selama ini nampak kabur  dan buram. Yang pertama adalah kisah si-pengendara. Pada kisah  tadi terdapat keanehan dan keganjilan. Semestinya pengendara  tadi bukan sembarang utusan yang dikirim untuk misi rahasia,  sehingga ia diminta untuk menghindari siapa pun di tengah  perjalanannya, juga menyampaikan tujuannya tanpa ada  seorang pun yang mengetahuinya, sebagaimana perihal para  utusan yang membawa sebuah perintah penting maka ia pun  semestinya tidak mengetahuinya. Namun si pengendara dalam  kisah tadi bermaksud agar misinya bisa diketahui, maka tampak  ia menghalangi para utusan Mesir itu, kemudian menjauh, lantas  kembali lagi, terus berpisah jauh dan kadang mendahului mereka.  Siapakah orang yang melakukan halseperti ini? Bukankah orang yang ingin mencari perhatian dan menimbulkan tanda tan1n, dan  jika mendapat perhatian maka ia akan ditanya apa sebenarnya  yang ada padanya. Seakan-akan ia ingin mengatakan: “Lihatlah  kepada diriku, ketahuilah aku, tanyalah diriku tentang apa yang  ada padaku!” Dan memang terjadi demikian, sipengendara itu  ditangkap dan ditanya. Dan akan terlihat pada teks riwayat lain,  bagaimana bahwa perkara utusan ini bukan seperti biasanya,  melainkan direncanakan oleh sebagian dari utusan-utusan Mesir itu sendiri.

Fakta kedua yang tersingkap dari bagian kedua ini adalah  tentang Ali bin Abu Thalib. Dan para utusan Mesir itu telah  menunjukan kepadanya surat yang mengajaknya unfuk pergi ke  Madinah mendatangi Utsman, padahal surat tersebut tidaklah  benar adanya. Sehingga Ali mengatakan: “DemiAllah saya tidak  pernah sama sekali menulis surat kepada kalian.” Maka di sana  terdapat pemalsuan mengatasnamakan lisannya, dan surat yang  tertulis atas namanya untuk menggugah dan menggerakkan  orang.

Dan suratyangtertulis atas nama Ali tersebutbukanlah satu-satunya, pada teks riwayat lainnya yang disandarkan kepada Ibnu  Katsir: “Masruq berkata kepada Aisyah Radhiyallahu Anhu:  “Perbuatan ini (pembunuhan Utsman) adalah perbuatanmu.  Kamu telah menulis surat kepada orang banyak dan menyuruh  mereka untuk memberontak kepada Utsman.” Maka dijawab  oleh Aisyah: “Tidak, Demi Dzat yang diimani kaum mukmin dan  dikafiri kaum kafir, saya tidak pernah menulis kepada orang-orang  itu noda hitam di atas kertas putih sampai saya duduk pada  majlisku ini.” Dan dikomentari oleh Al-Amasy:.”Mereka  menganggap bahwa surat itu ditulis dengan mengatasnamakan  lisannya (Aisyah).”

Fakta ketiga yang tampak pada bagian kedua dari teks  riwayat ini adalah bahwa Utsman setelah menafikan dirinya  menulis surat tersebut, ia mengalihkan perhatian bahwa stempel  yang tertera bukanlah stempelnya, melainkan stempel buatan  yang terukir persis seperti stempelnya. Dan ini adalah bentuk dari  pemalsuan yang mungkin terjadi. Dan dari perkataan ini  menguatkan siapa pihak yang terkirim surat tersebut. Maka di sini  pengirimnya bukan sosokyang ingin menjebloskan para utusan  tadi di tangan gubernur Utsman di Mesir. Atau dengan kata lain,  pengirimnya bukanlah Marwan yang membawa stempel Khalifah  dan menuliskan namanya, seperti yang diisyaratkan beberapa  riwayat tertulis versi Al-Waqidy dan lainnya dari para sejarawan  yang tergolong lemah untuk peristiwa ini. Maka Utsman  menafikan bahwa surat tersebut terstempel dengan stempelnya  sendiri.

Tiga fakta ini telah menjelaskan kepada kita bahwa di balik  kejadian ini terdapat konspirasi dan rekayasa yang terencana, dan  para pelakunya bukanlah-seperti yang diklaim oleh beberapa  teks-teks palsu- para shahabat yang berada di Madinah, seperti  Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Melainkan mereka adalah  pemeran-pemeran palsu yang tidak menampakkan diri, dan  nantinya segala upaya mereka akan jelas kemudian.

Bagian ketiga: Penolakan utusan Mesir pemberian air dari Utsman dan diskusinya dengan mereka.

Suafu hari Utsman sedang melakukan pengawasan dan ia  mengucapkan : “Assalamu’ alaikum. ” Kebetulan tidak seorang pun  yang mendengar apalagi menjawabnya, kecuali Utsman  menjawabnya sendiri. Kemudian ia berkata: “Demi Allah, apakah  kalian tahu bahwa saya telah membeli sumur tempat minum  dengan hartaku agar dengannya bisa terlepas dahaga, kemudian  aku buat talitali milikku yang ada pada sumur tersebut seperti juga  tali orang muslimin?” Mereka menjawab: “Benar.” Utsman  berkata: “Maka atas dasar apa kalian melarang saya untuk  meminum darinya sampai saya sarapan dengan air laut.” Lantas  disambung: “Demi Allah, apakah kalian tahu bahwa saya pernah  membeli ini dan itu dari sebidang tanah kemudian saya  menambahnya dalam masjid?” Mereka menjawab: “lya.” I alu ia  berkata: ‘Apakah kalian tahu bahwa ada seseorang telah dilarang  untuk shalat sebelum saya (juga) dilarang?” Utsman  menambahkan: “Demi Allah, apakah kalian mendengarbahwa  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan ini dan itu  -segala sesuatu tentang urusannya- dan Allah sebutkan hal  tersebut dalam Kitab-Nya (Al-Quran) yang sempurna…?” Maka  tersebarlah berita larangan tersebut, sehingga membuat orang  banyak mengatakan : “Pelan-pelanlah, wahai Amirul Mukminin. ”  Dan tersebarlah berita larangan itu, dan saat itu juga berdirilah  Asytar atau di hari yang lain, llalu berkata: “Mungkin telah terjadi  pemakaran terhadap dirinya dan diri kalian.” Maka banyak orang  yang mengiyakan dan seide sampai bertemu ini dan itu.  Kemudian Abu Said Maula Abu Usaid yang menceritakan kisah  inimengatakan: “Saya telah melihat Utsman mendatangi para utusan itu pada suatu kali, kemudian ia menasehati mereka dan  mengingatkannya. Namun mereka tidak mengindahkan  nasehatnya. Sedang kebanyakan orang umumnya memper hatikan nasehatnya pada awal hal itu didengarnya, namun  mereka meski nasihat itu diulang, mereka tidak mempeduli kannya.”

Bagian ketiga dari teks riwayat ini di dalamnya  mengisyaratkan juga adanya rekayasa yang diarahkan kepada  Utsman, yaitu tatkala dikatakan oleh Malik Asytar dimana ia telah  memainkan peranan besar setelah itu: “Nampaknya telah terjadi  makar terhadap Utsman dan diri kalian.” Adapun yang ada  dibagian ini dari persaksian Utsman terhadap beberapa pekerjaan  yang dilakukannya pada masa Rasulullah, maka bisa dilihat pada  kitab-kitab Ash-Shihoh menunjukkan persaksian tersebut dengan  teks-teks yang terputus-putus yang terdapat pada sanad-sanad  lainnya. Dan diantaranya ada yang bunyinya mirip seperti teks  tersebut dan ini menunjukkan akan keshahihannya.

Bagian keempat: Mimpi Utsman melihat Rasulullah  Shallallohu Alaihi wo Sallam di saat tidurnya dan masa penantian kematiannya

“Kemudian ia membuka pintu dan meletakkan Al-Quran  diantara kedua tangannya, dan pada saat itu ia melihat di tengah  malam bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sollam bertutur:  “Bersantaplah bersoma kami malam ini.”  Pada bagian ini oleh Abu Said peristiwa ini dikisahkan  dengan singkat, namun hal itu tidak melebihi apa yang dilihat  Utsman sesungguhnya di dalam tidumya,-beberapa riwayat lain  yang banyak menyebutkan dengan jalan bermacam-macam, dan  disebut oleh Ibnu fuakir versi lainnya melalui beberapa sanad. Dan sebagian menyebutnya tanpa sanad Imam Ath:Thabari. Dan keyakinan Utsman akan apa yang ia lihat dalam mimpinya  serta penyerahannya kepadanya, memberi tafsiran bahwa beliau  memang memerintahkan agar para shahabat dan para  pembelanya untuk segera pulang ke rumah-rumah mereka;  seperti terlihat pada banyak teks dari jalur yang berrnacarn-macam  yang disebutkan oleh Ibnu Asakir.

Bagian kelima: Bagaimana Utsman dibunuh dan siapa  yang membunuhnya?

“Lalu masuklah kepada Utsman seseorang laki-laki, seraya  ia berkata: ‘Antara diriku dan dirimu Kitabullah”, kemudian laki laki itu keluar dan meninggalkannya. Lantas masuk kepadanya  laki-laki lainnya sambilberkata: ‘Antara diriku dan dirimu  Kitabulllah”, sedangkan sebuah mushaf AI-Quran ada  ditangannya. Maka diayunkan kepadanya sebilah pedang,  kemudian ditepislah dengan tangannya sampai terpotong, -tidak  tahu persis apakah hanya menciderainya atau sampai  memotongnya, tidak ada keterangannya-. Maka ia (Utsman)  berkata: “Demi Allah pada tapak tangan inilah pertama Al-Quran  aku tulis.” Dan putri Farafashah mengambiltubuh suaminya dan  diletakkan di kamarnya, dan itu sebelum ia terbunuh, maka  ketika terasa dan terbunuh maka ia keringkan darah darinya.  Maka sebagian mereka mengatakan: “Semoga Allah membunuh  istrinya, lihatlah betapa tuanya ia.” Maka segera ia mengetahui  bahwa musuh-musuh Allah tidak menginginkan apapun kecuali  dunia.”

Sampai bagian ini maka tuntaslah apa yang disebutkan  oleh Abu Said dalam riwayat pembunuhan Utsman.

Pemaparan Riwayat Sahm Al-Azdi

Dan lekarang akan ditampilkan riwayat Sahm yang  dijuluki dengan Abu Khunais, yaitu seorang laki-laki berasal dari  kabilah Azad, ikut menyaksikan pembunuhan Utsman, dan ia  satu-satunya yang dijumpai Umar bin Abdul Aziz diantara orang orang yang melihat terbunuhnya Utsman. Kemudian ia ditemui  oleh Tsaur bin Yazid Ar-Rahbi Al-Kalaa’i Al-Abid, seorang ahli  hadits (-153H), yang memintanya mengulang kembali hadits  yang disampaikannya kepada Umar bin Abdul Aziz, maka Sahm  pun meriwayatkannya untuknya.

Tsaur bin Yazid Ar-Rahbi berkata: “Sahm telah  mengabarkan kepadaku bahwa dirinya bersama Utsman bin  Affan pada hari dimana ia dikepung di dalam rumahnya, maka  ia menganggap bahwa penunggang kuda itu berasal dari  penduduk Mesir yang pernah datang kepadanya sebelum itu,  ketika itu mereka oleh Utsman telah diperkenankan dan telah  diridhai, lantas kemudian mereka pergl.”

Ungkapan singkat ini sejalan dengan apa yang telah  disebutkan Abu Said pada bagian kedua dari riwayatnya, dimana  ia berkata: “Kemudian para utusan Mesir itu pulang dengan  penuh kerelaan”, dan seakan mewakili mereka Said berkata:  “Sampai ketika mereka berada di pertengahan jalan, mereka  berpencarseakan mereka ingin pulang, dan keluarlah Utsman bin  Affan kemudian menunaikan shalat dhuha atau shalat zhuhur,  maka penghuni masjid menghujaninya dan melempamya dengan  bafu kecil, sandal, dan sepatu.”

Dan berikut iniadalah tafsiran dan rincian perkataan Abu  Said: “Maka marahlah orang-orang sambil berkata bahwa ini  adalah rekayasa Bani Umayyah, selanjutnya Tsaur berkata seperti  dinukildari Sahm: “Maka beranjaklah Utsman menuju mmahnya  dan bersamanya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,  Marwan bin Hakam, dan Mughirah bin Akhnas, serta banyak lagi  orang lain yang tidak bisa saya hafal untuk disebutkan kecuali  nama-nama tadi. Kemudian mereka mengawasi dari belakang  rumah, pada saat yang sama tiba-tiba rombongan brang-orang  celaka’ itu telah memasuki kota Madinah dan disambut oleh  orang banyak sampai mereka menempati pintu rumah Utsman,  dan di tangan mereka senjata pedang. Maka Utsman berkata  kepada seorang anak muda dari pihaknyayang bernamaWibab:  ‘Ambillah beberapa kilo kurma ini…,kemudian beranjaklah  dengan membawa kurma ini menuju rombongan kaum tadi,  dengan jika mereka mau menyantap makanan kita biarkan saja,  dan jika engkau was-was terhadap mereka, tinggalkan mereka dan segera kembali.” Segera anak muda tadi beranjak dengan kiloan  kurma tadi, dan ketika mereka melihatnya maka mereka  menghujaninya dengan anak panah. Anak muda tadi langsung  saja lari berbalik, sedang dipundaknya tertancap anak panah.  Maka keluarlah Utsman ke arah mereka bersama beberapa  orang, kemudian mereka pun berlari mundur hingga akhirnya  melihat seorang laki-laki berjalan dengan mundur ke belakang,  Aku bertanya: “Mengapa engkau lari sambil mundur ke  belakang?” Ia justru membalikkan badannya karena takut  ditangkap. Maka kami mengambilnya dan membawanya  menemui Utsman bin Affan. Ia lalu berkata: “Wahai Amirul  Mukminin, sesungguhnya kami demi Allah tidak ingin  membunuhmu, tetapi ingin memberi peringatan kepadamu,  maka peringatilah kaummu dan ambillah kerelaannya.” Utsman  menjawab: “Wahai Abu Hurairah, semoga mereka betul-betul  menginginkan hal itu, maka lepaskanlah mereka!” Maka kami  pun melepaskan mereka.”

Kisah ini bukan dalam riwayatAbu Said, namun isinya tidak  bertolak belakang, bahkan ia merupakan rincian terhadap  peristiwa yang khusus. Dipahami darinya bahwa sebagian dari  penduduk Mesir datang dan mengawasi Utsman di rumahnya.  Kemudian Sahm menuturkan: “Dan keluarlah Aisyah Ummul  Mukminin seraya bbrkata: “lngatlah Allah! Ingatlah Allah, wahai  Utsman dalam urusan darah kaum mukminin!” Maka ia pun  segera kembali ke dalam rumah.

Dan kisah di atas adalah kejadian lain yang tidak termasuk  dalam riwayat Abu Said, tapi isinya tidak jauh berbeda. Sepertinya  Aisyah mengkhawatirkan terjadinya bentokan keras diantara dua  pihak setelah keluarnya Utsman dan para sahabatnya menuju  gerombolan pengepung rumahnya yang tampak ingin memberi  pelajaran kepadanya, maka segera Aisyah mengeluarkan  tegurannya tadi. Adapun apa yang diriwayatkan Sahm setelah  kejadian ini, maka didalamnya terdapat keterputusan dan  kealpaan tentang kejadian “Al-Kitaab”, seakan-akan ia memang  tidak ingin membahasnya, atau mungkin ia tidak menghadirinya.  Dan yang ia munculkan dalam riwayat berikut adalah Utsman  meminta pendapat dari para sahabatnya tentang apa yang ia  akan perbuat.

Sahm menuturkan: “Dan ketika Utsman selesai shalat  shubuh bersama kami, lantas ia berkata: ‘Berikanlah pendapat  kalian untukku,’ maka tidak ada yang berbicara kecuali Abdullah  bin Zubair: “Wahai AmirulMukminin, akan saya tunjukkan  kepadamu tiga hal, pilihlah salah satunya yang engkau sukai: (1)  kita keluar berihram untuk umrah sehingga diharamkan kepada  mereka darah kita semua. Dan kita dalam keadaan demikian  hingga bantuan pasukan datang dari arah Syam -dan Utsman  sebelumnya pernah menulis surat kepada penduduk Syam,  khususnya penduduk Damaskus: ‘Sungguh saya ini berada di  tengoh satu kaum dimana usioku telah diponjangkan nomun  mereka ingin mempercepat takdir (membunuhku-Edt), dan  mereka memberi pilihan kepada saya antara mereka membawa  soya di atas unta yang tua menuju gunung Ad-Dukhan, atau saya  melepaskan untuk mereka selendang yang Allah kenakan  untukku, atau saya membiarkan mereka untuk menuntus  qishohsh dariku. Dan barangsiapa berada pada kekuasaan bisa  saja berbuat salah ataupun benar.”- ,(2)atau kita melarikan diri  dengan cepat sampai seorang pun tidak ada yang tahu hingga kita  meraih tujuan kita dari negeri Syam, atau (3) kita bersama orang orang yang mendukung kita keluar dengan pedang, hingga kita  berperang dalam kebenaran, sedang mereka dalam kebatilan.”

Utsman berkata:”Adapun usulmu agar kita keluar untuk  umrah sehingga diharamkan darah kita, maka demi Allah  seandainya mereka tidak akan melihatnya hari ini karena bagi  mereka haram, tapi mereka tidak mengharamkannya jika kita  telahtahalluldari umrah. Sedang idemu untukkeluarlari ke negeri  Syam, maka demi Allah sesungguhnya saya amat malu untuk  datangke Syam karena lari dari kaumku dan penduduk negeriku.  Adapun gagasanmu agar keluar dengan pedang yang kita miliki  dan beserta siapa saja yang mengikuti kita untuk melakukan  pertempuran karena kiia yang benar dan mereka yang batil, demi  Allah, sungguh saya masih amat mengharap akan bertemu Allah  dan saya tidak pernah menumpahkan setetes pun dari darah  kaum mukminin.”

Pemberitaan ini bukan termasukriwayatAbu Sa’id namun  tidak bertentangan, dan tampak lebih rinci darinya. Kemudian  oleh Sahm ditambahkan sebagai berikut “Setelah beberapa hari  kami tinggal diam maka kita menunaikan shalat subuh. Selepas  shalat, Utsman memberi’ceramah di depan kita dengan memuji  dan mengagungkan Allah, kemudian berkata: “Suatu malam  (dalam mimpi) Abu Bakar dan Umar pernah mendatangiku,  keduanya mengatakan kepadaku: “Berpuasalah, wahai Utsman,  karena engkau akan berbuka di kediaman kami.’ Untuk itu,  sebenamya aku bersaksi kepada kalian bahwasannya diriku telah  berpuasa dan telah berazam terhadap siapa yang beriman kepada  Allah dan Hari Akhir kecuali ia keluar dari rumah ini dalam  keadaan selamat dan muslim.”  Perkataan ini mirip seperti yang disajikan oleh Abu Sa’id,  hanya saja dalam mimpi di sini bersama Abu Bakar dan Umar  tanpa Rasulullah Shollo llahu Alaihi wa Sallam. Selanjutnya Sahm  berkata:

“Maka kami berkata: “Wahai Amirul Mukminin, jika kita  keluar, kita tidak bisa merasa aman dari mereka atas terhadap diri  kita, maka izinkan kami ada dalam satu rumah yang didalamnya  ada perlindungan dan penjagaan.” Maka Utsman pun mengizinkan  mereka memasuki rumah, dan Utsman memerintahkan agar  pintunya dibuka. Ia pun meminta mushaf Al-Qur’an lalu mulai  membacanya tanpa sibuk dengan yang lainnya. Saat ifu Utsman  mempunyai dua istri yaitu puhi Farafashah Al-Kalbiyah dan pubi  dariSyiibah.”

Penjelasan ini memberi penjelasan apa yang ada dalam  riwayatAbu Sa’id, dan tidak ada pertentangan antar keduanya.

Lalu Sahm melanjutkan: “Dan yang pertama kali masuk ke  dalamnya adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq,  kemudian ia berjalan ke arah Utsman sampai ia memegang  jenggotnya, maka Utsman berkata: “Lepaskan wahai anak  saudaraku, demi Allah, ayahmu saja sungguh amat segan unfuk  memegang jenggot yang kurang dari (yang kau pegang) ini.”  Maka ia pun malu kemudian pergi keluar seraya berkata: “Aku  sudah mengenainya (maksudnya telah mengenai jenggotnya –  Edt).” dan Utsman mengambil apa yang rontok dari dagunya lalu  diberikan kepada salah satu ishinya. Lantas masuklah Rumman  bin Wardan -termasuk dari kabilah Murad-. Ia adalah seorang  laki-laki yang pendek, bermata biru, dan ada bercak bekas cacar,  berasal dari keluarga Dzu Ashbah, di tangannya ada sebuah  tombak terbuat dari besi. Maka Utsman menyambutnya,  selanjutnya Rumman bertanya: “Pada agama apa kamu, wahai  orang tua brengsek?” Utsman menjawab: ‘Aku bukanlah tua bangka brengsek, tapi aku adalah Utsman bin Affan, dan aku  berada di atas agama Nabi Ibrahim yang hanif lagi berserah, dan  saya tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” Segera  dijawabnya: “Kamu telah berdusta!” Segera lakiJaki itu memukul  Utsman dengan tongkat besar tersebut pada bagian kiri pelipisnya,  kemudian dibunuhnya. Dan oleh istinya -yaitu puti Farafashah Utsman didekap diantara pakaiannya. ”

Sedangkan apa yang terjadi selanjutnya, maka tidaklah  perlu dikisahkan di sini. Namun sebenarnya setelah pembunuhan  Utsman terjadi bentrokan keras antara para penentang dan  sahabat-sahabat Utsman di dalam rumahnya. Dan rincian dari  baris cerita tentang hal ini pada satu saat tampak lebih luas dari  riwayat Abu Said dan pada kondisi lain lebih pendek, dan  keduanya saling melengkapi yang lain.

Dan saya menilai bahwa cerita Sahm tentang peristiwa ini  tidaklah bertolak belakang dan berbeda dengan kisah Abu Sa’id  dan tidak berbeda, terkecuali dalam rinciannya atau hal-hal yang  tidak dijelaskan oleh pihak yang lain, maka keduanya saling  melengkapi satu sama lainnya; suatu hal merupakan ciri khas  riwayat-riwayat sejarah yang shahih dan benar.

Pemaparan Riwayat Ahnaf bin Qais

Sedangkan riwayat Ahnaf bin Qais, terlihat harmonis  dengan dua riwayatsebelumnya dan saling melengkapidi bagian  mana keduanya terputus. Dan Ahnaf bin Qais termasuk tokoh  ahli hikmah di kalangan Arab, yang dikenal dengan  kepemurahannya, sehingga ia sering dijadikan tamsildalam hal  itu. Juga ia tergolong orang yang bisa dipercaya, sekitar tahun  70 H ia wafat, dan sempat hidup di masa Nabi Muhammad  Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan riwayatnya termasuk sanad  yang shahih.u Darinya An-Nasa’i pernah mengutip safu bagian  darinya, lalu diriwayatkan secara panjang dan singkat.zl Berikut  teks riwayatnya secara lengkap:

Al-Ahnaf berkata: “Suatu kali kami bertolak dari kota  Madinah untuk menunaikan ibadah haji, maka dari rumah  masing-masing kami semua mempersiapkan perjalanan itu,  sampai datanglah seseorang berkata: “Mereka telah membuat  kepanikan dan berkumpuldi masjid, maka kami segera beranjak  pergi dan melihat banyak manusia sudah mengerumuni  seseorang di tengah masjid. Ternyata di situ sudah ada Ali, Zubair,  Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqqash dan juga kami, serta merta  datanglah Utsman bin Affan dan terucap: “Nah, ini Utsman telah  datang”, maka tampak kuning kepucatan penuh menghiasi raut  mukanya, seraya ia berucap: ‘Apakah Ali ada di sini?” Mereka  menjawab: “lya.l’ Lagi ia bertanya: jApakah Zubair ada di sini?”  Mereka menjawab: “lya.” Ia bertanya lagi: ‘Apakah Thalhah ada  di sini?” Dijawabnya: “lya.” Utsman berkata: ‘Aku bertanya  kepada kalian, Demi Allah, yang tiada Tuhan kecuali Dia, apakah  kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pemah  bersabda: ‘Barangsiapa membeli tempat pengering kurma dari  bani fulan semoga Allah memberi ampunan baginyo’ , maka saya  pun membelinya sebesar duapuluh atau duapuluh lima ribu,  kemudian aku mendatangi Rasulullah seraya berucap: ‘WahaiRasulullah, saya telah membelinya.’ Kemudian Rasulullah  menjawab: Jadikan barang itu untuk masjid kita ini, dan  pahalanya untukmu.’?”

Kemudian serentak khalayak yang hadir bersuara: “lya,  benar.” Selanjutnya Utsman menyebutkan beberapa hal lain  semacam ini.

Bisa dinilai bahwa pada umumnya untaian kisah di atas  sesuai dengan riwayat Abu Said.

Al-Ahnaf berkata lagi: “Maka aku menjumpai Thalhah dan  Zubeir sambil bertanya: ‘Kepada siapa kalian berdua perintahkan  aku pergi kepadanya dan kalian rela akannya? Sebab aku tidak  melihat laki-laki ini (Utsman) kecuali akan mati terbunuh.”  Keduanya menjawab: “Ali.” Aku menegaskan: ‘Apakah kalian  berdua memerintahkan kepadaku untuk datang kepada Ali dan  kalian rela kepadanya?” Keduanya berucap: “lya.”

Segera aku bertolak pergi sampai aku menginjakkan kota  Makkah, maka tiba-tiba datang kepada kami musibah  terbunuhnya Utsman. Aku lalu menemui Aisyah Radhiyallohu  Anha,lalu aku bertanya: “Siapa yang akan engkau perintahkan  kepadaku untuk aku bai’at?” Aisyah menjawab: ‘Ali.” Aku  tegaskan lagi: “Jadi engkau beri perkara ini kepadaku untuk  memilih Ali dan engkau rela akannya?” Aisyah menjawab: “lya.,’

Maka ketika aku melewati rumah AIi di Madinah, maka aku  membai’atnya, kemudian aku kembalilagi ke kota Bashrah. Dan  aku tidak lagi melihat persoalan ini kecuali sudah tampak stabil sepertibiasa. Maka demikianlah yang kami dapatkan sampai  datang seseorang seraya berkata: ‘Aisyah, Thalhah, Zubeir telah  turun ke dekat Kharibah.” Maka aku bertanya: ‘Apa yang  membuat mereka datang ketempat itu?” Mereka berkata:  “Mereka telah mengirim kepadamu (Ahnaf), untuk mengajakmu  memenangkan tuntutan tumpahnya darah Utsman.” Maka orang  itu menyampaikan padaku perkara yang jauh lebih menakutkan  dari perkara apapun. Lantas aku berkata: “Sungguh  penolakanku terhadap mereka sementara mereka bersama  Ummul Mukminin dan sahabat dekat Rasulullah sungguh adalah  perkara yang berat, dan sebaliknya jika aku memerangi seseorang  yang masih anak paman dari Rasulullah yang mereka telah  memerintahkanku untuk membai’atnya juga adalah perkara yang  sangat berat.” Maka ketika aku datang pada mereka, mereka  mengatakan: “Kami datang untuk meminta bantuan atas  tumpahnya darah Utsman karena ia terzhalimi.” Maka aku  katakan: “Wahai Ummul Mukminiin, aku tanyakan kepadamu,  demi Allah; bukankah telah aku katakan kepadamu: ‘Siapa yang  engkau usulkan kepadaku (untuk aku jadikan pemimpin)’, lalu  engkau jawab: Ali.’ Ketika kutegaskan: Apakah engkau memerintahkan kepadaku untuk memilihnya dan engkau rela  akannya?’, engkau katakan:’lya.’ Aisyah segera merijawab:  ‘Memang betul, tapi sekarang berubah.’ Kemudian aku berucap:  “Wahai Zubeir pengikut dekat Rasulullah! Dan wahai Thalhah!  Aku tanyakan kepada kalian berdua, demi Allah bukankah aku  pernah bertanya kepada kalian apa yang akan kalian perintahkan  kepadaku? Lantas kalian menjawab: ‘Ali.’ Kemudian aku tegaskan:  Apakah kalian memerintahkanku unutk memilih Ali dan kalian  rela akannya?’ Dan kalian berdua menjawab: ‘lya.”‘ Selanjutnya  Zubeir dan Thalhah menjelaskan: “lya memang benar, namun hal  itu sudah berubah.” Maka dengan tegas aku katakan: “Demi Allah, aku tidak akan berperang bersama kalian, sedangkan  bersama kalian Ummul Mukminin dan pengikut dekat Rasulullah,  dan juga aku tidak akan memerangi laki-laki putera paman  Rasulullah, yang telah kalian perintahkan padaku untuk  memba’iatnya.”

Dan teks riwayat ini tidak didapatkan pada riwayat Abu  Sa’id atau riwayat Sahm, namun akan melengkapi keduanya.  Disamping menafikan perbedaan yang lalu antara Ali, Zubeir,  Thalhah, dan antaraAli dan Aisyah. Dan ini menunjukkan bahwa  Aisyah, Zubeir, dan Thalhah beritikad bahwa Ali telah berubah  setelah kekhilafahannya, atau bahwa Ali tidak berjalan pada  syarat-syarat yang telah memba’iatnya. Dan Aisyah pernah  merelakannya menjadi khalifah setelah muncul kabar  terbunuhnya Utsman di kota Makkah dimanaAisyah berada.

Maka sangat jelas bahwa tiga riwayat itu sejalan dan seiring  saling melengkapi dengan riwayat-riwayat itu semua. Maka  dengan kedudukannya sebagai riwayat-riwayat orang yang  menyaksikan kejadian, dan mempunyai peran didalamnya; dan  karena yang menukilkan riwayat ini kepada kita adalah sosok  yang terpercaya dan tidak berdusta, maka secara historis kita  harus menjadikan riwayat-riwayat ini sebagai landasan pokok  yang kita jadikan sandaran dan percayai, serta kita pertemukan  dengan riwayat-riwayat lainnya, yang jika saling berbenturan  dengannya maka bisa kita pastikan bahwa riwayat-riwayat  (terakhir) ini tidak menunjukkan hakekat kejadian yang  sebenamya.

Pijakan-pijakan Dasar Yang Bisa Dipetik dari  Tiga Riwayat Tersebut

Apa pokok dasar utama dari peristiwa ini yang bisa dipetik  dari riwayat-riwayat tadi, dan yang harus disandingkan dengan riwayat-riwayat lainnya; yang jika riwayat itu memiliki keanehan  dari yang lainnya berarti riwayat ini tidak pantas dianggap sebagai  fakta kenyataan utama?

Pijakan pertama: bahwa Utsman bin Affan telah banyak  menjawab tuduhan yang tertuju ke arah dirinya, dan telah  meminta ampunan (beristighfar) atas segala perbuatannya yang  telah ia akui sebagai kesalahan yang ia perbuat, sehingga orang-orang yang marah kepadanya rela terhadap apa ia janjikan untuk  memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.

Pijakan kedua: bahwa Utsman belum pernah merubah  janjinya, dan belum pernah mengirim surat kepada para  pegawainya di Mesir untuk membunuh para pemberontak.

Pijakan ketiga: bahwa Utsman sebenarnya bisa memerangi  mereka yang dianggap keluar dan membalasnya, namun ia tidak  ingin bertindak sesuatu yang mengakibatkan fumpahnya darah  kaum muslimin dalam rangka membela dirinya, atau untuk  meninggkalkan kota Madinah. Bahkan sikap yang diambilnya adalah pasif, sampai-sampai ia rela untuk dibunuh, atas dasar  mimpi yang ia saksikan.

Pijakan keempat: bahwa para sahabat generasi awal  berada di pihak Utsman, menyerahkan segala urusan kepadanya,  memperkokoh kekuasaan-nya, ditambah dukungan dari putra[1] putra mereka.

Pijakan kelima: bahwasanya tidak pernah ada di benak  Thalhah dan Zubeir untuk menguasai kekhilafahan, dan tidak juga  keduanya tamak akannya setelah Utsman. Keduanya bahkan  melihat bahwa Ali yang paling pantas akan khilafah.

Pijakan keenam: bahwa Aisyah sejalan dengan pendapat  kedua sahabat di atas dalam hal ini.

Pijakan ketujuh: bahwa Aisyah, Thalhah, dan Zubeir telah  keluar untuk menuntut tumpahnya darah Utsman, karena keyakinan mereka bahwa Utsman terbunuh dengan kezhaliman,  dan mereka berkeyakinan bahwa Ali paling tepat menggantikan  posisi Utsman. Dan sepertinya mereka melihat hal ini sebagai  suatu tindakan untukbalas dendam terhadap Utsman.

Pijakan kedelapan: bahwa diantara penduduk Madinah  adabeberapa orangyang mempunyai dendam terhadap Utsman  karena persoalan materi. Sebab Utsman pernah berkehendak  melarang mereka untuk ikut serta dalam harta hasil pembebasan  wilayah baru (futuhat). Dan kebanyakan atau sebagian dari  mereka adalah yang meninggalkan tanah, pertanian dan  peternakan mereka dan pergi ke Madinah untuk menuntut  pembagian harta tersebut.

Pijakan kesembilan: Diantara penentangAli adalah mereka  yang merasa cemburu (shiroh) atas dasar agama.

Pijakan kesepuluh: Adanya tangan-tangan tersembunyi  yang bermain di balik layar untuk menciptakan perpecahan di  kalangan muslimin. Pihak itulah yang membuat surat-surat atas  nama para sahabat, dan tangan jahil itulah yang memalsukan  surat yang dikirim kepada para pegawai Utsman di Mesir, dan  kelompok inilah yang memprovokasi semua perkara.

Pijakan kesebelas: bahwa diantara para penentang terdapat  beberapa orang dari sahabatyang memiliki rasa dendam, seperti  Muhammad bin Abu bakar, mungkin juga Muhammad bin Abu  Hudzaifah, dan Ammar bin Yasir. Namun permasalahan ini tidak  sampai kepada keterlibatan mereka dalam pembunuhan Utsman.

Inilah pokok-pokok yang nampaknya akan menjadi  penuntun kita untuk melihat berita dan riwayat seputar  pembunuhan Utsman, sehingga bisa dijadikan sandaran. Dan  selanjutnya kita akan menilai sumber-sumber lain yang ada  tentang fitnah ini selaih tiga riwayat yang shahih tadi, sehingga kita  bisa membandingkarinya.

Sebelumnya sudah dibuat dua macam pembagian dari  sumber-sumber tersebut:

Pertama: Sumber para ahli sejarah terdahulu yang telah  menulis tentang fitnah, dan berita-berita tersebut bisa sampai  melalui kitab-kitab yang telah beredar, yaitu karya Al-Waqidy,  Abu Mikhnaf, dan Saif.

Kedua: Sumber kisah fitnah lainnya dari para saksi mata,  atau dari siapa saja yang bertemu dan bersambung dengan para  saksi mata, seperti: Yazid bin Abu Habib, Az-Zuhri, dan Said bin  Al-Musayyib, Zubair bin Awwam.

Dapat dilihat bahwa mereka dari kedua kelompok para  narasumber riwayat fitnah tersebut tidak mungkin bisa dianggap  berita-berita mereka shahih, atau layak dipercaya dari sisi  penuturannya. Dan telah dilihat kelemahan pada penutur riwayat  yang ada. Darinya riwayat-riwayat itu tidak terlalu disandarkan  untuk dijadikan sebagaibukti. Hanya saja metode sejarah dan  para ahli hadits itu tidaklah menghalangi untuk dapat dijadikan  alat bantu atau sandaran jika riwayat-riwayat itu dalam bentuk  yang searah dengan pokok-pokok pijakan yang telah dicapai di  atas sebagai standar pemberitaan yang shahih dan baik, dan  ditutur riwayatkan oleh para saksi kejadian.

Apakah riwayat-riwayat kedua kelompok ini berada pada  alur ini? Semua riwayat tadi, terkecuali salah satu darinya,  bertolakbelakang pokok-pokok tersebut. Dan satu-satunya  diantara riwayat-riwayat tersebut yang berjalan searah dengan  pokok-pokok tersebut adalah riwayat Saif, sebab riwayat ini  menampilkan alur kisah peristiwa fitnah yang tidak berbeda  dengan pokok-pokok di atas, kecuali beberapa rincian yang  kebanyakan para periwayatnya juga berlainan.

Sehingga di sini kita harus komitmen dari sisi metode  sejarah untuk mengenyampingkan setiap riwayat-riwyat dari kedua kelompok, dan kita hendaknya merujuk kepada riwayat  Saif bin Umar dan mempertimbangkan pengambilan riwayat  tersebut untuk memperjelas beberapa masalah yang terselubung  atau tidakjelas.

Pada dasarnya, bahwa ketiga riwayat-riwayat yang diakui  tadi, khususnya riwayat Abu Sa’id menunjukkan adanya  permasalahan tapi tidak didapati jalan keluarnya. Masalah itu  adalah adanya tangan tersembunyi yang menggerakkan peristiwa  fifuiah tersebut, dan memancing kemarahan para penentang. Dan  tangan-tangan tadi selalu berada di belakang untuk menyulut  mereka jikalau keadaan sudah tenang, juga yang memalsukan  surat-surat mengatasnamakan para sahabat, terutama tangan-tangan tersebuflah yang memalsukan surat dengan nama Utsman  tertuju kepada para pembantunya di Mesir.

Sesungguhnya kesimpulan dari peristiwafitnah dan sebab[1] sebabnya bisa dirasakan dengan segala perasaan bahwa di sana  terdapat tangan di balik peristiwa fitnah tersebut. Hal itu semakin  bertambah terasa tatkala ditelaah teks-teks shahih yang secara  terbuka ditemukan kasus adanya tangan-tangan jahil tersebut.

Sebab-sebab Fitnah Secara Umum

Jika dibahas sebab-sebab terjadinya fitnah secara umum  tanpa terinci, atau jika kita simpulkan sebab-sebab tersebut dari  berbagai riwayat yang shahih ataupun palsu, maka didapatkan  riwayat-riwayat tersebut tidak memberi tafsiran tentang  perkembangan peristiwa ifu sebagaimana mestinya. Untuk itu  akan disampaikan sebab-sebab fitnah seperti yang ada pada  riwayat-riwayat tersebut secara global, maka akan dilihat apakah  hal tersebut memberi tafsiran tentang kenyataan peristiwa fitnah  tersebut?

Berikut ini akan dicakup sebab-sebab fitnah seperti yang  munculpada riwayat-riwayat itu. Pada masa Utsman terdapat  orang-orang yang merasa tidak puas akan kebijakannya. Maka  Utsman memeriksa para sahabat maupun yang bukan sahabat,  serta menghisab perbuatan-perbuatan mereka dan  mendiskusikannya. Diantara mereka ada yang “terganggu”  dengan upaya Utsman tersebut, dan diantara mereka ada yang  menyalahkannya, baik perkataan ataupun perbuatan. Abdullah  bin Mas’ud -misalnya- pemah menaruh harapan bahwa Utsman  akan memberi kepercayaan kepadanya untuk mengumpulkan  Al-Quran (mushaf) karena dirinya adalah qari’ yang  menguasainya, namun yang terjadi Utsman mempercayakan hal  ini kepada Zaid bin Tsabit.

Sedangkan Ammar bin Yaasir pernah bersilang pendapat  dengan Abbas bin Utbah bin Abu Lahab, hingga terjadi perang  mulut, maka keduanya dipukul oleh Utsman. Dan juga  Muhammad bin Abu bakar dan Muhammad bin Abu Hudzaifah  keduanya berselisih dengan Utsman.

Dan adapula orang-orang yang kurang puas terhadap  Utsman dari pendudukMadinah dari kalangan pengecap duniawi  dan penghambur, dimana pada masa Utsman segala macam  bentuk hiburan dan hal yang sia-sia diberangus, dan para  pelanggannya dikucilkan dari Madinah serta dihukumi  karenanya. Karena ifu mereka memprotesnya.

Disana ada kalangan ahli zuhud menyaksikan adanya  banyak harta yang dianggap milik kaum muslimin dari hasil  futuhat (pembebasan wilayah) tampak dihabiskan untuk  mendirikan rumah-rumah yang megah, dan mengambil sarana  kesejahteraan yang tidak pernah ada dalam Islam. Dan diantara  pucuk kalangan ahli zuhud tersebut adalah Abu Dzar Al-Ghilary.  Mereka melihat adanya isyarat dalam Al-Quran yaitu ayat:

‘Adapun arang-orang yang menumpuk emas, perak, dan  tidak membelanjakannya di ialan Allah.” Akibatnya mereka  memprotes dan menuntut kaum kaya untuk memberikan  hartanya kepada kaum fakir, dan untuk tidak menimbunnya,  maka timbullah kemudian suara-suara sumbang. Utsman  kemudian membuang Abu Dzar ke daerah Rabadzah karena  marah kepadanya.

Kemudian ada pula kalangan mantan pegawai yang  dipecat dan dikeluarkan dari wilayahnya, dan diletakkan  penggantinya dari kalangan Bani Umayyah; diantara mereka  adalah Amru bin ‘fuh. Pada saat dirinya masih berada di Mesir,  ia dijauhkan dari wilayah kekuasaannya, sehingga ia marah  terhadap Utsman.

Selain mereka yang disebut tadi, ada orang-orang yang  merasa cemburu dan iri akan kedudukan keturunan Bani  Umayyah yang didapat dari Uhman. Bani Umayyah pada masa  Utsman mencapai kejayaannya, dimana kekuasaan dikuasai dan  harta kekayaan ada dalam pengelolaan mereka, serta khalifah  menjunjung dan menyukai mereka.

Jadi rasa ketidakpuasan terhadap Utsman sudah ada pada  beberapa orang, dan ketidakpuasaan itu memiliki latar belakang  dan mungkin bisa dimanfaatkan. Dan disamping itu Utsman juga  melakukan beberapa pembaharuan dalam urusan agama,  contohnya ia mendahulukan khutbah ‘ld daripada shalat sunnah  ‘ld. Juga mengizinkan semua orang untuk mengeluarkan zakat  s€cara perorangan, dan memotong beberapa sektor pemasukan  untuk diberikan kepada pemiliknya (yang berhak), dan yang  lainnya. Sehingga sebagian orang menilai Utsman telah  melakukan bid’ah dari apa yang sudah diketahui dan biasa  mereka lakanakan.

Itulah kesimpulan sebab-sebab peristiwa fitnah sebagai[1] mana tampak pada berita dan riwayat tersebut. Maka apakah hal  ini cukup untuk mendorong fitnah yang terjadi, yang kemudian  menyebabkan munculnya akibat-akibat seperti yang telah  diketahui bersama? Marilah kita lihat hal ini dengan jelas. Bahwa  setiap apa yang terjadi atas diri Utsman sebagaimana disebutkan  di atas, juga telah terjadi pada diri Umar bin Al-Khathab, atau  setidaknya sebagian dari yang terjadi. Dan tidak seluruh sahabat  merasa puas terhadap perbuatan Umar, bahkan apa yang  diputuskan Umar lebih keras dan lebih tegas dibandingkan yang  diambiloleh Utsman.

Bahkan Umartelah menegakkan hukuman (hududl tanpa  kompromi (kemudahan), dan ia begitu sangat tegas dalam  bermuamalat dengan semua orang dan juga dirinya. Sehingga  banyak kalangan yang tidak senang. Kemudian juga Umar  membuat sesuatu “yang baru” dalam agama dan diikuti oleh  semua orang, sebagaimana mereka mengikuti Utsman. Sampai[1] sampai anaknya, Abdullah berkata: “Mereka telah mencela dan  menyalahkan Utsman karena melakukan hal-hal yang jika saja  Umar yang mengerjakannya, niscaya mereka tidak akan mencela  dan menyalahkannya.”

Meskipun demikian, ternyata perbuatan Umar itu tidak  menciptakan api fitnah pada masanya, atau tidak ada seorang  pun yang menentangnya. Sehingga sebagian orang mengira  bahwa orang menentang Utsman karena dirinya lemah dan tidak  tegas terhadap mereka. Sedang kenyataannya walaupun usianya  telah sangat lanjut, namun Utsman tidaklah lemah dalam  menerapkan hudud Allah, meskipun pembawaan Utsman tidak  seperti Umar, dan juga kewibawaannya. Meskipun patut dicatat  bahwa tabiat dan wibawa tidaklah berpengaruh dalam  memperlambat penentangan dan pemberontakan. Maka kalua seandainya sebab-sebab yang disebut tadi adalah benar faktor[1] faktor yang menyebabkan pembangkangan di masa Utsman,  maka tindakan keras Umar terhadap penentangnya seharusnya  juga memotivasi terjadinya pemberontakan yang serupa.

Realitanya, bahwa sebab-sebab itu tidaklah mungkin  menjadi sebab-sebab sesungguhnya dari revolusi yang ada,  melainkan sebatas fenomena, sehingga perlu dikembalikan  kepada perkataan-perkataan yang shahih dan memperhatikan  apa sebenamya diambil dan diingini para penentang itu terhadap  Utsman? Seandainya didapati apa yang dituduhkan kepada  Utsman dari kelengahan dan kesalahan dalam penuturan para  penentang itu sendiri, maka tidak didapati suatu hal yang  mengundang terjadinya revolusi. Dan Utsman dinilai mampu  untuk membela apa yang dilakukannya dan menjelaskan bahwa  dirinya benar dalam hal tersebut. Marilah kita lihat apa yang  Utsman lakukan dengan mengambilnya dari penuturan riwayat  yang benar.

Pernah Ubman mengirimAlibinAbuThalib ke Mesir, maka  Ali berkata: ‘Apa yang membuat kalian marah kepada Utsman?”  Mereka menjawab: “Kami marah kepadanya karena Utsman  telah menghapus Kitabullah(maksdunya ia mengajak umat untuk  bersatu di atas satu mushaf Al-Qur’an), menetapkan daerah  larangan, mengangkat para kerabatnya sebagai pejabat, memberi  Marwan sejumlah seratus ribu dinar, dan mengkritik para sahabat  Rasulullah Shallollahu Alaihi rlo Sollom.” Maka oleh Utsman  tuduhan-tuduhan mereka dijawab: ‘Adapun Al-Qur’an dari  Allah, sedangkan yang saya larang dari kalian adalah berselisih  dalam apa yang ada didalamnya, maka bacalah Al-Qur’an dengan  huruf apapun sesuka kalian; mengenai daerah terlarang, rnaka  demi Allah, tidaklah saya memberinya untuk onta dan  kambingku, akan tetapi untuk onta shadaqah. Sedang tuduhan kalian bahwa diriku telah memberi Marwan sebanyak seratus  ribu, maka itu adalah baitul maal milik mereka sehingga harta  didalamnya dipakai untuk siapa yang disukai; mengenai perkataan  kalian tentang kritik untuk para sahabat Rasulullah, maka saya  adalah manusia yang dapat marah dan dapat pula ridha. Maka  barangsiapa pemah saya zhalimi maka inilah diriku, jika ia mau,  balaslah, dan jika ia mau, maafkanlahl” Seketika itu semua puas  dan kemudian masuk ke kota Madinah secara damai dan  sukarela.

Dan kita juga mendapati bahwa penduduk Kufah  mengajukan gugatan dalam sebuah teks riwayat yang sanadnya  shahih, ternyata maknanya seperti ini meskipun tidak terlalu  kuat:

Ibnu Sirin mengatakan: “Utsman telah mengirim Ali  kepada mereka untuk menyampaikan (bahwa) kalian telah  diberikanAl-Qur’an dan diingatkan dari setiapyang kalian tuntut.  Semua penduduk Kufah pun menyambutnya dari segala  kelompok, dan mereka berdamai dalam lima perkara yaitu:  bahwa orang yang telah diasingkan akan segera dipulangkan;  yang selama ini tidak diberikan akan diberikan; akan disediakan  tanah fa’i’; akan adildalam pembagiannya dan menggunakan  orang yang amanah dan kuat sebagai pejabat. Hal-hal tersebut  kemudian ditulis dalam sebuah lembaran surat dan akan segera  mereka kirimkan kepada lbnu ‘Amir di Bashrah dan Abu Musa di  Kufah.”

Dalam dua teks yang shahih ini tampak jelas apa  sebenamya yang dituntut oleh para penentang Utsman, yaitu hal[1] hal wajar yang selalu dituntut di setiap masa pemerintahan, dan  itu terjadi di setiap waktu, dan -karena itu- seharusnya tidak  menyebabkan terjadinya sebuah revolusi.

Tangan Terselubung dalam Peristiwa Fitnah

Jika dibalik tuntutan-tuntutan terhadap Utsman tidak ada  tangan yang bermain atau menciptakan percikan peperangan  dan permusuhan, maka ter5adinya revolusi adalah suatu hal yang  tidak mungkin. Sehingga haruslah dibayangkan adanya tangan[1] tangan jahil yang menginginkan perkara tertentu untuk  mendapatkan sesuatu darinya. Dan apabila hal itu tidak kita  gambarkan, maka sulit bagi kita untuk memahami bahwa  tuntutan-tuntutan sederhana tersebut dapat menyebabkan  terbunuhnya khalifah Utsman di tengah siang.

Kita tentu patut bertanya-tanya: Siapa saja mereka yang  bersembunyi di balik peristiwa fitnah ini dan menggerakkannya?  Dan sejarah selalu ingin untuk menyingkap hakekat yang  sebenarnya lalu merekamnya, agar setiap orang dapat  menafsirkan kejadian-kejadian itu dengan penafsiran yang  lengkap. Apakah ada satu sumber kisah yang memberikan  penjelasan tentang tangan-tangan tersembunyi tersebut?

Sebenarnya Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf telah  menerangkan tentang tangan-tangan tersembunyi tersebut; yaifu  tangan-tangan para sahabat sendiri yang berada di sekeliling  Utsman, seperti Thalhah, Zubeir, Aisyah, Amru bin Ash,  Muhammad bin Abu Hudzaifah, Ammar bin Yasir; dimana  mereka ikut serta dalam menyulut ketidakpuasan orang banyak  terhadap Utsman.

Ini pendapat Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf. Namun kalau  kita sedikit berpikir lagi, maka sangat jauh kemungkinannya para  sahabat tadi atau sebagian mereka telah terlibat dalam hal fitnah  ini. Apakah masuk akal Thalhah, Zubeir, Aisyah dan Amru bin  Ash terlibat langsung dalam melemparkan fitnah dan  menyalakan apinya, sedang merekalah yang pergi kepada Ali  untuk menuntut akan tumpahnya darah Utsman?

Meskipun pemikiran ini selalu berselisih dan diselimuti  pmsangka buruk, maka tidak mungkin kita akan rnengambil satu  madzhab yang melenceng dari akal dan standar kita.

Dalam pasukan Ali bin Abu Thalib sendiri terdapat  beberapa orang yang pemah mengepung Utsman berakibat  terbunuhnya sang khalifah itu. Apakah para pengepung tersebut  mengetahui bahwa Thalhah, Zubeir, Aisyah dan Amru bin ‘Ash  adalah bersama mereka dan termasuk yang menggerakkan dan  terlibat dalam pembunuhan Utsman; sehingga mereka dapat  menyerang, menyingkap dan menjatuhkan para sahabat itu  dengan bukti yang telah mereka ketahui?

Marilah lebih serius dan menggunakan logika, dan kita  jauhkan terlibat-nya para sahabat tersebut dalam menggemklan  dan menyulut terjadinya fitnah, lalu kemudian menunhrt untuk  membunuh siapa yang menggerakkan dan menyuluhrya.

Marilah kita lontarkan pertanyaannya sekali lagi, dengan  mengatakan : “Siapa sebenarnya yang menggerakkan peristiwa  fitnah dan menyalakan apinya? Bahkan tidak cukup sampai di  situ, ia bahkan menyulut hal itu sekali lagi?”

Apabila Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf tidak memberikan  penjelasan yang masuk akaltentang tangan tersembunyi tersebut,  maka sebenarnya Saif bin Umar telah membongkar hal itu  dengan sangat jelas, dan pembahasannya mencakup secara  menyeluruh, bahkan sampai kepada pemberian keterangan  bersejarah dan memaparkan perkembangan kejadian pada arah  yang umum, dan meletakkannya di antara paparan-paparan  sejarah dalam kejadian-kejadian pada masa itu.

Dan telah disebutkan bahwa Saif selalu sejalan dengan  pokok-pokok yang telah disimpulkan dari tiga riwayat yang  shahih, sehingga Saif semestinya dapat kita percaya dan bisa kita  golongkan riwayatnya ke dalam riwayat-riwayat yang shahih, karena Saif berjalan searah dan menafsirkan titiktitikyangsamar  didalamnya.  Riwayat Saif bin Umar

Mari kita perhatikan riwayatSaif:

Saif hidup pada pertengahan awal abad kedua hingga awal  pertengahan akhir abad tersebut. Ia meriwayatkan dari guru[1] gurunya yaitu: Muhammad bin Abdullah bin Sawad bin  Nuwairah, Thalhah bin Alam, Abu Haritsah, Abu Utsman dan  Athiah. Mereka meriwayatkan kisah ini secara bermiripan. Itu  karena Saif -setelah menyebut nama-nama mereka- berkata:  “Mereka mengatakan.” Kemudian setelah itu ia pun meriwayat[1] kan kisahnya. Teks cerita yang diriwayatkan Saif adalah sama  dengan pan gurunya secara kronologi, susunan dan penyampai[1] annya. Para guru-guru Saif ini sepakat dalam melakukan  pendekatan terhadap peristiwa, perincian dan alur cerita. Mereka  juga sepakat bahwa untuk meriwayatkan sebuah kisah harus dari  sumber yang satu.

Kami menemukan sosok sejarawan dari riwayat guru-guru  Saif yaitu Yazid Al-Faq’ai AtrTamimi Al-Asadi. Ia hidup pada  penghuiung abad pertama, sedangkan riwayat Saif ditemukan  paling lama pada penghujung abad pertama.

Suatu hal yang menarik bagi kami adalah pembelaan Saif  terhadap orang-orang yang menuduhnya lemah dalam  periwayatan. Mereka menuduh Saif adalah orang bayaran. Karni  tidak tahu dari mana asal mula tuduhan tersebut, sebenarnya  sikap Saif adalah seperti ulama Salaf lainnya yang sangat  menghormati para sahabat, ia juga mensucikan sahabat daripada  perbuatan-perbuatan tercela.

Periwayatan Saif sebenarnya sejalur dan seirama dengan  tiga periwayatan lainnya yaitu: Riwayat Abu Sa’id, riwayat Sahm,  dan riwayatAl-Ahnaf.

Dengan mengacu pada metode penulisan sejarah, maka  periwayatan Saif dapat diterima karena tidak menyelisihi kabar[1] kabar yang shahih. Akan kita lihat bagaimana periwayatannya  hampu menjelaskan titik-titik buram yang ditampilkan oleh  riwayat-riwayat lain. Akan kami sampaikan secara singkat sebagai berikut:

  1. Peran Abdullah bin Saba’dalam menggulirkan fitrah. Riwayat Saif telah menceritakan kepada kita kisah asal-usul fitnah. Saif berkata dari guru-gumnya:

Abdullah bin Saba’adalah seorangYahudi dari Shan’a, ia  masuk Islam pada masa Ubman, ibunya adalah orang Negro yang  berkulit hitam. Ia sering berpindah-pindah di daerah-daerah Islam  guna menyesatkan penduduknya. Ia mulai dari kota Hijaz,  Bashrah, lalu ke Kufah dan kemudian ke penduduk Syam. Di  Syam ia diusir oleh penduduk setempat hingga akhirnya ia  berpindah ke Mesir dan tinggal di sana. Salah satu perkataannya  adalah, “Sungguh sangat aneh sekali orang yang menyatakan  bahwa Isa akan kembali ke dunia, sedangkan ia mendustakan  kembalinya Muhammad, padahal Allah Subhonohu waTa’ala  telah berfirman, ‘SesungguhnyoYang mewajibkan otas }omu Al[1] Qur’ an niscnya akon mengembalikan kamu ke tempat kemboli.’  Maka Muhammad lebih berhak untuk datang kembali ke dunia  daripadalsa.”

Lalu ia menambahkan bahwa sudah ada seribu nabi, dan  setiap nabi mempunyai wasiatnya dan wasiat Muhammad adalah Ali. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad adalah Nabi terakhir  dan Ali adalah wasiat terakhir, adakah orang yang lebih zhalim  daripada orang yang tidak membolehkan adanya wasiat Rasul,  padahal beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali.” Ia  menambahkan, “Sesungguhnya Utsman telah mengambil wasiat  ini tanpa hak, padahal ini adalah wasiat Rasulullah, untuk itu  bangkitlah dan bergeraklah, mulailah dengan mengkhianati  pemimpin-pemimpin kalian! Lakukanlah amar makrul nahi  munkar, maka engkau akan mendapatkan hati masyarakat,  bawalah kepada mereka hal ini.”

Ucapan-ucapan lbnu Saba’ini diserukan dan ditulis oleh  para pengikutnya untuk disebarkan ke seluruh kota. Mereka  kemudian menceritakan pandangan ini secara rahasia dan pura[1] pura menyerukan amar mokruf nahi munkar. Mereka juga  menulis beberapa tulisan yang mengungkap cacat-cacat para  pemimpin mereka, hal ini kemudian disambung oleh teman[1] teman mereka, dan mereka sebarkan dari kota ke kota hingga  sampai ke Madinah. Seruan mereka semakin luas. Mereka  sebenarnya menginginkan sesuatu yang mereka sembunyikan.  Para penduduk Mesir mengatakan, “Sesungguhnya kami tidak  terkena apa yang menimpa penduduk Madinah itu.” Mereka juga  mengatakan, “Kami tidak terlibat daripada apa yang dikatakan  masyarakat itu.”

Dari teks ini nampak metode yang dilakukan oleh lbnu  Saba’. Ia menginginkan kedudukan Ali bin Abi Thalib diangkat  dan menuduh Utsman sebagai orangyang mengambil tanpa hak,  sehingga diharapkan Sahabat akan pecah dalam dua golongan;  sebagian akan berada pada pihak yang diambil haknya yaitu AIi  bin Abi Thalib dan ia akan berusaha menggerakkan masyarakat  dengan mengajaknya kepada dasar yang (kelihatannya) baik,  yaitu omor makruf dan nahi munkar. Ia telah membuat masyarakat memberontak terhadap para pemimpin mereka.  Akan tetapi mereka tidak mendapatkan tuntutannya. Untuk itu,  ia menginstruksikan kepada para pengikutnya untuk  mengirimkan surat-surat ke seluruh pelosok negeri tentang berita  buruk di berbagai daemh, sehingga penduduk Bashrah misalnya;  mempunyai kesan bahwa keadaan penduduk Mesir sangat  sengsara dan tertindas oleh pemimpinnya. kndudukMesir juga  mempunyai kesan bahwa penduduk Kufah sangat tersiksa dan  teraniaya oleh para penguasanya, begitu juga penduduk kota  Madinah mendapatkan surat dari lbnu Saba’ akan buruknya keadaan para penduduk muslim.

Demikianlah, masyarakat memandang seakan-akan  keadaan sekarang sudah sedemikian buruknya. Siapakah yang  terpengaruh dengan isu tersebut? Mereka adalah orang-orang  yang lemah imannya yang membenarkan semua berita-berita  buruk, karena hal tersebut bermanfaat bagi mereka. Mereka  akan dapat mencapai cita-cita mereka dengan menggunakan  kebenaran dan demi menggusur kezhaliman yang telah dilakukan  oleh para penguasa.

Khalifah Utsman mengetahui bahwa ada sesuatu yang  tidak beres di beberapa kota. Ia menulis surat seperti yang  dikisahkan oleh Saif dari para guru-gurunya “Kemudian,  saya telah mengangkat para pegawai-pegawai dengan  persetujuanku dalam setiap musim. Saya sudah mewajibkan  kepada rakyatku sejak diangkat menjadi khalifah untuk  melakukan amar mokruf nahi munkar. Tidak ada hak yang  sampai kepadaku maupun sampai kepada pegawaiku kecuali  saya berikan hak-haknya, tidak ada hak bagi diriku dan  keluargaku sebelum terpenuhinya hak rakyatku. Saya telah mendengar laporan bahwa sebagian masyarakat sedang  mencela dan mengumpat secara rahasia. Barangsiapa  mengaku hak-haknya terampas, maka ambillah haknya dariku  atau dari para p€gawaiku, atau berscdekahlah! Sesungguhnya  Allah membalas orang-orang yang bersedekah.”

Setelah surat ini dibacakan di seluruh pelosok kota maka  masyarakat menangis. Mereka mendoakan Utsman, dan  berkata, “sesungguhnya masyarakat telah berada dalam  kekeliruan.” Padahal kenyataan yang sesungguhnya mereka  berada dalam kesalahan yang besar. Ibnu Saba’ masih saja  memprovokasi masyarakat. Kami mengetahui cara-cara lbnu  Saba’ ini dari apa yang dikatakan oleh lbnu Saba’ kepada Abu  Dzar Al-Gh ifari, sebagaimana dikutip oleh Saif, “Wahai Abu Dzaq  bagaimana pendapatmu tentang Muawiyah yang menyatakan  bahwa harta Baitul Mal merupakan harta Allah Subhanahu wa  Ta’olo, sehingga ia boleh menggunakan seenak dirinyadan tidak  memberikan hak-hak kepada kaum muslimin?” Abu Dzar  mengangkat hal ini kepada Muawiyah. Muawiyah menjawab,  “semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Dzar, bukankah kita  menjadi hamba Allah, dan hartia merupakan harta-Nya, semua  makhluk adalah makhluk-Nya dan semua perkara adalah  perkara-Nya.”

Tempat yang digunakan oleh lbnu Saba’ adalah Mesir. Di  Mesir banyak orang-orang yang membenci Ubrnan dari pengikut  Amru bin Al-Ash yang dipecat dari gubernur Mesir. Ada iuga  pengikut Muhammad bin Abu Hudzaifah, Ammar bin Yasirdan  sebagainya. Mereka bersepakat dan berangkat menuju Madinah.  Berangkat pula orang-orang yang benci terhadap Utsman dari  Kufah dan Bashrah dengan jumlah besar, sedangkan Ibnu Saba’  hanya memadukan kedua kekuatan ini.

Para Pengacau Berada di Madinah dan  Terbunuhnya Utsman

Kemudian Saif menceritakan kepada kita dari guru[1] Gurunya bagaimana pengikut Saba’ memasuki kota Madinah  pertama kali. Mereka datang untuk mengecam akan kesalahan[1] kesalahan Utsman dan menyatakan bahwa Utsman bersalah.  Mereka mengatakan kepada masyarakat bahwa Utsman tidak  mau menghindari dan bertaubat dari dosa-dosanya, untuk itu ia  sudah halal darahnya. Ketika mereka sampai di Madinah, Utsman  menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya dan  mengingkari semua dakwaan-dakwaan mereka. Ia juga  menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah benar. Para  penasehat Utsman menganjurkan supaya mereka semua  dibunuh, akan tetapi Utsman enggan membunuh mereka dan  membiarkan mereka pulang ke kota-kota mereka. Menurut Utsman mereka belum pantas untuk dihukum mati, mereka  akhirnya pulang sambil berjanji akan datang lagi pada bulan  Syawal tahun 35 H, atau pada tahun ifu juga dengan menyamar  sebagaijamaah haji.

Cerita ini tidak ada dalam teks-teks yang kami jadikan  pegangan, dalam teks ini ada penjelasan tentang tipu daya orang[1] orang pengikut Ibnu Saba’.

Saif kemudian menceritakan dari guru-gurunya tentang  kedatangan kembali orang-orang pengikut lbnu Saba’ke  Madinah pada bulan Syawal tahun 35 H. Saif menceritakan:

Sekitar 600 hingga 1000 orang dari pendudukMesir keluar  menuju Madinah, mereka tidak berani diketahui masyarakat  bahwa tujuan mereka untuk berperang, untuk itu mereka menyamar sebagai jamaah haji, ikut bersama mereka lbnu Sauda’  (anak hitam) -sebutan ejekan untukAbdullah bin Saba’-. Fada  waktu yang sama keluar pula penduduk Kufah dengan jumlah  yang hampir sama dengan penduduk Mesir. Penduduk Bashrah  juga keluar dengan jumlah yang tidak berbeda dengan penduduk  Mesir. para penduduk Mesir adalah orang-orang yang condong  kepada Ali, sedangkan penduduk Bashrah sangat cinta kepada  Thalhah, dan penduduk Kufah sangat cinta kepada Az-Zubair.  Semua perbedaan ini adalah berkat bisikan lbnu Saba’supaya  mereka berselisih di antara mereka sendiri setelah fitnah ini berakhir.

Mereka sampai di Madinah dan mengutus dua orang  utusan untuk menghadap isteri-isteri Nabi Shallollohu Alaihi wo  Sollom, menghadap Ali bin Abi Thalib, menghadap Thalhah dan  menghadap Az-Zubair. Kedua utusan ini mengatakan, “Kami  datang guna mengadu kepada Utsman akan perbuatan[1] perbuatan pegawainya kepada kami, mereka kemudian  memintakan izin teman-temannya di luar Madinah supaya  memasuki Madinah, akan tetapi para Sahabat menolak dengan  mengatakan, “Telur tidak akan menetas.” Kemudian dua ufusan  ini kembali dengan tanpa hasil. Sebagian penduduk Mesir  kemudian mendatangi Ali. Sebagian penduduk Bashrah  mendatangi Thalhah dan sebagian penduduk Kufah mendatangi  Az-Zubair, mereka semua mendapat jawaban yang sama dari  paraSahabat ini.

Cerita ini kami dapatdariteks-teks yang tidak kami jadikan  pegangan, kecuali hanya isyaratdariAbu Said yang mengatakan  bahwa Utsman tidak suka mereka masuk Madinah. Ada juga p€rkataan sahabat yang menolak kedatangan mereka dengan  mengatakan, “Telur tidak akan menetas-” [-Ial ini berlawanan  dengan apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thdih deragan riw4rat  yang shahih,”Aku tdak mengijinkan kalian rnernasuki Madinah,  iika kalian tidak mau maka telur akan mcnetas, nr*sudnya akan  kamiperangi, tetapi Saif tidak rnengetahui htrbungan Ubman  dengan orang-orang di luamya, sebagaimana telah ltita ketatrui dariAbuSaid.

Saif menceritakan lagi dari para gurunya: “Fara p€ngacau  tersebut akhirnya meninggalkan tempat-tempat mereka di Dzu  Khasyab menuju kemah-kemah mereka. Mereka meninggalkan  tempat-tempat tersebut dalam tiga gelombang supaya para  penduduk Madinah yang menolak mereka bubar dan pergi  memang benar, pada waktu mereka kembali ke kemah-kemah  mereka. Penduduk Madinah pun pergi dan pada waktu itu pula  para pengacau kembali datang menuju Madinah. Fenduduk  Madinah tidak mendengar apa-apa kecuali seruan takbir saja di  sekitarnya. Ali bertanya kepada para pengacau tersebut, ‘Apa  yarg membuat kalian kembali setelah meninggalkan tempat ini?”  Penduduk Mesir menjawab, “Kami menemukan surat dari  Utsman yang memerintahkan pegawai-pegawainya untuk  membunuh kami.” Ali bertanya kepada penduduk Kufah dan  Bashrah, “Bagaimana kamu tahu akan surat kepada penduduk  Mesir padahalkamu sudah kembali ke negeri-negerikamu?” AIi  mengatakan, “Demi Allah, ada sesuatu yang terjadi di l”Idinah.”  Para pengacau berkata, “silahkan kamu berprasangka apa saja,  kami tidak akan menarik hrnfutan kami sampai Ubman mundur.”  Kemudian mereka pun memasuki Madinah.

Pertanyaan Ali rnembuka tabir perihal surat tersebut  kepada kita. Kita perlu mengaitkan surat itu dengan pengirimnya  yang seolah sengaja menyerahkan diri kepada mereka (orang[1] orang Mesir ihr). Sudah jelas bahwa orang-orang Mesir sudah  berrnuhkat dengan orarqg-oremg Kufah dan Bashrah untuk tetap  kembali ke Madinah dengan cara mengada-ada dan menulis  surat palsu ifu sendiri sebelum mereka meninggalkan tempat  rnereka.

Saif juga mengatakan bahwa Ubman telah menulis kepada  penduduk seluruh negeri supaya menolongnya, dalam surat  tersebut Utsrnan mengatakan,  ”

Mereka telah menyerang kami di samping Rasulullah ShallallohuAlaihi wa Sallam, di masjidnya, dan di kota Hijrah, mereka dibanhr oleh orang-orangArob (orang fuab Badui yang lemah imannya), mereka seperti pasukan yang bersekutu dalam perang Ahzab.”

Setelah membaca surat ini pam penduduk dari berbagai  kota keluar rumah untuk menuju Madinah, di antara mereka  sebagian besar adalah pam Sahabat, tetapi mereka akhimya harus  kembali dengan kesedihan karena kedatangan mereka telah  terlambat. Fitnah telah melenyapkan segala-nya dan telah  membunuh Utsman sebelum mereka sampai di kota Madinah.

Pada hari Jum’at, Utsman berkhutbah di masjid, ia  rnempersaksikan Muhammad bin Maslamah atas kebenaran  ucapannya, berdirilah Hakim bin Jabalah bin Maslamah yang  luga siap menjadi saksi, tetapi Utsman menyuruhnya duduk.  Berdiri juga Zaid bin Tsabit guna meminta surat yang mereka  temukan supaya dipelajari oleh orang yang paling tahu tentang  tulisan. Ia juga disuruh duduk oleh Utsman, pada waktu inilah para pengacau menyerang jamaah hingga mereka keluar dari Masjid.  Mereka juga menyerang Utsman hingga pingsan. Orang-orang  Mesir tersebuttidak ada yang ingin menolong penduduk Madinah  kecuali Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Abu  Hudzaifah, dan Ammar bin Yasir. Sedangkan selain mereka  sedang sibuk melindungi Utsman. Setelah Utsman siuman ia  menyuruh orang-orang bubar, kemudian Ali, Thalhah, dan Az[1] Zubair menjenguk Utsman. Setelah menyatakan kesedihan  mereka, mereka pun kembali ke rumah masing-masing.

Penduduk Madinah kemudian pulang dan tetap tinggal di  rumah masing-masing, mereka selalu membawa pedang guna  mempertahankan diri, sedangkan para pengacau telah  mengepung Madinah selama 40 hari. Barangsiapa ketahuan  keluar rumah, mereka akan melucuti senjatanya.

Utsman berkhutbah untuk yang terakhir kalinya. Setelah  itu ia menyuruh para pengawalnya dari para putera-putera  Sahabat untuk meninggalkannya, “Keluarlah kalian, semoga  Allah merahmatimu dan tetaplah di depan pintu.” Lalu ia  berpamitan dengan mereka. Tidak lama kemudian ia menyuruh  mereka kembali ke rumah masing-masing, mereka kemudian  kembali kecuali Hasan bin Ali, Muhammad bin Thalhah, dan Ibnu  Az-Zubair; mereka duduk-duduk di pintu sebagaimana  diperintahkan oleh bapak-bapak mereka, sedangkan Utsman  tetap memilih tinggal di rumahnya.

Madinah telah dikepung selama 40 malam, dan pada  malam yang ke-18, para penduduk dari beberapa kota sudah  mendekati Madinah, para pengacau tersebut telah mendapatkan  kabar bahwa para Sahabat telah datang dari berbagai kota. Fada waktu inilah para pengacau sudah berubah, mereka mencari  alasan-alasan supaya dapat melakukan apa saja yang mereka  kehendaki. Mereka lalu mencari rumah Utsman dan melempari[1] nya dengan batu dan berusaha merusaknya, kemudian mereka  berteriak, “Kita sedang diserang.” Utsman datang menghampiri  mereka dan memanggilnya, ‘Apakah kalian semua tidak takut  kepada Allah? Apakah engkau tidak tahu bahwa di rumah ini ada  omng selain saya?”

Mereka menjawab, “Bukan kami yang melempari kamu.”  Utsman kemudian bertanya, “Lalu siapa yang melempari kami?”  Mereka menjawab, ‘Allah.” Utsman berkata, “Engkau telah  berbohong, kalau Allah yang melempari kami maka tidak akan  tersalah, sedangkan lemparan kalian banyak tersalah.” Lalu  Utsman meminta air kepada Ali dan Ali kemudian memberinya  air. Fara pengacau masih tidak dapat memasuki rumah Utsman.

Pada waktu itu datanglah Ummu Habibah, isteri Rasulullah  Shollollohu Alaihi wa Sallam dengan membawa air sembari  menunggang kuda. Melihat kedatangan Ummu Habibah mereka  Iangsung memangkaskan pedangnya ke wajah kuda beliau  hingga putus tali kendalinya dan ia pun terlempar jatuh. Mereka  kemudian mengikat Ummu Habibah, mereka hampir  membunuhnya. Sedangkan Aisyah berniat pergi dari Madinah  guna menunaikan ibadah haji. Ia takut diperlakukan seperti apa  yang diperlakukan terhadap Ummu Habibah. Setelah  mendengar kabar Ummu Habibah ini, Thalhah dan Az-Zubair  memilih diam di rumah mereka takut mengalami seperti peristiwa  Ali dan Ummu Habibah.

Para pengacau sendiri takut akan kedatangan pasukan  dari beberapa kota, mereka melihat tidak ada yang mampu menyelamatkan mereka kecuali dengan membunuh Utsman.  Karena dengan membunuh Utsman, orang-orang akan  mengurusi kematian Utsman. Mereka lalu bersegera menuju pintu  rumah Utsman guna memasukinya, tetapi mereka ditahan oleh  Hasan, Ibnu Az-Zubair, Muhammad bin Thalhah, Marwan bin  Hakam, Said Az-Zubair dan beberapa putera Sahabat. Mereka  mampu menahan para pengacau tersebut, Utsman lalu  memanggil mereka, “Demi Allah! Demi Allah! Kalian tidak perlu  melindungiku lagi.” Mereka masih tidak membukakan pintu bagi  para pengacau tersebut, keluarlah Utsman dengan pedang dan  perisainya guna mengusir para pengacau tersebut. Setelah melihat  Utsman, orang-orang Mesir itu mundur sejenak, kemudian  Utsman memerintahkan para penjaganya unfuk masuk lagi dan  menutup pinfu dari orang-orang Mesir, akan tetapi mereka tidak  mau pergi, dan Utsman akhirnya mengambil Mushaf dan  membacanya, sedangkan orang-orang Mesir malah datang  membawa api dan membakar pintu dan atap hingga roboh.  Melihat hal ini para penghuni rumah Utsman berhamburan  sedangkan Utsman tetap shalat, para Sahabat tetap melarang  mereka masuk hingga terjadilah perternpuran antara kedua belah  pihak.

Di sini ada sedikitperbedaan antara kisah Saif dengan teks[1] teks yang kami jadikan p€gangan. Perbedaan itu hanya dalam  perincian saja; teks-teks ini tidak menyebutkan akan dibakamya  atap dan pintu Utsman, tetapi hanya mengatakan bahwa Utsman  menyuruh supaya pintunya dibuka. Kami memandang teks-tek Saif lebih dekat dengan kenyataan, walaupun Saif tidak  menyebutkan mimpi yang dilihat Utsman dalam tidumya. Saif menceritakan:

Fara pengacau lalu menerobos masuk rumah dari segala  arah, hingga tiba-tiba mereka sudah memadati rumah Utsman  tanpa sepengetahuan para penjaganya. Penduduk Madinah  kemudian datang untuk menengok anak-anak mereka yang  melindungi Utsman, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak.  Para pengacau mengutus beberapa orang untuk membunuh  Utsman, satu orang masuk menemui Utsman unfuk membunuh[1] nyatetapi kemudian ia kembali dan takut membunuhnya, karena  Utsman selalu mengingatkan orang-orang yang menghadapnya  perihal umat-umat terdahulu. Orang yang terakhir masuk adalah  Muhammad bin Abi Bakar, Utsman berkata kepadanya,  “Sungguh celakalah kamu! Apakah Engkau marah karena Allah,  apa dosa saya kepadamu sehingga engkau berbuat demikian  kepadaku?” Mendengar hal ini, ia kembalidan keluar, setelah  para pengacau melihat kegagalan membunuh Utsman ini,  masuklah ke ruangan Utsman tiga orang pengacau yaitu Qatirah,  Saudan bin Hamran As-Sukuniyah dan Al-Ghafiqi. Al-Ghafiqi  pertiama-tama memukul Utsman dengan besi yang dipegangnya,  lalu ia menendang mushhaf hingga berputar di hadapan Utsman,  darah segar mengalir dari tubuh Utsman. Pada waktu itu  masuklah Saudan bin Hamran untuk menebaskan pedangnya  terhadap Utsman, tetapi usahanya terhalang karena masuklah  Nailah binti Al-Farafi shah sambil membawa pedang hingga terjadi  perkelahian dan dipeganglah tangan Nailah hingga jatuh  pedangnya. Setelah itu baru ia menusuk Utsman dengan  pedangnya, mereka pun membunuh budak-budak Utsman,  merampok rumahnya lalu mereka beranjak menuju BaitulMal  untuk merampoknya.

Setelah mendengar kematian Utsman, Az-Zubair, Thalhah  dan Saad bin Abi Waqqas menangis sedih karena pada waktu itu  mereka menjauh dari Madinah supaya tidak terlibat dalam.

Masa Utsman memang tidak sama dengan masa Umar,  masyarakat pertama-tama menerima Utsman sebagaimana  mereka menerima Umar. Tetapi ada perubahan besar setelah  enam tahun masa pemerintahan Utsman berlangsung yaitu  pembukaan daerah sudah terhenti, hal itu dikarenakan memang  kondisinya tidak dapat dilanjutkan lagi. Setelah terhentinya  pembukaan daerah muncullah kelas baru dalam masyarakat di  pentas peristiwa. Mereka adalah orang-orangA’rab (badui) yang  sudah murtad dari Islam. Sungguh tepat tindakan Abu Bakar  dengan pandangannya yang jauh ia tidak mengirim orang-orang  A’rob itu untuk membuka daerah. Hal ini juga dilakukan oleh  Umar bin Al-Khathab dan mereka tidak bersikap lunak sedikit pun  dalam hal ini. Sedangkan Utsman telah terpaksa mengirim  kabilah-kabilah A’rob Badui dalam ekpansi pembukaan daerah. Mereka sebagian besar adalah orang-orang yang sudah murtad.  Daerah yang sudah dibuka sungguh sangat luas sehingga tidak  bisa mengambil tenaga dari orang-orang yang bagus Islamnya  saja. Sungguh keterpaksaan yang membuat Utsman melakukan  hal ini. Maka, bergegaslah orang.orang H rab iniunfuk membuka  daerah dengan tujuan mendapatkan ghanimah (harta rampasan)  dan mendapatkan harta dan budak. Jika sejarah Islam dicela  orang maka celaan itu dikarenakan perbuatan dari mereka[1] mereka ini, dan tidak ada celaan bagi orang-orang lebih dahulu  masuk Islam yang telah membuka daerah guna menyiarkan dan  menjunjung tinggi agama Islam. Mereka menyiarkan bukan untuk  mencari rampasan perang. Bahkan mereka yang terbunuh dalam  peperangan sangat besar jumlahnya, mereka tidak tamak sedikit  pun akan rampasan perang. Bahkan musuh yang kuatpun merasa  takut dengan orang-orang seperti ini.

Setelah terhentinya pembukaan daerah dan munculnya  fenomena Arab dan orang-orang murtad, harta-harta rampasan  sudah tidak ada lagi, orang-orangArob mulai bertanya, “Ke mana  harta-harta rampasan dulu, ke mana larinya tanah-tanah  rampasan dulu? semuanya diserahkan ke BaitulMal dan Utsman  membagikannya ke sahabat-sahabatnya saja, hingga mereka  mengambilbagian yang besar dari BaitulMal. Baitul Mal tidak  untuk para pembuka daerah tetapi hanya untuk para penduduk  Madinah saja. Situasi seperti ini adalah situasi yang panas bagi  orang-orang yang terbiasa berperang dan tidak memahami  agama secara sempurna.

Keadaan seperti ini sangat mudah untuk menjadi jalan  masuknya pikiran-pikiran buruk, dan cukuplah hal ini untuk dapat  menyulut fitnah apabila ada yang menyalakannya, dan dapat  menjadi pendorong bergeraknya orang-orang Arab Badui dan  menyatukan sikap mereka, memang merekalah akhimya menjadi  pengacau yang melumatkan apa saja.

Saif telah menjelaskan kepada kitaakan perihalkaumfuab  badui ini dan hubungan mereka dengan pengacau di Madinah.  Hal itu bisa dilihat dari surat Utsman kepada para penduduk di  berbagai kota, “Mereka telah menyerang kami yang sedang  berada di sisi Rasulullah S hallallahu Alaihi wa Sallam , di haramnya (masjidnya) dan di tanah hijrah, dan mereka dibantu oleh para  Arab badui.”

Mereka juga terlihat dari perkataan Aisyah, “Fara pengacau  dari beberapa penduduk kota dan orang-orang Asing dari  beberapa kabilah Arab badui telah menyerang masjid Rasulullah  Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka membikin kekacauan dan  melindungi para pelaku kerusuhan di rumah-rumah mereka mereka telah membunuh Imam kaum Muslimin tanpa ampun  dan seterusnya….”

Mereka munculpula yang ketiga kalinya dalam perkataan  Ali kepada masyarakat pasca kematian Utsman, “Wahai  masyarakat, usirlah orang-orang badui dari daerahmu,” dan  berkata, “Wahai fuab badui! Kembalilah ke rumah-rumah kalian.”  Para pengikut Ibnu Saba’ enggan sedangkan orang-orang fuab  mengikuti perkataan Ali.

Para Arab badui ini hanya mencari harta dan dikendalikan  oleh ketamakan saja, mereka juga sudah dihinggapi perasaan  dendam terhadap Utsman hingga dengan mudah mengambil  setiap perkataan memprovokasi keadaan, keadaan inilah yang  dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’ untuk mengerahkan,  menyusun dan memberangkatkan mereka ke Madinah untuk  menyulut fitnah. Ia memberikan surat palsu yang katanya dari Ali,  Thalhah, Az-zubair dan para isteri-isteri Rasul shollollahu Alaihi  wo Sallam, hingga ketika mereka bertemu sahabat para Arab  badui ini tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan isi  hatinya, mereka mendapatkan Utsman seorang sosok yang sangat  memenuhi hak-hak mereka, akhimya merekapun pulang dengan  sangat rela terhadap Utsman, atau sebagian besar dari mereka rela  hatinya, akan tetapi lbnu Saba’ menyusun kembali sebuah surat  yangdipalsukan dari Utsman dan distempeldengan stempel yang  mirip stempelnya Utsman, dan memalsukan tanda tangan  Utsman. Dalam hal ini, menurut mereka ada dua kemungkinan,  pertama; Surat itu ditulis Utsman, kedua; Surat itu ditulis oleh  sekretaris Utsman, kemungkinan yang kedua mustahil karena  mereka tidak akan percaya terhadap surat yang ditulis  selaetarisnya.

Waktu itu adalah musim haji. Sebagian besar penduduk  Madinah menunaikan ibadah haji, sedangkan yang masih tinggal  di Madinah adalah orang-orang yang terhasut membenci Utsman  karena hanya memberikan hartanya kepada para sahabatnya  saja. Para Sahabat akhirnya menyuruh anak-anaknya untuk  melindungi Utsman tetapi sayang mereka telah menguasai kota,  para pengacau dapat memegang dan tidak memberikan air  kepada Utsman, setelah mengetahui bahwa sebagian penduduk  Madinah tidak berada di sampingnya. Utsman pun tidak ingin  berperang bersama putera-putera Sahabat demi tidak terjadinya  pertumpahan darah. Ia pernah bermimpi diajak baginda Rasul  Shollallahu Alaihi wa Sallam untuk berbuka bersamanya hingga  ia sangat terkesan dengan mimpi ini. Ia pun menjadi benci akan  kehidupan, dan menyerahkan dirinya untuk meninggal dan  bertemu Rasul Shollo llahu Alaihi wa Sallam.la menyuruh putera[1] putera sahabat untuk kembali ke rumah mereka masing-masing,  tetapi mereka tidak mau meninggalkan Utsman sendirian, mereka  tetap berjaga-jaga di depan pintu, akan tetapi para pengacau  mengetahui bahwa pertahanan mereka sangat lemah hingga  mereka kemudian memaksa masuk ke rumah dan menemui sang  Khalifah, mereka mendapatkannya sedang membaca Al-Qur’an,  Muhammad bin Abu Bakaryang ingin membunuhnya akhimya  tidak tega dan pergi. Sedangkan yang membunuhnya adalah orang-orang Arab badui dari beberapa kabilah. Para Sahabat dikagetkan dengan kematiannya, mereka tidak memperkirakan akan terbunuhnya sang Khalifah akan tetapi ia terbunuh karena  kepasrahan dan penyerahannya supaya tidak terjadi  pertumpahan darah dari kaum muslimin. Ia telah syahid di dalam menjaga Islam, dalam keperwiraan dan dalam kecintaannya bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Peristiwa ini adalah akibat munculnya generasi baru di  masyarakat yang menginginkan kedudukan di antara masyarakat yang lain, mereka digerakkan oleh orang yang busuk dan  bertujuan memasukkan Islam dalam petaka. Para sahabat di Madinah tidak sampai berfikir bahwa orang-orang ini sampai melampui batas hingga membunuh Utsman, karena mereka  datang mengatasnamakan omar makruf nahi mungkor. Akan tetapi sebagian penduduk Irak dan Mesir begitu juga seperti Al[1] Ahnaf bin Qais mengetahui bahwa perkara ini akan berakhir dengan kematiannya, karena mereka tahu siapakah fuab badui itu sebenamya dan kondisi yang melatarbelakangi mereka.

Saif menafsirkan semua ini dengan peristiwa-peristiwa dan tidak menggunakan dialog. Ia tidak tahu bahwa kita menuntutnya atas semua tafsiran itu, ditemukannya dokumen-dokumen tersebut adalah dari para guru-gurunya, lalu ia menuliskannya dan menceritakan kepada kita, maka sudah terpenuhilah apa yang kita minta dari sejarah.

Pembaiatan Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Para Pengacau

Setelah memperhatikan hal-hal di atas kami dapat  mempercayai Saif dan dapat menjadikan riwayatnya sebagai  pegangan, karena ia mengikuti peristiwa fitnah hingga akhir  perang Jamal dengan jalur periwayatannya sendiri. Mari kita ikuti  kisah-kisahnya hingga akhir perang Jamal dengan keyakinan  bahwa ialah sejarawan yang paling mendekati kebenaran saja, ia  berkata yang secara ringkasnya sebagai berikut:

Setelah kematian Utsman, Madinah dipimpin oleh salah  seorang dari pengacau yaitu Al-Ghafiqi bin Harb. Selama lima  hari berkuasa mereka lantas mencari orang yang mau dan  mampu menjadi Khalifah. Orang-orang Mesir datang menghadap  Ali bin Abi Thalib, Ali sendiri menghindar dari mereka. Setelah  mereka menemukan Ali, Ali lantas mengusir mereka dan tidak   bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan  sedikit pun. Orang-orang Kufah juga mencari Zubair tetapi tidak  menemukannya, merekapun lantas mengirim beberapa utusan  untuk menemuinya, tetapi Zubair malah mengusir para ufusan ini  dan tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.  Thalhah juga melakukan halyang sama dalam menghadapi  orang-orang Bashrah. Para pengacau yang telah bersepakat  untuk membunuh Utsman ini akhirnya berselisih untuk  mengangkat siapa yang berhak menjadi Khalifah setelah  kematiannya. Setelah mendengar jawaban dari ketiganya,  mereka lantas mengatakan, “Kami tidak akan mengangkat  mereka bertiga.”

Mereka lalu mengutusorangkepadaSaid bin Abi Waqqas,  mereka mengatakan, n’Engkau adalah termasuk dari Ahli Syura  maka majulah akan kami baiat.” Ia menjawab, “Saya dan lbnu  Umar tidak menerimanya, aku tidak membutuhkan menjadi  khalifah sedikit pun.” Mereka kemudian menemui Abdullah bin  Umar, mereka mengatakan, “Engkau adalah putera dari Umar  bin Al-Khathab, maka majulah mengambil tampuk khilafah ini!”  Ia menjawab, “Sungguh hal ini akan mendapat balasan, demi  Allah aku tidak-akan mengambilnya, carilah orang selain aku.”  Mereka menjadi bingung tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Demikianlah kami tegaskan bahwa para sahabat tidak mau  terlibat dengan mereka dan tidak bertanggung jawab atas apa  yang mereka lakukan.

Di sini selesailah riwayat Saif dari Muhammad, Thalhah,  Abu Haritsah dan Abu Utsman, akan tetapi Abu Haritsah dan Abu  Ubman masih melanjutkan ceritanya, mereka mengatakan secara  ringkasnya:

Pada hari Kamis, genap 5 hari pasca kematian Utsman,  para pengacau lalu mengumpulkan penduduk Madinah. Mereka tidak menemukan Sa’ad dan Zubair karena telah keluar  meninggalkan Madinah, dan menemukan Thalhah di kebunnya.  Mereka juga telah mengetahui bahwa keturunan Bani Umayyah  telah melarikan diri dari Madinah kecuali orang-orang yang tidak  berdaya saja. Setelah penduduk Madinah berkumpul, penduduk  Mesirberkata, “Kalian semua adalah ahli Syura, engkaulah yang  menenhrkan pemimpin, pilihan kalian akan diikuti oleh penduduk  yang lain, pilihtah orang yang paling cocok dan kami akan  mengikutinya.” Maka sebagian besar hadirin berteriak, “Ali bin Abi  Thalib, kami rela dengannya. ” Sampai di sini apa yang diceritakan  oleh Abu Utsman dan Abu Haritsah, sedangkan Muhammad dan  Thalhah masih mengikuti kisah fitnah ini hingga Saif pun  mengambil kisah dari keduanya. Kami mengambil kisah-kisah  tersebut karena sejarahnya sudah jelas sehingga dapat kami  jadikan pegangan. Inilah yang dikatakan para pengacau terhadap  penduduk Madinah secara ringkasnya:

“Wahai penduduk Madinah! Ajukanlah pemimpin dari  kalian, kami telah memberikan tangguh dua hari kepadamu,  demi Allah! jika kalian tidak melakukannya maka bdsok akan kami  bunuh Ali, Thalhah, Zubair dan sebagian besar masyarakat!”  Maka bergegaslah orang-orang menemui Ali dan mengatakan,  “Kami membaiatm! Kami telah melihat kedudukanmu dalam  Islam dan pada masa kami diuji.’l Ali menjawab, “Tinggalkan saya  dan carilah orang selain saya, bagaimana kita menerima pgrkara  yang belum jelas, tidak diterima oleh hati dan tidak jelas secara  nalar.” Mereka menjawab, “Demi Allah kami juga sependapat  dengan engkau, Apakah engkau tidak melihat Islam? Apakah  engkau tidak melihat fitnah ini?.Apakah engkau tidak takut akan  Allah?” Ia menjawab, ‘Aku terima permintaan kalian dan  ketahuilah bahwa aku akan melakukan untukmu segenap apa  yang aku ketahui, jika engkau meninggalkan aku maka aku akan menjadi seperti salah seorang daripada kamu ,dan aku akan  menjadi orang yang paling taat kepada orang yang kalian pilih.”  Kemudian mereka berpencar dan membaiat Ali.

Para pengacau kemudian bermusyawarah di antara  mereka sendiri, ‘iJika Thalhah dan Zubair membaiat maka sudah  selesailah perkara.” Orang-omng Bashrah lantas mengirim utusan  ke Thalhah dan orang-orang Kufah mengirim utusan ke Zubair  guna dapat membawa mereka ke Madinah sebagaimana yang  diriwayatkan oleh Saif.

Esok paginya pada hari Jum’at, masyarakat sudah  berkumpul di masjid, Ali datang ke masjid dan langsung  berkhutbah, “Wahai para hadirin, ini adalah umsan kalian, tidak  ada yang berhak mengambilnya kecuali orang yang kalian pilih  saja, kita telah berselisih kemarin. Kalau kalian menghendaki saya  untuk duduk maka saya akan duduk, jika tidak maka aku tidak  akan mencela seorang pun.”  Mereka mengatakan,

“Kami masih berselisih seperti  kemarin.” Lalu datanglah orang-orang bersama Thalhah  mengatakan, “la telah membaiat kamu.” Thalhah mengatakan,  “sesungguhnya aku membaiat unfuk menumpas tipu daya ini.”  Dialah orang pertama yang membaiat Ali, lalu didatangkanlah  Zubair, iapun membaiat seperti Thalhah -mengenai pembaiatan  Zubair ada selisih periwayatan-. [-alu didatangkanlah orang-onng  yang dulu berselisih dan mengatakan, “Kami membaiat untuk  ditegakkannya Kitab Allah di tempat yang dekat maupun jauh,  terhadap orang yang mulia maupun orang yang hina.” Mereka  kemudian membaiat Ali dan berdirilah masyarakat membaiat Ali  semuanya.

Nampak di sini bahwa penduduk Madinah sangat konsisten  untuk mengakhiri fitnah ini, dan Ali menerima khilafah ini untuk  melepaskan masyarakat dan kaum muslimin dari fitnah ini, dan  nampak bahwa Zubair dan Thalhah membaiatnya dengan  terpaksa, untuk itu ia dapat keluar dari baiat sewaktu-waktu.

Muhammad dan Talhah melanjutkan ceritanya,    “Orang[1] orang pengikut Ibnu Saba’mengancam Ali untuk menghukum  para pengacau, di sisi lain datang Thalhah, Zubair dan sebagian  Sahabat. Mereka mengatakan, “Wahai Ali, kamitelah mensyaratkan kamu untuk menegakkan hukum-hukum Allah, mereka para  pengacau telah bersekufu membunuh orang ini (Utsman), untuk  itu mereka wajib dihukum.” Ali menjawab, “Wahai saudara-saudaraku, aku bukannya tidak tahu apa yang kalian inginkan,  tetapi apa yang harus saya lakukan terhadap kaum yang  menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Mereka telah  dibantu oleh budak-budak kamu dan orang-orang Arab badui  dari kamu. Mereka telah melakukan apa saja yang mereka  kehendaki, adakah yang dapat kita lakukan terhadap mereka?  Demi Allah, aku sependapat dengan apa yang kalian inginkan  insyaAllah, biarkanlah aku menenangkan diri terlebih dahulu.”

Ali bersikap keras terhadap orang-orang Quraisy yang lari  dari Madinah. Ia pun melarang Bani Umayyah untuk lari keluar  Madinah, pada waktu inilah berselisih masyarakat. Sebagian  mereka mengatakan, “Demi Allah, jika pelarian diri masih terus  berlangsung maka siapa yang akan menangkap para pengacau  tersebut?” Sebagian lagi mengatakan, “Kita harus menghukum  para pengacau tanpa menangguhkannya. Demi Allah! Ali hanya  menggunakan pendapatnya sendiri saja dan tidak menampung  pendapat kita, kami melihat perkara orang Quraisy lebih kuat dari  pendapat orang-orang lainnya-” Mendengar halini Ali berdiri,  Setelah memuji Allah, ia mengingatkan kemuliaan bangsa  Quraisy dan bagaimana Ali sangat membutuhkan mereka. Ia  menyeru, “Aku tidak bertanggung jawab atas hamba yang keluar  dari tuannya.” Maka tersinggunglah pengikut Ibnu Saba’ dan Arab  badui, mereka berkata, “Suatu saat kami akan mengalahkan  orang Quraisy dan sekarang memang kami tidak bisa membantah  hal ini.”

Pada hari ketiganya, Ali keluar menemui para pengacau,  dan berpidato, “Wahai masyarakat, keluarkanlah orang-orang  Arab dari kotamu!” Mereka menyambut dengan mengatakan,  “Wahai para Arab badui! Kembalilah ke daerah-daerah kamu.”  Maka pengikut Saba’ menolak seruan ini, sedangkan orang-orang  Arab badui menemui Ali di rumahnya. Mereka juga menemui  Thalhah, Zubair dan sebagian Sahabat sambil menantang,  “Tunjukkan balas dendammu kepada kami!” Maka sebagian  sahabat menasehati Ali untuk tidak melakukan balas dendam  kepada mereka sekarang. Thalhah mengatakan, “Biarkan kita  berpikir sejenak.” Zubair juga menjawab demikian kepada  mereka.

Dalam cerita ini dapat diketahui bahwa Ali ingin meng[1] hukum mereka tetapi para sahabatnya tidak sepakat dengan  pendapatAli.

Mughirah bin Syu’bah menasehati Ali untuk membiarkan  para pegawai Utsman di seluruh kota tetap menjadi pegawai dan  tidak memecatnyd, tetapi Ali tidak menerima pendapatnya. Pada  hari berikutnya ia datanglagi dan menasehatinya untukmemecat  mereka, dan masuklah Abdullah bin Abbas kepada Ali sambal mengatakan, “Kemarin ia memang menasehatimu dan sekarang  ia telah menipumu.”

Tidak nampak di sini kenapaAli bersikeras unfuk memecat  pegawai-pegawai Utsman, tetapi kami dapat menganalisa sikap Ali  itu karena ia yakin bahwa bencana ini datang dari para pegawai-pegawai Utsman, untuk itu ia harus memecat mereka semua.

Ali kemudian mengirimkan pegawai-pegawainya ke  seluruh kota. Mereka diterima dengan buruk oleh para  penduduk kota masing-masing, sebagian dari mereka kembali. Ali  lantas memanggilThalhah dan Zubairdan berkata, ‘Apa yang aku  peringatkan kepadamu ternyata sudah terjadi, ini adalah fitnah  seperti api, semakin berkobar maka semakin besar dan semakin  panas.” Mereka berdua menjawab, “lzinkan kami keluar dari  Madinah.” Lalu Ali berkata, ‘Akan aku pegang perkara ini  semampuku, jika tidak bisa maka obat terakhir adalah perang.”

Ia lalu menulis surat kepada Muawiyah dan kepada Abu  Musa, ia menulis surat kepada Abu Musa untuk meminta ketaatan  penduduk Kufah. Sedangkan Muawiyah malah membunuh  utusan Ali. Ia kemudian mengutus orang untuk membawa surat  kepadaAli tanpa ada isinya, Ali berkatakepada utusan Muawiyah  ini, ‘Apakah kalian aman bersama saya?” Ia menjawab, “Utusan  diberi keamanan dan tidak dibunuh, kami mewakili kaum yang  tidak rela kecualibalas dendam.” Ia bertanya, “Dendam dengan  siapa?” Utusan itu menjawab, “Dari diri Anda.” Ali menjawab,  “Kalian telah membiarkan 60.000 orang tua menangisi pakaian  Utsman, dan mereka menaruh pakaian Utsman di mimbar kota  Damaskus. Kalian menuntut darah Utsman dariku. Saya sama  kedudukan dengan Utsman. Ya Allah, aku tidak terlibat dari darah  Utsman, sungguh celaka dan merugi sang pembunuh Utsman.”

Perselisihan antara Aisyah, Thalhah, dan Ibnu  Zubair dengan Ali

Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali untuk  menunaikan ibadah Umrah. Iapun mengizinkan keduanya  berangkat ke Makkah, Ali tinggalmengurusi Muawiyah saja, ia  mengangkat sebagian Sahabat untuk menjadi pegawainya dan  tidak memberikan posisi satupun kepada pegawai Utsman. Ia  berkhutbah di depan penduduk Madinah yang bunyi khutbahnya  antara lain, “Bangkitlah menuju mereka yang telah mencerai[1] beraikan jamaah kalian, semoga Allah memperbaiki apa-apa yang  telah dirusak oleh perusuh dari pinggiran, dan supaya hilang  beban-beban kalian.”

Ia juga menyerukan kepada penduduk Makkah dengan  pidatonya, “Sesungguhnya Allah memberikan orang yang  menzhalimi umat ini maaf dan ampunan, dan mengaruniakan  kemenangan serta pertolongan bagi orang-orang yang konsisten  di jalan-Nya, barangsiapa tidak mengambil kebenaran maka ia  telah mengambil kebatilan. Ketahuilah bahwa Thalhah, Zubair  dan Ummul mukminin telah menuduh saya dan mengajak  manusia untuk berdamai, jika mereka berhenti maka kami akan  membiarkan mereka, dan kami hanya berbuat sesuai dengan apa  yang kami ketahui tentang mereka.”

Kemudian ia mendapatkan berita bahwa mereka juga  menuju Bashrah untuk melihat dan melakukan perdamaian di  sana. Ia pun ingin menemui mereka. Ia berkata: “Jika mereka  meminta baiat di sana maka putuslah kepemimpinan kaum  Muslimin.” Dan Ibnu Umar samasekali tidak berkeinginan untuk  keluar bersama Ali.

Aisyah -setelah mendengar kematian Utsman berkhutbah di Makkah. Ia membela para pegawai Utsman di  Makkah, gubernur Makkah pada waktu itu Abdullah bin Amir Al- Hadhrami dan keluarga Bani Umayyah menerima ajakan Aisyah  ini.

Thalhah dan Zubair telah sampai di kota Makkah dan  menemui Aisyah, Aisyah bertanya, “Bagaimana kota Madinah  yang kamu tinggalkan?” Mereka menjawab, “Kami membawa  barang-barang kami pergi dari Madinah dan pergi dari para  perusuh yang dibantu oleh orang-orang Arab badui, kami  meninggalkan sebuah kaum yang bingung, tidak membenarkan  kebenaran dan tidak mengingkari kebatilan, tidak mencegah diri[1] diri mereka (maksud mereka adalah Ali dan para  pendukungnya).” Aisyah kemudian berkata, “Persiapkanlah  segalanya dan berangkatlah menuju para p€msuh itu.”

Ketika tekad mereka menuju Bashrah sudah bulat maka  mereka berkata,   “wahai Ummul mukminin, pergilah bersama  kami ke Madinah, sesungguhnya kami pergi ke negeri yang  terabaikan, maka bangkitkanlah mereka sebagaimana engkau  membangkitkan penduduk Makkah. ” Lalu ia pun menyetujuinya.

Berita pertemuan mereka dan perkataan Aisyah untuk  berangkat ke Bashrah telah terdengar oleh Ali, Ali lalu bergegas  dengan pasukannya menuju Syam. Ikut bersama rombongan Ali  orang-orang dariKufah dan Bashrah yang jumlahnyasekitar 700  orang. Ali berharap bisa bertemu dengan Aisyah dan sahabat-sahabatnya di persimpangan jalan, akan tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Abdullah bin Salam yang  mengatakan, “Wahai Amirul mukminin, janganlah engkau pergi  ke sana, demi Allah jika engkau ke sana niscaya engkau tidak akan  pulang dan tidak ada pemimpin umat Islam lagi.”

Aisyah sudah berangkat menuju Bashrah. Di sisi lain  Utsman bin Hanif yang menjadi gubemur Bashrah pro-Ali telah  mengutus Abul Aswad Ad-Duali dan kawannya unfuk menemui  Aisyah. Setelah bertemu Aisyah ia berkata, “Pemimpin kami  mengutus kami untuk menanyakan tujuan perjalanan baginda,  apakah kepergian baginda untuk umsan yang sifatnya rahasia?”  Ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak pergi untuk perkara yang  rahasia, parapemsuh dari berbagai kota dan dari berbagaikabilah  telah menyerbu masjid Rasulullah Shallallohu Alaihi wa Sallom  dan membuat kekacauan di dalamnya, mereka telah  menampung para perusuh ini hingga berhak mendapat laknat  Allah dan Rasul-Nya, mereka telah membunuh Amirulmukminin  tanpa ada alasan yang jelas, mereka menghalalkan dan  menumpahkan darah, mengotori tanah haram dan bulan haram,  mereka merampas harta, mencabik-cabik kehormatan, mereka  tinggali daerah yang kaumnya membencinya, mereka adalah  kaum yang rusak dan merusak, tidak ada manfaat sedikitpun dari  mereka, mereka tidak memberikan keamanan, untuk itu aku  pergi menemui kaum muslimin dan memberitahukan kepada  mereka untuk memperbaiki kondisi ini.” Lalu ia membaca ayat  yang artinya , “Tidak ada kebaikan dalam sebagian besor bisikon  mereka kecuali orang yong memerintahkan sedekah atou hal  yang mokruf atau memperboiki hubungan antar manusia.”

Mendengar halini Abulfuwad dan Imran mohon pamit kepada Aisyah kemudian menemui Thalhah, mereka berkata, Apa yang membuat engkau melakukan hal ini?” Ia menjawab,  “Meminta pertanggungiawaban atas darah Utsman.” Mereka  berkata, “Bukankah engkau telah membaiat Ali?” Ia menjawab,  “Ya, karena pedang sudah berada di leherku. Saya akan  memusuhi Ali selama ia memisahkan antara kami dan para  pembunuh Utsman.”

Mereka kemudian menemui Zubair dan ia pun menjawab  hal yang sama dengan Thalhah.

Aisyah dan para sahabahrya sudah sampai di Bashrah, ia  pun berpidato di depan penduduk Bashrah. Para pendukung  Utsman bin Hanif pecah menjadi dua golongan, sebagian  golongan mengatakan, “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh  Aisyah, demi Allah apa yang dikatakannya adalah hal yang baik.”  Lalu Aisyah pun menyingkir. Sedangkan penduduk Bashrah  berselisih, para pendukung Utsman bin Hanif juga membuat  kelompok sendiri dan sebagian penduduk Bashrah bergabung  dalam barisan Aisyah.

Melihat hal ini Hakim bin Jabalah (salah satu pembunuh  Utsman)maju ke depan dan memulai peperangan.

Akan tetapi kedua belah pihak akhirnya berdamai dan  menunggu kepastian apakah Thalhah dan Zubair membaiat  karena terpaksa ataukah tidak, jika yang pertama benar maka  yang benar adalah mereka berdua, dan jika tidak maka yang  benar adalah Utsman bin Hanif, mereka lalu mengirim Ka’ab  untuk mengklarifikasi hal ini di Madinah, ia lalu bertemu dengan  Usamah bin Zaid, ia mengatakan, “Mereka berdua membaiat  karena dipaksa.” Lalu berdirilah sebagian perusuh, dan karena  takut akan keselamatan Ka’ab sebagian Sahabat menimpali,  “Benaq mereka membaiat dengan senang hati.”

Aisyah juga mengirim surat ke penduduk Kufah yang  isinya, “Kami telah masuk kota Bashrah, dan mengajak mereka  untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dan syariatnya,  sebagian mereka yang shaleh menerima hal ini tetapi mereka tidak  mempunyai kekuatan. Sedangkan yang lain berbuat kasar dan  mengkafirkan kami, dan berbicara kepada kami dengan hal yang  mungkar, kami lalu membacakan ayat:

‘Apakah engkau belum melihat orang-orang yong diberi[1] kan Al Ktab mereko diajak ke kitab Alloh untuk menghukumi di  antara mereka.” Sebagian di antara mereka tunduk kepadaku  dan sebagian yang lain berselisih, kami tinggalkan mereka yang  melepaskan senjata mereka, sedangkan Utsman bin Hanif  menyerukan untuk memerangi kami, kami menginap 26 malam  untuk mengajak kepada kitab Allah dan mendirikan hukum[1] hukumnya guna melindungi pertumpahan darah, mereka  menolak dan memberikan alasan yang bermacam-macam dan  kami pun mengajak berdamai dengan mereka, tetapi mereka  mengkhianati dan memerangi kami, kami pun terpaksa  memerangi mereka hingga mereka terbunuh semuanya kecuali  safu orang saja yang melarikan diri.”

Pertempuran itu dimenangkan oleh pihak Aisyah, dan  terbunuhlah orang-orang yang bersekutu membunuh Utsman  kecuali seorang saja yang melarikan diri. Sebenarnya Aisyah ingin  menghindari pertumpahan darah tetapi tidak mampu hingga  terjadilah pertempuran tersebut.

Ali kemudian menuju Rabadzah di daerah Kufah dan  untuk melanjutkan perjalanannya ke Bashrah dengan membawa  pasukan. Ketika hendak berangkat ke Bashrah ia dicegat oleh Ibnu Rifa’ah bin Rafi’ yang bertanya, “Wahai Amirul mukminin!  Kemana engkau akan pergi dengan membawa kami?” Ali  menjawab: “Kami hanya menginginkan perdamaian jika diterima  oleh Aisyah dan pendukungnya.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana  kalau mereka tidak mau menerima?” Ia menjawab, “Kami  membiarkan mereka, kami berikan hak kepada mereka, dan kami  bersabar.” Ia bertanya, “Bagaimana kalau mereka tidak rela?” Ia  menjawab, “Kami membiarkan mereka selama mereka  membiarkan kami?” Ia bertanya, “Bagaimana jika mereka tidak  membiarkan kita?” Ia menjawab, “Kami akan cegah mereka.” Ia  menjawab, “Benar yang engkau katakan.”

Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Ja’far  sudah datang ke Kufah, kemudian mereka menemui Abu Musa  Al-fuy’ari dengan membawa surat dari Ali bin Abi Thalib, ia tidak  memberi jawaban apa-apa terhadap surat tersebut, mereka  berdua akhirnya marah dan bersikap keras terhadap Abu Musa,  Abu Musa berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku masih  memegang bai’atnya Utsman, jika kami memang harus berperang  maka kami tidak akan memerangi seseorang pun sampai  dibunuhnya para pembunuh Utsman di manapun berada,  keduanya lalu berangkat menghadap Ali dan menceritakan kisah  mereka dengan Abu Musa. Pada waktu itu Ali tengah menuju  Kufah didampingi oleh Malik Al-Asytar, Ali kemudian berkata,  “Wahai Asytar, engkau adalah sahabat Abu Musa dan menjadi  wakil dalam segala sesuatu, pergilah engkau bersama Abdullah bin  Abbas, perbaikilah apa-apa yang telah rusak!” Lalu berangkatlah  Abdullah bin Abbas bersama Al-Asytar menuju Kufah, mereka  didampingi oleh beberapa penduduk Kufah menemui Abu Musa untuk bergabung dalam barisan Ali, akan tetapi Abu Musa tetap  menolaknya.

Ketika Ibnu Abbas kembali menghadap Ali dan mencerita[1] kan tentang Abu Musa, Hasan mengusulkan kepada ayahnya Ali  untuk mengutusnya dan Ammar bin Yasir untuk menemui Abu  Musa, Ali berkata kepada Ammar, “Pergilah dan perbaikilah hal[1] hal yang telah rusak.” Mereka lalu berangkat menuju Kufah,  setelah sampai Kufah mereka langung memasuki masjid, orang  pertama yang menemui mereka adalah Masruq bin Al-Ajda’, ia  langsung mengucapkan salam kepada mereka berdua dan  berkata kepada Ammar, “Wahai Abul Yaqzhan! Apa yang  membuat engkau membunuh Utsman?” Ia menjawab, “la telah  mencabik-cabik kehormatan kami dan memukuli para penduduk  kami.” Ia menjawab, “Demi Allah, engkau telah melakukan lebih  daripada perlakuan mereka kepadamu, dan jika engkau sabar  maka hal itu baik bagi orang-orang yang sabar.”

Abu Musa kemudian keluar dan menemui Hasan dan  memeluknya, ia kemudian ia juga menemui Ammar dan berkata,  ‘Apakah engkau ikut bersama orang-orang yang memusuhi  Amirul mukminin, sehingga ikut bergabung dengan orang-orang  jahat?” Ammar menjawab, “Aku tidak melakukannya, lalu kenapa  engkau memusuhikami?” Hasan lalu memotong perdebatan  mereka.

Hasan lalu mendatangi Abu Musa, “Wahai Abu Musa, apa  yang membuat engkau mengajak manusia untuk menjauh dari  kami? Demi Allah kami hanya mengharapkan perbaikan, dan  Amirulmukminin tidak pernah takut akan adanya kerusuhan  sedikit pun.” Abu Musa menjawab, “Sungguh benar engkau.” Lalu terjadi keributan sedikit, kemudian para penduduk Kufah  bersepakat untuk membaiat Ali bin Abi Thalib.

Perang Jamal

Ali bin Abi Thalib mengutus Al-Qa’qa’ bin Amru -ia adalah  salah satu sahabat Nabi Shollallahu Alaihi uro Sallom dan  memerintahkannya, “Temuilah dua orang ini: Thalhah dan  Zubair, ajaklah mereka berdua untuk menjaga persatuan dan  jamaah, dan nasehatilah dia untuk tidak berselisih dan  bersengketa. ” Al-Qa’qa’ kemudian berangkat menuju Bashrah.  Dan setelah sampai di kota Bashrah, ia langsung menemui Aisyah,  pertama-tama ia mengucapkan salam kepadanya, kemudian ia  bertanya kepada Aisyah, “Wahai ibundaku, apa yang membuat  ibunda datang kemari?” Ia menjawab, “Unfuk melakukan ishlah  (perdamaian) antar manusia.” Ia lalu berkata, “Utuslah Thalhah  dan Zubair kemari sehingga ibunda mendengar perkataan kami  dan mereka berdua.” Lalu ia mengutus seseorang untuk  memanggil mereka berdua, maka datanglah mereka berdua, Al-Qa’qa’ berkata, ‘Aku telah bertanya kepada ibunda Aisyah  perihaltujuan keberangkatan dan kedatangan ia ke kota ini, dan  iapun sudah menjawab untuk memperbaiki hubungan antara  manusia, bagaimana pendapatmu: setuju apa yang dikatakan ia  ataukah tidak?” Mereka menjawab, “Kami sepakat dengannya.”  Al-Qa’qa’ bertanya, “lshlah yang bagaimana yang engkau  maksudkan? Demi Allah, kalau kami mengetahuinya maka akan  kami laksanakan.” Mereka berdua menjawab, “Para perusuh  telah membunuh Utsman bin Affan, dan jikalau mereka  dibiarkan maka berarti membiarkan Al- Qur’an dan Sunnah.” Al-Qa’qa’ menjawab, “Engkau malah telah membunuh para pembunuh Utsman dan lainnya dari penduduk Bashrah, dan  engkau sebelum membunuh mereka dalam keadaan yang lebih  baik daripada sekarang. Engkau telah membunuh 600 dari  mereka kecuali satu orang mengakibatkan 6000 orang marah  demi mereka hingga mereka meninggalkan kamu dan keluar dari  barisan kamu, engkau meminta dihadirkan satu orang yang lari  (Hurqush bin Zuhair) dan merekapun menolaknya, padahal jika  engkau membaiat kami maka hal itu sebagai pertanda baik akan  datangnya rahmat dan akan dapat membalaskan kematian  Utsman serta menyebabkan keselamatan umat ini.” Mereka  menjawab, “Benar yang engkau katakan, unfuk itu pulanglah jika  Ali seperti pendapatrnu maka sudah selesailah perkara ini.” Lalu  ia pun pulang kembali menghadap Ali dan memberitahukannya,  Ali sangatgembira mendengar hal ini, hingga ia memimpin sendiri  upaya perdamaian ini.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Ali sangat ingin  terus melacak para pembunuh Utsman, akan tetapi ketika hal itu  dilakukan, umat Islam akan terjebak dalam dua golongan yang  salingbertikai.

Beberapa rombongan dari penduduk Bashrah telah  datang ke Kufah, kemudian Ali binAbiThalib berpidato didepan  mereka, “Ketahuilah bahwa aku akan berangkat besok, dan  ketahuilah jangan sampai besok pagi ikut dalam rombonganku  orang yang ikut membantu dalam pembunuhan Utsman.”  Sebagian para perusuh berkumpul dan bertanya, ‘Ada apa ini?”  Al-Asytar berdiri dan berkata, “Thalhah dan Zubair kita telah  mengetahui perkara mereka, sedangkan Ali bin Abi Thalib kita  tidakmengetahui apayang ia inginkan sampai hari ini, dan orang-orang juga telah memandang kita, demi Allah Yang Maha Esa, jika Ali dan Aisyah berdamai maka mereka akan bersepakat untuk  menumpahkan darah-darah kita. Untuk itu marilah sekarang kita  bunuh Ali supaya menyusul nasib Utsman, dan kita hembuskan  fitnah lagi sehingga manusia lupa akan urusan mereka  membunuh kita.”

Abdullah bin Saba’menjawab, “Fendapatmu adalah paling  konyol, kamu dari penduduk Kufah berangkatlah bersama Dzi  Qar dengan membawa 2500 atau 2600 pasukan, sedangkan lbnu  Hanzhalah dan sahabat-sahabatnya membawa 5000 pasukan,  jangan memancing pertempuran, jagalah diri kalian, janganlah  mengangkat beban yang kalian tidak kuat mengangkatnya.”  Kemudian ada orang selain Al-Asytar berbicara, lalu lbnu Saba’  langsung berbicara lagi, “Wahai kaum! Sesungguhnya kemuliaan  kamu adalah selama kamu bergabung dengan manusia, maka  bergabunglah dengan mereka. Jika orang-orang sudah  berkumpul besok pagi maka mulailah peperangan, dan jangan  jadikan manusia dapat berkomunikasi sesama mereka.”

Dari teks di atas dapat dipahami bahwa Ibnu Saba’telah  menasehati para pendukungnya untuk menyerang lbnu Zubair  dan Thalhah sehingga mereka mengira bahwa tentara Ali yang  menyerang mereka, sehingga Zubair dan Thalhah akan bersama  penduduk Kufah. Mereka akan menasehatinya untuk  memerangi Ali dan mereka berdua akan setuju dengan hal itu.

Ali bin Abi Thalib berpidato, ia memuji dan memuji kepada  Allah dan berkata, “Wahai para hadirin, kendalikanlah dirimu,  jagalah tanganmu dan lisanmu terhadap mereka yang datang,  karena mereka adalah saudara-saudaramu, dan bersabarlah  terhadap apa yang menimpa kalian, jangalah kalian bertindak  mendahului kami, karena lawan kita besok pagi adalah orang  yang melawan sekarang.” Kemudian ia meninggalkan tempat  tersebut.

Sikap kedua belah pihak adalah satu yaitu menghendaki  kesepahaman dan perdamaian.

Ketika masyarakat sudah tenang maka berangkatlah Ali  dan keluarlah Thalhah dan Zubair mereka telah sepakat untuk  mendamaikan hal-hal yang mereka perselisihkan, dan akhirnya  mereka berdamai dan berjanji tidak memerangi satu sama lain,  kemudian mereka kembali ke tempatnya masing-masing.

Ketika mereka masih dalam keadaan damai maka para  perusuh yang telah membanhr pembunuhan Utsman begadang  dan tidak tidur malam harinya, mereka bermusyawarah semalam  suntuk, mereka bersepakat untuk mengobarkan pertempuran  secara rahasia, mereka kemudian menyelinap secara diam-diam  tanpa terdengar oleh para tetangga mereka. Pada malam yang  gelap itu mereka yang berasaldari kabilah Mudhar menemui  orang-orang Mudhar yang berada di pihak Aisyah, begitu juga  orang-orang dari kabilah Rabi’ah menemui omng-orang Rabi’ah  yang ada dipihaknya, dan orang-orang Yaman menemui mereka  yang berasal dari Yaman di barisan Aisyah. Mereka sudah  menempelkan senjata-senjata mereka hingga guguplah mereka.  Melihat hal ini para pasukan dari Bashrah dan lainnya bergolak  dan memerangi mereka yang datang, lalu keluarlah Zubair dan  Thalhah di hadapan orang-orang Mudhar dan mengatakan,’Ada  apakah ini?” Mereka menjawab, l’Kami diserang pada malam  hari.” Lalu keduanya berkata, “Sekarang kita telah mengetahui  bahwa Ali tidak mau berhenti kecuali dengan pertumpahan  darah.” Kemudian keduanya kembali ke pasukan Bashrah,  pasukan Bashrah kemudian memerangi para penyerang malam  tersebut hingga mereka melarikan diri ke tempat mereka masing-masing.

Ali dan penduduk Kufah mengetahui hal ini, para perusuh  sudah mempersiapkan orang di samping Ali untuk memberitahu  apa-apa y’ang mereka inginkan, Ali bertanya, ‘Ada apa ini?” Lelaki  ini menjawab, “Kami mendadak diserang oleh kaum yang tinggal  bersama kami sehingga kami mengusir mereka ke kemah-kemah  mereka masing-masing. ”

Ali lalu berkata kepada orang sebelah kanannya,  “Datangkanlah pasukan dari kanan saya!” Lalu ia berkata pula  kepada orang di sebelah kirinya untuk mendatangkan pasukan  dari sebelah kirinya. “Aku akhirnya mengetahui bahwa Thalhah  dan Zubair tidak pernah berhenti kecuali dengan pertumpahan  darah,” ujarnya.

Kemudian Ali berdiri dan berpidato di depan pasukannya,  “Wahai manusia! Tenanglah! tidak terjadi apa-apa.” Karena  termasuk kesepakatan mereka untuk tidak saling memerangi  kecuali setelah jalur diplomatik sudah buntu, tidak membunuh  orang yang sudah lari dan tidak menganiaya orang yang terluka.

Pidato Ali di atas menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib dan  Aisyah sesungguhnya tidak terpengaruh sama sekali dengan  fitnah, mereka malah sepakat untuk berdamai dan tidak  berperang kecuali setelah pufus semua prasarana perdamaian.

Menurut riwayat Muhammad dan Abu Amru mereka  mengatakan, “Ka’ab bin Tsaur menemui Aisyah dan berkata,  “Lihatlah orang-orang! Mereka hanya menginginkan  peperangan, sernoga Allah memperbaiki urusanmu.” Ia lalu  memakai pakaian perangnya dan menaiki untanya, sampai ketika  rumah-rumah sudah nampak olehnya, ia mendengar suara  perusuh yang datang bergemuruh, ia bertanya, “Suara apakah  ini?” Mereka menjawab, “ltu suara serbuan pasukan.” Ia kemudian bertanya, “Untuk hal yang baik ataukah yang buruk?”  Mereka menjawab, “Untuk halyang buruk.” Ia bertanya lagi,  “Barangsiapa bersama gemuruh pasukan tersebut maka mereka  akan terkalahkan.” Tidak beberapa lama terjadilah pertempuran  hingga terdengar berita kekalahan pasukannya, lalu Zubair dan  pasukan menyusuri lembah As-Siba’, sedangkan Thalhah  membalas serangan mereka dengan busur-busur panahnya.

Saif tidak menceritakan bagaimana hal ini bisa terjadi,  mungkin beberapa perkataannya sudah hilang, karena sampai  sekarang ia masih mencari penafsiran segala sesuatu, akan tetapi  mungkin kami bisa menyajikan semampunya sebagai berikut:  Orang-orang pengikut Ibnu Saba’ masih menyerang pasukan  Aisyah, Zubair dan Thalhah dengan pedang-pedang mereka,  dengan panah-panah mereka dan dengan tombak-tombak  mereka, sudah sewajarnya kalau tentara Bashrah juga membalas  serangan mereka, dan terjadilah pertempuran. Bagaimanapun  bentuk penafsirannya yang jelas Aisyah tidak menghendaki  peperangan, malah ia keluar untuk melerai pertempuran hingga  terjadilah hal yang tidak diduga-duga ini.

Pasukan Bashrah yang dipimpin oleh Zubair akhirnya  Kalah dan ia pun terluka dengan tusukan panah, sedangkan  Thalhah kembali ke Bashrah lagi setelah terkena oleh anak  panah,lalu Aisyah berkata kepada Ka’ab angkatlah kitab Allah  dan ajaklah mereka untuk menegakkan kitab Allah, lalu ia  menyerahkannya kepada Ka’ab. Fara pasukan Ali menerima hal  ini, dan Ali pun setuju dengan penegakan kitab Allah ini, tetapi  pengikut lbnu Saba’masih takut akan terjadinya perdamaian.  Mereka lalu melempari Ka’ab dengan panah hingga terbunuh,  mereka juga melempari Aisyah yang berada di unta dengan senjata-senjata mereka hingga ia berteriak, “Wahai bekas-bekas  pasukanku! Ingatlah kepada Allah dan Hari Penghisaban!”  Mereka mengabaikan seruan ia hingga ia berteriak lagi, “Wahai  manusia! Laknatilah para pembunuh Utsman dan para  pembantu-pembanfunya!” Mereka pun menerima seruan Aisyah  ini, dan Ali pun mendengarnya lalu bertanya, “seruan apakah  ini?” Mereka menjawab, ‘Aisyah menyeru untuk menyerang para  pembunuh Utsman dan pendukung-pendukungnya.” Ali pun  menerima seruan Aisyah dengan mengatakan, “Ya Allah!  Laknatilah para pembunuh Utsman dan para pendukungnya.”

Sedangkan menurut riwayat Muhammad dan Thalhah  secara ringkasnya:

“Pertempuran terus berlangsung hingga pertengahan hari,  Thalhah terluka sedangkan Zubair pergi dengan pasukannya,  dua pasukan telah bertabrakan. Pasukan sayap kanan Bashrah  dikalahkan oleh tentara kanan Kufah, dan tentara Rabiah Bashrah  dikalahkan oleh Rabiah Kufah, lalu Ali yang membawahi pasukan  Mudhar Kufah mengalahkan pasukan Mudhar Bashrah. Ali  berkata, “Kematian pasti akan datang, dan kematian bagi  kelompok pendatang dan tidak pada penduduk yang mukim.”

Secara lahiriah Ali dan Aisyah sudah dapat menguasai  keadaan hingga pertempuran akhirnya berhenti. Ali  memerintahkan beberapa orang untuk mengangkat tandu  Aisyah dan diletakkan di antara para orang-orang yang terbunuh,  lalu Al-Qa’qa’ dan Zufar bin Harits menurunkannya dan  meletakkannya di samping unta. Muhammad bin Abu Bakar dan sebagian orang memasukkan tangannya ke tandu, Aisyah  bertanya, “siapakah ini?” Ia menjawab, “Saudaramu yang baik.”  Aisyah menjawab, “Saudaraku yang jahat. ”

Pada tengah malam dari hari pertempuran itu Aisyah yang  diantar oleh Muhammad sudah sampai kota Bashrah, dan  perang tersebut berakhir dengan kemenangan pasukan Kufah  yang dipimpin oleh pengikut-pengikut lbnu Saba’terhadap  pasukan Bashrah.

Sedangkan Zubair pada hari kekalahan tersebut berjalan menuju Madinah tanpa kendaraan hingga akhimya dibunuh oleh  Ibnu Jarmuz.

Ali sendiri tinggaldi Kufah selamatiga hari tidakmemasuki Bashrah sedikit pun, ketika Ka’ab bin Tsaur menemuinya ia  mengatakan, “Engkau mengang[lap mereka yang datang adalah  para orang-orang bodoh, apa yang engkau lihat terhadap noda  hitam ini?” Ali ketika melihat orang baik lewat di depannya mengatakan, “Biarlah orang mengatakan bahwa yang datang  adalah perusuh tetapi ia adalah orang yang taat beribadah.”

Para korban perang Jamal (unta) sebanyak 10.000 jiwa, sebagian dari pendukung Ali dan sebagian lagi dari pendukung Aisyah -sebagaimana menurut riwayat Saif-. Jumlah ini terlalu  berlebihan karena Ali setelah perang Jamal menghitung jumlah  uang yang ada di Baitul Mal jumlahnya ada 600.000 lebih, dan  dibagikanlah kepada para pasukan yang berperang bersamanya,  setiap orang mendapatkan 500 bagian.

Ali kemudian rnenulis surat kepada gubernumya di Kufah, “Dari Ali Amirul mukm in in, amma ba’ du, kita telah bertemu pada pertengahan Jumadil Akhir dengan pasukan dari Al-Kharibah  sebuah nama daerah di Bashrah, kemudian Allah memberikan  mereka pelaiaran bagi kaum muslimin, telah terbunuh banyak  sekali di antara kita dan mereka..”

Ali tidak menjelaskan bagaimana terjadinya peperangan ini, dan tidak menjelaskan mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ia juga menganggap pasukan yang bersama Aisyah adalah termasuk kaum muslimin dan tidak menganggapnya sebagai orang-orang murtad karena telah keluar dari Khalifah.

Ali kemudian memberikan kepada Aisyah semua  perlengkapannya baik kendaraan, makanan dan perbekalan, dan  ikut bersamanya sisa-sisa pasukan yang masih selamat kecuali  orang-orang yang masih ingin tinggal di Kufah, kemudian Ali  memilih 40 wanita terbaik pilihan dari Bashrah untuk  mengantarnya, kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad,  antarlah ia hingga sampai Madinah.”

Pada hari keberangkatannya, Ali menemuinya dan  berkumpulah orang-orang untuk melepaskan kepergiannya, ia  berkata, “Wahai putera-puteraku! Diantara kita telah saling  memusuhi, mulai sekarang janganlah kita saling memusuhi lagi.  Sesungguhnya demi Allah, hubungan antaraAku dan Ali adalah  hubungan anak dan mertuanya, ia merupakan orang yang sangat  berharga bagiku.” Kemudian Ali menjawab, “Wahai para orang-orang yang hadir, sungguh benar apa yang dikatakannya,  hubungan aku dan ia adalah seperti yang ia katakan, ia  merupakan isteriNabi kamu di dunia dan di akhirat.” Kemudian Aisyah berangkat pada hari Sabtu pada bulan Rajab tahun 36  Hijriah. Ali juga mengantarkannya hingga beberapa mil dan  membiarkan putera-puteranya untuk menemaninya semalam.

Bagaimana Saif Mampu Menceritakan  Riwayat Secara Jelas dan Rinci

Dengan teks ini selesailah riwayatyang dinukiloleh Saif dari  Muhammad dan Thalhah, andaikan kedua riwayat ini  meneruskan riwayatnya hingga akhir sejarah Ali bin Abi Thalib  maka akan terungkaplah teka-teki peristiwa yang telah  mencoreng wajah umat ini dengan berbagai corengan. Kami  melihat riwayat ini telah didahului oleh empat riwayat sebelumnya  yaitu Muhammad, Thalhah, Abu Utsman dan Abu Haritsah.  Keempat riwayat ini berakhir dengan kematian Utsman saja.  Sedangkan Muhammad dan Thalhah mengakhiri ceritanya  sampai beberapa peristiwa setelah itu yaitu sampai selesainya  perang Jamal, saya melihat dua riwayat ini menafsirkan kepada  kita tentang sikap Sahabat secara jelas, tidak ada celaan bagi  mereka. Ia menyajikan kepada kita tentang teks-teks dan peristiwa  sehingga ia dapat berbicara segala sesuatu, dengan demikian  periwayatannya termasuk riwayat yang shahih.

Di sini kita bertanya-tanya bagaimana Saif mampu  menceritakan riwayat secara jelas dan rinci, padahal riwayat-riwayat lain tidak bisa? Hal itu karena Saif berasal dari kabilah  Thmim yang sangat terkenaldalam bidang cerita sejarah.

Sekarang kita perhatikan tentang sikap Bani Tamim  terhadap fitnah, dan pengetahuan mereka terhadap fitnah  tersebut. Bani Tamim adalah orang-orang yang tidak terlibat  dalam fitnah ketika perang Jamal bersama tuan mereka Al-Ahnaf  bin Qais, tidak ada satu pun yang ikut dalam pembunuhan  Utsman, kemudian mereka ikut dalam barisan Ali bin Abi Thalib,  dan berperang bersama Ali dalam perang Shiffin. Mereka juga  tunduk kepada Bani Umayyah pada masa Muawiyah, kemudian  mereka membela dan mendukung lbnu Zubair dan berperang  bersamanya terhadap Abdul Malik bin Marwan, akan tetapi  mereka kemudian juga ikut bergabung dengan Bani Umayyah  setelah itu. Ia tidak mempunyai siasat politik yang satu, akan tetapi  selalu menyesuaikan dengan keadaan yang ada. Kemudian  sebagian mereka ikut ke golongan Khawarij hingga mengetahui  kabar-kabar dari mereka, sebagian dari l{hawarij ada yang terlibat  pembunuhan Utsman bin Affan bukan karena salah niat tetapi  karena menegakkan qmar ma’ruf nohi mungkor. Dengan  demikian kita telah melihat bahwa Bani Thmim telah mampu  bermuamalah dengan semua pihak yang terlibat dalam fitnah,  sehingga ia mampu mendapatkan kabar dari berbagai pihak.  Tidak diragukan lagi bahwa sumber asli dari kabar-kabar tersebut  adalah pemimpin mereka Al-Ahnaf bin Qais, ia adalah seorang  tokoh bijaksana dan mengetahui keadaan perkara secara  mendalam sebagaimana mengetahui fenomenanya, ia telah  mengamati peristiwa fitnah dari dekat.

Tidak diragukan setelah itu bahwa Saif At-Tamimijuga  mampu mengetahui peristiwa fitnah secara detaildan jelas dari  kabilah dan keluarganya, tidak heran kalau riwayatnya seirama  dengan riwayat Al-Ahnaf bin Qais, dan riwayat tersebut shahih  dan sesuai dengan riwayat-riwayat lainnya.

Sebagai kesimpulan bahwa Saif bin Umar telah  memberikan kepada kita kisah fitnah dari sumberyang nehaldan  akurat. Kisah tersebut sesuai dengan riwayat-riwayat lainnya  malah bisa menjadi penafsir,. penjelas, pemerinci dan dapat  diterima.

Kesimpulan dari Cerita Fitnah

Kami tidak perlu menakwilkan sikap Ali bin Abi Thalib,  Thalhah, Zubair dan Aisyah dalam menyikapi fitnah ini. Sikap  mereka semuanya sama yaitu menghendaki kebenaran dan tidak  menginginkan pertempuran. Sedangkan kebenaran pada waktu  itu adalah menghukum para pembunuh Utsman, akan tetapi  mereka berbeda dalam bagaimana cara menghukum atas para  pembunuh Utsman tersebut. Ali bin Abi Thalib melihat bahwa  sekarang belum saatnya melakukan hal itu karena akan  menyebabkan kabilah-kabilah fuab bergolak dan akan terjadilah  persengketaan diantara mereka, hampirsaja ia dan orang-orang  yang menyelisihinya berdamai, akan tetapipara pengikut lbnu  Saba’telah kembali membakar fitnah-fitnah dan adu domba  mereka, maka terjadilah pertempuran pada waktu malam gelap  gulita dimana seorang pasukan tidak tahu mana kawan dan mana  lawan.

Kita jangan sampai hanya menisbatkan fitnah tersebut  kepada pengikut Ibnu Saba’ saja, karena pengikut lbnu Saba’ di  sini juga mengambil kesempatan dari realita yang ada. Pada waktu  itu muncullah golongan kaum yang tidak dapat membedakan  mana yang benar dan mana yang mungkar. Pengikut Ibnu Saba’  lalu mengambilkesempatan ini, mereka lalu menyusun kekuatan  ini dengan memakai jargon omor mo’ruf nahi mungkar. Mereka  pun akhirnya terjerumus dalam fitnah ini. Pada waktu itu hati-hati  mereka telah membara, generasi muda mereka sudah tidak  menghormati lagi akan generasi tua, untuk itu angin fitnah  sangat mudah berhembus dengan kuatnya, sedangkan penghembus fitnah adalah orang-orang yang tidak menampakkan diri.  Peristiwa-peristiwa ini juga kurang jelas sehingga para sejarawan  banyak sekali membuat penakwilan sendiri terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Banyak sekali di antara mereka yang menakwilkan sebuah peristiwa secara jauh. Hal inilah yang  menyebabkan orang-orang menjadi bingung dan berselisih  sampai sekarang ini.

You also like

Pengiriman Pasukan Usamah

Pengiriman Pasukan Usamah

Segala ancaman pemberontakan yang kini tersebar di negeri-negeri Arab bukan tidak diketahui oleh Abu Bakr dan sahabat-sahabatnya dari…
Bekas Perang Riddah

Bekas Perang Riddah

Daerah-Daerah yang Kembali Kepada Islam Khalid bin Walid sudah berhasil membasmi kaum murtad di kalang an Banu Asad…
Ekspedisi Yamamah

Ekspedisi Yamamah

Pasukan yang diperbantukan kepada Khalid Khalid bin Walid berangkat ke Butah memimpin pasukannya berikut pasukan yang diperbantukan oleh…
Sajah Dan Malik Bin Nuwairah

Sajah Dan Malik Bin Nuwairah

Banu Tamim dan Perkampungannya Letak perkampungan Banu Tamim berdekatan dengan Banu Amir ke arah selatan, berseberangan dengan Medinah…
Abu Dzar al-Ghifari - Sang Pengembara Sunyi

Abu Dzar al-Ghifari – Sang Pengembara Sunyi

Abu Dzar al-Ghifari adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Ghifar. la termasuk sahabat utama dan memiliki…
Tulaihah dan Ekspedisi Buzakhah

Tulaihah dan Ekspedisi Buzakhah

Kabilah-kabilah sebangsa Abs, Zubyan dan Banu Bakr serta mereka yang membantunya dalam menyerang Medinah, setelah berakhir dengan kehancuran…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Shopping Cart

No products in the cart.

Return to shop

Nama Toko

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu