Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta

Kritik Terhadap Sumber Rujukan dalam Peristiwa Fitnah
Tidak ada diantara rentetan peristiwa sejarah umat kita (lslam) satu peristiwa pun yang mencapai polemik seperti kejadian yang menyebabkan kematian Khalifah Utsman bin Affan, hingga tragedi Perang Unta dan Shiffin. Bahkan peristiwa ini dinamakan sebagai fitnah karena terjadi fitnah sesama manusia. Dan ia benar-benar menguji tingkat keberagamaan, akhlak dan keteguhan mereka dalam prinsip dan akidah. Peristiwa itu betul-betul merupakan fitnah yang mencabik-cabik umat menjadi kelompok dan golongan, dan merupakan awalpertentangan dan perselisihan dalam Islam. Bahkan setiap orang dapat diketahui posisinya dari kejadian ini dengan pertanyaan: ‘Apa pendapatmu tentang peristiwa Utsman, apakah terbunuh karena ia zhalim atau terzhalimi?” Dan dari jawabannya akan diketahui, dari kelompok mana ia.
Sumber-sumber tentang fitnah dan pemberitaan mengenainya sangaflah banyak memenuhi isi kitab-kitab yang berjilid. Dan memberi gambaran buat pembaca bahwa di dalamnya akan didapati rincian kejadian dengan amat detail, lengkap beserta tokoh-tokohnya, perkembangan, dan prediksinya. Beberapa penulis sejarah kontemporer telah amat banyak menulis tentang peristiwa ini, sehingga mereka sampai pada kesimpulan yang bermacam-macam dan pada posisi yang berbeda-beda. Karena setiap orang mendapatkan dari peristiwa itu apa yang mendukung pendapat dan prediksinya, juga yang menyokong opini dan kecenderungannya antara pendukung Utsman atau penentangnya, dan antara sangsi terhadap posisinya atau menjadi pembelanya, serta antara penghujat para sahabat melalui pencercaan dan penghinaannya atau pembela para sahabat yang selalu siap setiap saat dibutuhkan.
Kenyataannya, setiap sejarawan dari mereka memiliki argumen yang mereka sandarkan dan ambil. Dan diantara mereka ada yang mengumpulkan hal-hal yang saling bertentangan, sekali-kali dibela dan sekali-kali diserangnya, mencoba untuk menghabiskan kabar berita dan meletakannya pada tempatnya. Padahal suatu hal yang saling bertentangan dan bertolak belakang sehingga tidak bisa dikumpulkan.
Sungguh bahwa peristiwa-peristiwa fitnah itu tidak pernah diketahui kejelasannya, dan seorang ahli sejarah tidak sembarangan bersandar kepadanya kecuali memang yang shahih dan benar-benar lebih unggul dari riwayat yang batil. Apakah ada satu dari para sejarawan mencoba mengangkat pertentangan dalam peristiwa itu dan mengklasifikasikannnya? Saya tidak tahu persis. Tapi yang mungkin bisa diketahui bahwa para sejarawan itu masih terus menggali sumber berita dan meletakannya disamping berita lainnya, untuk menambah perbendaharaan peristiwa tanpa mengklarifikasinya atau memastikan keshahihannya.
Bagaimana cara memastikannya? Hendaknya kita.harus mengawalinya dengan mengelompokkan berita-berita tersebut sesuai riwayatnya agar bisa dipertemukan dengan prediksi para periwayat tersebut, dan juga agar bisa dibedakan antara pembawa berita yang jujur dan yang mencoba melakukan penyesatan. Dapat terungkap dari mereka siapa diantara mereka yang paling memastikan kebenaran riwayatnya. Itulah langkah pertamanya. Selama seorang sejarawan tidak mengetahui sumber-sumber informasi yang ada ditangannya dan tidak bisa mengukur kebenarannya, maka ia tidak bisa membangun bangunan sejarah di atasnya. Sehingga apa yang wajib dilakukan adalah melihat sumber-sumber yang ada di hadapan kita, dikelompokkan lalu memisahkan mana yang benar dan yang bohong. Inilah kritik eksternal dalam sejarah dan kemudian disusul dengan kritik internal untuk informasi berita, yang akan membuktikan kesesuain dan ketepatannya dalam hal keshahihan dan kepastiannya dan selaras denga logikanya.
Para sejarawan terdahulu telah banyak menulis tentang pembunuhan Ubman. Dan orang pertama yang menulis tentang kasus fitnah ini dalam sebuah karya tulis adalah Abu Mikhnaf Luth bin Yahya (157 H), yang memiliki karya “Maqtal Utsmon” (Pembunuhan Utsman).tl Diikuti kemudian Saif bin Umar At Tlrmimi (sekitar tahun 1 80 H), ia menulis buku’Al-Futu h Al -Kabiir wa Ar-Riddah ” dan buku ” Al- Jamol wa MasiiratuAi.syoh wo Ali” .21 Kemudian Abu Ubaidah Mu’ammar bin Mutsanna (tahun 207 H) dengan bukunya “Maqtal Utsman”.3t Dan kemudian buku “Ar Riddah wa Ad-Daar”al ditulis oleh Muhammad bin Umar Al Waqidy (207 H) seputar terbunuhnya Utsman dirumahnya. Selanjutnya Ali bin Al-Madainy (225 Hl mengeluarkan kitab “Maqtal Utsmah”.lt Dan Umar bin Syaibah (262 H) adalah sejarawan terdahulu yang paling akhir menulis karya tentang ” Maqtal Utsman” (Pembunuhan Utsman).
Dari pemaparan singkat ini bisa kita lihat bahwa para ahli sejarah terdahulu menggebu-gebu dalam peristiwa ini, maka mereka berlombaJomba berkarya didalamnya, karena peristiwa ini memiliki nilai menurut para sejarawan. Namun buku karya mereka tersebut tidak pernah selamat dari terpaan zaman sehingga tidak ada satu kitab pun bisa berada di tangan kita. Meskipun demikian para ahli sejarah yang sempat bertemu dengan mereka telah mengingat dengan baik sebagian dari apa yang ada didalam buku-buku tersebut. Sehingga didapatkan Al Baladzuri meriwayatkan kepada kita potongan dari informasi berita yang dibawa oleh Saif bin Umar dan Al-Waqidy. Hal serupa dilakukan Ibnu Asaakir pada karya biografi besar tentang Utsman, yaitu karya yang belum sempat beredar dan ditelaah para sejarawan di zaman sekarang.
Demikianlah dapat dikatakan bahwasannya sebagian informasi bisa kita ketahui dari apa yang disebutkan oleh Abu Mikhnal Saif, dan Al-Waqidy tentang peristiwa fitnah. Apabila kita himpun perkataan dari setiap mereka dengan teliti maka akan nampak bahwa ia memiliki arah yang berbeda-beda. Seperti Abu Mikhnaf yang beraliran Syiah, ia tidak pemah mengangkat sosok Utsman sebagai sang khalifah, jushu yang banyak adalah usaha untuk menjatuhkannyau sehingga ia berhak mendapatkan itu semua.
Ia juga membeberkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah adalah salah seorang yang menentang dan memberontak padanya.Dan mengesankan bahwa Ali bin Abi Thalib tampil seakan-akan condong dan membela Utsman, padahal ia marah terhadap perbuatan dan perkataannya.
Sedang Al-Waqidy dari riwayat-riwayatnya dapat dilihat kebenciannya terhadap Ubman, sampai At-Thabary memperkecil penukilan riwayat darinya karena kekejiannya, sebab apa yang bisa dinukil darinya berisi hujatan dan tuduhan terhadap Utsman. Dan oleh Al-Baladzuri hujatan kejam itu ditambahkannya. Sedang Al-Waqidy tidak mengurangi pengesanan para sahabat sebagai perekayasa terhadap pembunuhan Utsman, khususnya disebut disini adalah Thalhah. Kemudian tidak penting baginya bahwa Ali bin Abi Thalib tampakberseberangan dengan Utsman dan berseteru dengannya. Adapun Muhammad bin Abu Bakar baginya adalah pembunuh atau pelaku langsung pembunuhan tersebut. ltu semua melalui riwayat yang dituturkan para syeikh dan pendahulu syeikhnya. Adapun Saif bin Umar didapati lepas dan mengesampingkan riwayatAbu Mikhnaf dan Al-Waqidy, dengan menyajikan rantai sejarah yang tidak ada didalamnya tuduhan terhadap para sahabat bahkan membebaskan mereka dari itu semua, seperti yang akan kita saksikan.
Tapi anehnya, para sejarawan terdahulu dan juga terkini sama-sama menyajikan secara sejajar pemaparan berita ketiga sejarawan tadi, seakan-akan satu arah dan sejalan, padahal sebenamya saling bertentangan dan bertolak belakllng. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa siapa yang ingin mendapatkan macam-macam riwayat yang saling bertolak belakang untuk mendukung teori yang dipahami dan dipertahankannya, maka ia pun mendukung riwayat itu demi mendukung setiap yang ia inginkan. Tapi apakah seorang sejarawan patut mengumpulkan riwayat yang saling bertentangan tersebut? Tentu tidak, bahkan ia seharusnya menunjukkan perbedaan pandangan para sejarawan saat ia menukilnya dari mereka, untuk mengingatkan pembaca akan fanatisme, tuduhan atau kekejian mereka.
Hendaknya kita saling bertanya pada saat di hadapan kita sumber-sumber berita yang saling bertentangan dan bermacam-macam itu, mana yang kita jadikan sandaran dan kita akan diambil? Sungguh upaya jarh dan to’dilyang dilakukan para ahli hadits yang telah berhasil menyingkap ihwal para ulama dari sisi kredibilitas periwayatan mereka, mereka memperingatkan kita untuk berhati-hati terhadap perkataan Al-Waqidy.
Imam An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i menuduhnya dengan dusta dan mengada-ngada, yaitu suatu klaim terpedas yang disandangkan kepada seorang periwayat kabar berita. Adapun Bukhari,Ad-Dulaby, Al-Uqaily, dan Abu Hatim Ar-Razi telah sepakat untuk tidak mengambil riwayat-riwayatnya. Dikatakan oleh Adz-Dzahaby: “Telah tercapai kesepakatan umum (ijma’) unfuk melemahkan riwayat Al-Waqidy.”
Sehingga jika pendapat para ahli hadits ini disandarkan maka apa yang dikatakan Al-Waqidy itu setidaknya dibenturkan ke dinding. Adapun pandangan mereka tentang Abu Mikhnaf lebih kurang pedas dari pada Al-Waqidy, namun mereka tidak bisa mempercayai kabar-kabamya, dan menilainya lemah, dan tidak memperdulikan riwayat darinya karena ia telah tertuduh sebagai zindiq.
Pendapat keseluruhan ulama jorh wata’dil dari kalangan ahli hadits bahwa mereka tidaklah bisa percaya kepada ketiga sejarawan tersebut yang menyimpan riwayat cerita tentang bagedi fitnah. Sehingga di sini perlu segera dikatakan bahwa penilaian ahli hadits terhadap kalangan sejarawan hendaknya tidak dijadikan neraca terakhir dalam sejarah, karena para ahli hadits sangat keras dan ketat dalam timbangan penilaian mereka, dan jika diterapkan standar penilaian ini terhadap sejarah, maka sebagian besar dari sejarah akan runtuh.
Untuk itu kita kembali kepada ukuran timbangan kedua yaitu bahwa para ahli hadits juga memperrnudah dalam riwayat dari orang-orang yang dinilai lemah, walaupun riwayat-riwayat mereka sebenarnya lebih mendukung hadits-hadits yang shahih dan bisa dipercaya. Jadi dalam sejarah bisa dimaklumi mengambil sisi kelonggaran dari para ahli hadits, sehingga bisa dijadikan sarana untuk menelusuri kebenaran atau hakekat sejarah dan pengetahuannya.
Dengan demikian kita wajib menemukan berita-berita yang shahih tentang tragedi fitnah tersebut dan mempertimbangkannya dengan apa yang dikabarkan oleh Al-Waqidy, Abu Mikhnaf, dan Saif. Maka riwayat-riwayat shahih itu sejalan dengan riwayat mereka terhitung sebagai hal yang bisa diambil, dan apaapa yang bertolak belakang, hendaknya dibuang dan ditinggalkan. Cara seperti itu tidak saja bisa berlaku untuk hadits tapi juga bisa diterima dalam sejarah.
Bahkan sejarah menambahkannya dengan yang suafu hal yangbisa diambil, yaitu sejamh bisa mempercayai perkataan para saksi mata lebih besar dari kepercayaannya kepada orang-orang yang jauh dari suatu peristiwa.
Jadi misi yang kita emban adalah mendapatkan riwayat-riwayat dari peristiwa fitnah yang diriwayatkan oleh orang-orang yang bisa terpercaya dan jujur, yang bersumber dari para saksi mata dalam kejadian-kejadian tersebut atau dari sumber terdekat. Agar kumpulan tersebut rnenjadi standar bagi kita semua unfuk menerima riwayat-riwayat yang lain atau bahkan menolaknya.
Riwayat-Riwayat Terdahulu dan Utuh dari Peristiwa Fitnah Serta Kritiknya
Terdapat beberapa berita yang terpotong-potong tentang peristiwa fitnah yang riwayatnya dapat dipercaya dan diriwayatkan langsung oleh para saksi mata. Dan peristiwa itu tidak ditampilkan secara kronologis sejarah, tapi memberikan potongan kecil dari peristiwa tanpa harus bersambung dengan kejadian-kejadian lain. Pemberitaan yang sebagian-sebagian ini amatlah terbuka untuk bisa diletakan dalam timbangan dan disandingkan dengan berita-berita lain yang serupa, atau untuk dibenarkan dengannya, tapi tidak serta merta menjadi standar umum.
Tapi beruntunglah bahwa riwayat lama dari peristiwa fitnah ini yang tidak terputus-putus, dengan penuturan sejarah yang hampir lengkap, dan meliput banyak dari kondisi sekitar kejadian. Dan riwayat ini bebas untuk dijadikan standar yang mendalam, dan kita akan menampilkan riwayat-riwayat itu dengan gaya penuturan sejarah, dan siapa saja saksi mata yang diambil didalamnya.
Berikut ini akan disajikan beberapa sumber yang ada yaitu tujuh riwayat, dimana akan mengisahkan kisah fitnah dengan sajian sejarah yang runut, dan setiap riwayat dinisbahkan kepada periwayat pertama yang menyaksikan kejadian atau bersambung langsung dengan orang yang menyaksikannya kemudian dituturkan seperti yang ia ketahui atau yang ia gambarkan. Ketujuh riwayat lama tersebut ternisbat pada periwayat berikut:
- Yazid bin Abi Habib (tahun 53-L28 H) yaitu Mufti Mesir pada
- Muhammad bin Syihab Az-Zuhri{58-124 H)Ahli hadits dari negeri Syam.
- Abu Khunais Sahm Al-Azdi yang hadir dalam peristiwa dan hidup sampai masa Umarbin AbdulAziz.
- Said bin Al-Musayyib (13-94 H) salah satu dari tujuh fuqaha terkemuka di Madinah.
- Al-Ahnaf bin Qais (7zH\yaitu pembesar bani Tamim yang terkenal kesantunan dan Ia hidup sezaman dengan tragedi fitnah atau tidak jauh darinya.
- Abu Said Maula Abu Usaid Al-Anshari, ikut menyaksikan hagedi fitnah dan mengetahui keadaannya.
- Zubair bin Awwaam, salah seorang sahabat
Betapa amatpentingnya ketujuh riwayat tadi benar-benar ternisbahkan kepada periwayatnya, sebab ia bagaikan harta temuan yang menyingkap rahasia kejadian fitnah. Namun riwayat-riwayat tersebut sayang bukan pada satu tingkatan yang sama dalam keshahihan. Seperti riwayat yang dinisbatkan kepada Said bin Al-Musayyib harus dijauhkan, karena setelah ditelusuri tampak lemah dan munkar. Imam Al-Hakim An-Naisaburi menyatakan salah satu perawi dalam sanadnya telah digugurkan dari sanad karena orang yang lemah dan riwayatnya dipungkiri.Kenyataannya bahwa riwayat ini tidak memberikan kehormatan yang disandang Said bin Al-Musayyib sebagai shahabat dalam perkataannya yang lain yang benar. Adapun riwayat Az-Zuhri, para ahli hadits menganggap isnadnya lemah, namun kelemahan tersebut tampak lebih jelas dari sisi kritikan internal. Seperti bahwa riwayat ini meletakkan Thalhah bin Ubaidillah sebagai turut serta bersama para penentang Utsman. Yaitu posisi yang yang bertolak belakang sama sekali dengan perginya Thalhah kepada Ali bin Abu Thalib untuk meminta balas dendam akan kematian Utsman. Maka tidak masuk akal bahwa ia termasuk para penentangnya, lalu kemudian menuntut pembalasan atas tertumpahnya darah Utsman. Ia bahkan keluar memerangi mereka bersama Aisyah, dan membunuh jumlah yang cukup besar dari mereka, seperti yang akan kita lihat.
Sedang riwayat Yazid bin Abi Habib juga tergolong lemah dari sisi sanad, dan didalamnya didapati berita-berita yang aneh yang tidak ada dalam riwayat-riwayat lainnya.
Apapun penilaian terhadap riwayatAz-Zuhri dan Yazid bin Abu Habib, namun yang pasti keduanya tidak sempat menyaksikan kejadian tersebut, maka sudah barang tentu kita harus mengedepankan riwayat-riwayat dari para saksi mata bagedi tersebut atas riwayat keduanya, jika penisbatannya riwayat kepada mereka memang shahih. Untuk riwayat Az-Zubair terbilang riwayat yang teringkari karena diriwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal.
Untungnya bahwa tiga riwayat lainnya datang dari orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut, dan teriwayatkan dengan sanad yang baik, tidak mengalami laitikan atau sanggahan jika dibandingkan sedikitnya riwayat-riwayat sejarah yang sanadnya bersih dari anggapan ragu atau lemah.
Mengagumkannya lagi bahwa ketiga riwayat ini mengarah pada satu haluan dalam mengisahkan peristiwa inidan saling mendukung satu sama lainnya seperti yang akan terlihat nanti. Berikut akan ditampilkan satu persatu dari riwayat-riwayat tersebut.
Pemaparan Riwayat Abu Said
Riwayat shahih yang pertama dan terpenting adalah riwayatAbu Said Maula Abu Usaid As-Sa’idy Al-Anshari.Abu Said ini telah menyaksikan sendiri peristiwa itu, dan seperti dinukil dari Abu Nadhrah, ia juga mengetahui para tokoh didalamnya dan sempat berkumpul dengan mereka seperti Thalhah dan Ali bin Abu Thalib. Bahkan Abu Nadhrah yang menukil dari Abu Said ini hidup berdekatan dengan masa peristiwa Jamal (perang Unta), atau mungkin ikut serta didalamnya. Dan peristiwa ini terjadi setahun setelah terbunuhnya Utsman.
Dari sini komentar apa yang bisa dilontarkan terhadap sebuah riwayat dengan sanad yang baik yang dinukildari orang yang sezaman dengan peristiwa dan berdekatan darinya, bahkan mungkin ikut serta didalamnya, kemudian penukilannya melalui orang yang menyaksikannya atau melihat sendiri bagian dari peristiwa tersebut; bukankah layak untuk bisa dijadikan asas sandaran? Tentu saja jawabannya: Iya. Apalagi jika ditambah kepercayaan akan riwayat ini dengan ukuran lain, seperti kecocokannya dengan potongan-potongan berita tentang kejadian yang terlihat tampak pada kitab-kitab hadits shahih, dan juga sejalan dengan alur dua riwayat lainnya yang menggunakan saksi-saksi langsung pada kejadian, yang kemudian menghapus keraguan terhadap riwayatAbu Said ini.
Berikut, teks dari riwayat tersebut yang dimulai dengan pemberitaan utusan Mesir yang datang ke Madinah dengan membawa protes ketidakpuasan terhadap tindakan Utsman di tahun-tahun kekhilafahannya yang terakhir:
Bagian pertama: Pertemuan antara Utsman dan ufusan dari Mesir yang memprotesnya.
“Tatkala Utsman mendengar bahwa utusan penduduk Mesir telah menuju kepadanya, maka ia ingin menyambutnya di sebuah kampung yang terletak di luar kota Madinah. Ketika mereka mendengar rencana tersebut, maka utusan itu bertemu ke tempat yang Utsman sudah ada di situ, karena ia tidak senang mereka menemuinya di kota Madinah. Maka datanglah mereka dan berkata kepadanya: ‘Ambilkan sebuah mushaf Al-Quran”, maka Utsman pun mengambilnya, kemudian mereka berkata: “Buka Surat ketujuh!” Dan mereka menyebut surat Yunus dengan surat ketujuh. Maka dibacakan surat itu oleh Utsman sampai pada ayat berikut:
“Katakanlah apakah kamu sekalian melihat apa yangtelah Allah turunkan bagimu sekalion dari rezeki, kemudian jadikan hol itu horam dan holol. Katakan hanya Alloh-lah yang menglzinkan itu semua atau kepada Allah kamu sekalian akan berbuat berdusta.” Maka mereka berkata: “Berhenti! Bukankah engkau melarang para penggembala mengembalakan hewan dimana untamu ada didalamnya?? Apakah Allah yang mengizinkanmu atau kepadaAllah kamu berdusta?” Maka Utsman berkata: “Saya akan melaksana-kannya, ayat ini diturunkan dalam hal ini dan ini. Sedang tentang wilayah terlarang yang kalian maksud itu sebenamya Umar telah menetapkannya sebelumku untuk setiap unta sedekahan. Adapun ketika aku memerintah bertambahlah jumlah unta sedekahan, maka aku tambahkan tempatnya sesuai pertambahan unta sedekahan tadi. Dan saya akan tetap melakanakannya.
Namun mereka tetap mendesak Utsman dengan ayat ifu, namun Utsman tetap mengatakan: “Saya akan tetap melaksanakannya, ayat itu turun dalam perkara ini dan ini.” Fada waktu itu yang berbicara dengan Utsman adalah pemuda berumur tigapuluh tahunan. Kemudian mereka mengkritiknya dengan hal-hal yang ia tidak punya jalan keluar darinya. Dan Utsman pun mengakuinya, ia kemudian berguman: “Saya memohon ampun dan bertaubat pada Allah.” Lalu ia katakan kepada mereka: ‘Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab: “Kami akan meminta perjanjian darimu.” Kemudian mereka tuliskan persyaratan yang harus dipenuhi Utsman, sementara Utsman mengambiljanji mereka untuk tidak melakukan pemberontakan, juga tidak memisahkan diri dari jamaah (kaum muslimin) apabila Utsman telah menjalankan syarat mereka, atau sesuai dengan yang mereka sepakati. Dan Utsman berkata kepada mereka: ‘Apa yang kalian inginkan?” Mereka berkata: “Kami ingin penduduk Madinah tidak mengambil pemberian tersebut.” Utsman menjawab: “Tidak! Sesungguhnya harta ini diperuntuk kan bagi orang yang berperang dan orang terdahulu dari para sahabat Rasulullah.” Mereka pun ridha akan keputusan itu dan mereka pun masuk ke kota Madinah dengan hati yang lapang.
Kemudian Utsman berdiri untuk berkhutbah seraya berkata: “Sungguh demi Allah tidak pernah saya melihat utusan di muka bumi ini yang lebih tahu tentangku daripada utusan yang datang kepadaku ini.” Dan sekali lagi ia mengatakan: “Aku khawatir akan utusan dari penduduk Mesir ini, maka barangsiapa memiliki tanaman maka segeralah ia menyusulnya, dan barang siapa memiliki hewan perahan maka segeralah ia memerahh susunya. Ingatlah! Tidak ada haria kalian pada kami, karena harta ini diperuntukkan bagi yang berperang atau para pendahulu dari sahabat Rasulullah.” Maka marahlah semua orang, dan mereka berkata: “lni adalah makar orang-orang BaniUmayyah.”
Ini adalah bagian pertama dari teks riwayat. Didalamnya tampak bahwa Utsman dan orang-orang yang datang dari Mesir mengambilhukum antara mereka dengan Al-Qur’an. Hal ini persis seperti apa yang ada di potongan teks lain dengan sanad shahih dari Muhammad bin Sirin, seorang alim yang masyhur, dimana dikatakannya: “Maka tatkala ditawarkan kepada mereka Al-Qur’an maka mereka menerimanya.” Dan tampak di dalamnya juga beberapa syarat dan bukan seluruhnya. Adapun sisa dari syarat tersebut dan pembatasannya dalam komentar Ibnu Sirin sebagai berikut: “Dan mereka mensyaratkan bahwa sesuafu yang ternafikan akan dibalikkan, dan yang tadinya dilarang akan diberikan, dan akan dipenuhi/oi’, dan akan dalam pembagian nya, dan akan diangkat orang yang memiliki kekuatan dan amanah.”
Dan perlu kita tunjukkan di sini bahwabagian pertamadari teks ini menunjukkan bahwa Utsman tidak bisa melepaskan diri dari segala perbuatan-perbuatannya kepada utusan Mesir tersebut, dan sebenarnya masalah mendasar adalah masalah pembagian harta hasil/utuhaot (pembukaan wilayah baru); yaitu masalah amat penting seperti yang akan lihat.
Bagian kedua: Ditemukannya surat bercap tandatangan Utsman berisi perintah untuk membunuh beberapa orang dalam utusan Mesir
“Kemudian para utusan Mesir itu kembali dengan segala kerelaan. Namun di tengah jalan mereka mendapatkan seorang pengendara menghalangi mereka kemudian memisahkan diri, kemudian datang kembali kepada mereka, kemudian memisahkan diri dan kadang mendahului mereka. lalu mereka menghardik pengendara tadi: ‘Ada apa, jika ada urusan apa maumu?” Dia menjawab: “Saya adalah utusan Amirul Mukminin kepada gubernurnya di Mesir.” Mereka pun menggeledahnya, ternyata mereka menemukan sebuah surat yang didiktekan oleh Utsman unfuk gubernumya, dan di sifu ada stempelnya: agar ia menyalib mereka (para utusan) atau membunuhnya, atau memotong tangan dan kaki mereka karena pembangkangan mereka.” Maka para utusan itu berputar kembali, sesampainya mereka di kota Madinah mereka mendatangi Ali seraya berkata: ‘Apakah dirimu tidak melihat jelas musuh Allah? Sungguh Utsman telah menulis tentang kami begini dan begitu…Maka sesungguhnya Allah telah menghalalkan darahnya. Untuk itu berdirilah, wahai Ali, untuk menemuinya bersama kami!” Ali Rodhiyallahu Anhu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan pergi bersama kalian”. Maka mereka berkata: ‘lladi kenapa engkau, ya Ali, menulis (sebuah surat) kepada kami?” Ali menjawab: “Demi Allah, saya tidak pernah menulis surat apapun kepada kalian.” Kemudian para utusan itu saling memandang satu sama lainnya, lantas sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Hanya karena inikah kalian akan berperang atau hanya gara gara inikah kalian marah?” Kemudian Ali bergegas bangkit dan keluar dari kota Madinah menuju sebuah kampung, sedang mereka bergerak pergi menemui Utsman, kemudian berucap: “Engkau telah menulis tentang kami begini, dan begitu. . . ” Lantas dijawab oleh Utsman: “sungguh hanya ada dua pilihan: kalian datangkan dua orang saki dari kaum muslimin, atau kalian ambil sumpah dariku dengan nama Allah Yang tidak ada Tuhan melainkan Dzat-Nya, bahwa saya tidak pernah menulis (surat), atau memberi catatan, atau mengetahui hal tuduhan itu. Dan kalian tahu bahwa sebuah surat bisa ditulis atas dasar omongan orang, dan stempel bisa diukir (ditiru) dengan stempellain!” Mereka berkata: “Demi Allah, telah Allah halalkan darahmu, telah berakhirlah perjanjian dan kesepakatan kita!” Kemudian mereka mengepung Utsman.
Pada bagian kedua ini terlihat amat penting, dimana terbongkar beberapa fakta-fakta yang selama ini nampak kabur dan buram. Yang pertama adalah kisah si-pengendara. Pada kisah tadi terdapat keanehan dan keganjilan. Semestinya pengendara tadi bukan sembarang utusan yang dikirim untuk misi rahasia, sehingga ia diminta untuk menghindari siapa pun di tengah perjalanannya, juga menyampaikan tujuannya tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya, sebagaimana perihal para utusan yang membawa sebuah perintah penting maka ia pun semestinya tidak mengetahuinya. Namun si pengendara dalam kisah tadi bermaksud agar misinya bisa diketahui, maka tampak ia menghalangi para utusan Mesir itu, kemudian menjauh, lantas kembali lagi, terus berpisah jauh dan kadang mendahului mereka. Siapakah orang yang melakukan halseperti ini? Bukankah orang yang ingin mencari perhatian dan menimbulkan tanda tan1n, dan jika mendapat perhatian maka ia akan ditanya apa sebenarnya yang ada padanya. Seakan-akan ia ingin mengatakan: “Lihatlah kepada diriku, ketahuilah aku, tanyalah diriku tentang apa yang ada padaku!” Dan memang terjadi demikian, sipengendara itu ditangkap dan ditanya. Dan akan terlihat pada teks riwayat lain, bagaimana bahwa perkara utusan ini bukan seperti biasanya, melainkan direncanakan oleh sebagian dari utusan-utusan Mesir itu sendiri.
Fakta kedua yang tersingkap dari bagian kedua ini adalah tentang Ali bin Abu Thalib. Dan para utusan Mesir itu telah menunjukan kepadanya surat yang mengajaknya unfuk pergi ke Madinah mendatangi Utsman, padahal surat tersebut tidaklah benar adanya. Sehingga Ali mengatakan: “DemiAllah saya tidak pernah sama sekali menulis surat kepada kalian.” Maka di sana terdapat pemalsuan mengatasnamakan lisannya, dan surat yang tertulis atas namanya untuk menggugah dan menggerakkan orang.
Dan suratyangtertulis atas nama Ali tersebutbukanlah satu-satunya, pada teks riwayat lainnya yang disandarkan kepada Ibnu Katsir: “Masruq berkata kepada Aisyah Radhiyallahu Anhu: “Perbuatan ini (pembunuhan Utsman) adalah perbuatanmu. Kamu telah menulis surat kepada orang banyak dan menyuruh mereka untuk memberontak kepada Utsman.” Maka dijawab oleh Aisyah: “Tidak, Demi Dzat yang diimani kaum mukmin dan dikafiri kaum kafir, saya tidak pernah menulis kepada orang-orang itu noda hitam di atas kertas putih sampai saya duduk pada majlisku ini.” Dan dikomentari oleh Al-Amasy:.”Mereka menganggap bahwa surat itu ditulis dengan mengatasnamakan lisannya (Aisyah).”
Fakta ketiga yang tampak pada bagian kedua dari teks riwayat ini adalah bahwa Utsman setelah menafikan dirinya menulis surat tersebut, ia mengalihkan perhatian bahwa stempel yang tertera bukanlah stempelnya, melainkan stempel buatan yang terukir persis seperti stempelnya. Dan ini adalah bentuk dari pemalsuan yang mungkin terjadi. Dan dari perkataan ini menguatkan siapa pihak yang terkirim surat tersebut. Maka di sini pengirimnya bukan sosokyang ingin menjebloskan para utusan tadi di tangan gubernur Utsman di Mesir. Atau dengan kata lain, pengirimnya bukanlah Marwan yang membawa stempel Khalifah dan menuliskan namanya, seperti yang diisyaratkan beberapa riwayat tertulis versi Al-Waqidy dan lainnya dari para sejarawan yang tergolong lemah untuk peristiwa ini. Maka Utsman menafikan bahwa surat tersebut terstempel dengan stempelnya sendiri.
Tiga fakta ini telah menjelaskan kepada kita bahwa di balik kejadian ini terdapat konspirasi dan rekayasa yang terencana, dan para pelakunya bukanlah-seperti yang diklaim oleh beberapa teks-teks palsu- para shahabat yang berada di Madinah, seperti Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Melainkan mereka adalah pemeran-pemeran palsu yang tidak menampakkan diri, dan nantinya segala upaya mereka akan jelas kemudian.
Bagian ketiga: Penolakan utusan Mesir pemberian air dari Utsman dan diskusinya dengan mereka.
Suafu hari Utsman sedang melakukan pengawasan dan ia mengucapkan : “Assalamu’ alaikum. ” Kebetulan tidak seorang pun yang mendengar apalagi menjawabnya, kecuali Utsman menjawabnya sendiri. Kemudian ia berkata: “Demi Allah, apakah kalian tahu bahwa saya telah membeli sumur tempat minum dengan hartaku agar dengannya bisa terlepas dahaga, kemudian aku buat talitali milikku yang ada pada sumur tersebut seperti juga tali orang muslimin?” Mereka menjawab: “Benar.” Utsman berkata: “Maka atas dasar apa kalian melarang saya untuk meminum darinya sampai saya sarapan dengan air laut.” Lantas disambung: “Demi Allah, apakah kalian tahu bahwa saya pernah membeli ini dan itu dari sebidang tanah kemudian saya menambahnya dalam masjid?” Mereka menjawab: “lya.” I alu ia berkata: ‘Apakah kalian tahu bahwa ada seseorang telah dilarang untuk shalat sebelum saya (juga) dilarang?” Utsman menambahkan: “Demi Allah, apakah kalian mendengarbahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan ini dan itu -segala sesuatu tentang urusannya- dan Allah sebutkan hal tersebut dalam Kitab-Nya (Al-Quran) yang sempurna…?” Maka tersebarlah berita larangan tersebut, sehingga membuat orang banyak mengatakan : “Pelan-pelanlah, wahai Amirul Mukminin. ” Dan tersebarlah berita larangan itu, dan saat itu juga berdirilah Asytar atau di hari yang lain, llalu berkata: “Mungkin telah terjadi pemakaran terhadap dirinya dan diri kalian.” Maka banyak orang yang mengiyakan dan seide sampai bertemu ini dan itu. Kemudian Abu Said Maula Abu Usaid yang menceritakan kisah inimengatakan: “Saya telah melihat Utsman mendatangi para utusan itu pada suatu kali, kemudian ia menasehati mereka dan mengingatkannya. Namun mereka tidak mengindahkan nasehatnya. Sedang kebanyakan orang umumnya memper hatikan nasehatnya pada awal hal itu didengarnya, namun mereka meski nasihat itu diulang, mereka tidak mempeduli kannya.”
Bagian ketiga dari teks riwayat ini di dalamnya mengisyaratkan juga adanya rekayasa yang diarahkan kepada Utsman, yaitu tatkala dikatakan oleh Malik Asytar dimana ia telah memainkan peranan besar setelah itu: “Nampaknya telah terjadi makar terhadap Utsman dan diri kalian.” Adapun yang ada dibagian ini dari persaksian Utsman terhadap beberapa pekerjaan yang dilakukannya pada masa Rasulullah, maka bisa dilihat pada kitab-kitab Ash-Shihoh menunjukkan persaksian tersebut dengan teks-teks yang terputus-putus yang terdapat pada sanad-sanad lainnya. Dan diantaranya ada yang bunyinya mirip seperti teks tersebut dan ini menunjukkan akan keshahihannya.
Bagian keempat: Mimpi Utsman melihat Rasulullah Shallallohu Alaihi wo Sallam di saat tidurnya dan masa penantian kematiannya
“Kemudian ia membuka pintu dan meletakkan Al-Quran diantara kedua tangannya, dan pada saat itu ia melihat di tengah malam bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sollam bertutur: “Bersantaplah bersoma kami malam ini.” Pada bagian ini oleh Abu Said peristiwa ini dikisahkan dengan singkat, namun hal itu tidak melebihi apa yang dilihat Utsman sesungguhnya di dalam tidumya,-beberapa riwayat lain yang banyak menyebutkan dengan jalan bermacam-macam, dan disebut oleh Ibnu fuakir versi lainnya melalui beberapa sanad. Dan sebagian menyebutnya tanpa sanad Imam Ath:Thabari. Dan keyakinan Utsman akan apa yang ia lihat dalam mimpinya serta penyerahannya kepadanya, memberi tafsiran bahwa beliau memang memerintahkan agar para shahabat dan para pembelanya untuk segera pulang ke rumah-rumah mereka; seperti terlihat pada banyak teks dari jalur yang berrnacarn-macam yang disebutkan oleh Ibnu Asakir.
Bagian kelima: Bagaimana Utsman dibunuh dan siapa yang membunuhnya?
“Lalu masuklah kepada Utsman seseorang laki-laki, seraya ia berkata: ‘Antara diriku dan dirimu Kitabullah”, kemudian laki laki itu keluar dan meninggalkannya. Lantas masuk kepadanya laki-laki lainnya sambilberkata: ‘Antara diriku dan dirimu Kitabulllah”, sedangkan sebuah mushaf AI-Quran ada ditangannya. Maka diayunkan kepadanya sebilah pedang, kemudian ditepislah dengan tangannya sampai terpotong, -tidak tahu persis apakah hanya menciderainya atau sampai memotongnya, tidak ada keterangannya-. Maka ia (Utsman) berkata: “Demi Allah pada tapak tangan inilah pertama Al-Quran aku tulis.” Dan putri Farafashah mengambiltubuh suaminya dan diletakkan di kamarnya, dan itu sebelum ia terbunuh, maka ketika terasa dan terbunuh maka ia keringkan darah darinya. Maka sebagian mereka mengatakan: “Semoga Allah membunuh istrinya, lihatlah betapa tuanya ia.” Maka segera ia mengetahui bahwa musuh-musuh Allah tidak menginginkan apapun kecuali dunia.”
Sampai bagian ini maka tuntaslah apa yang disebutkan oleh Abu Said dalam riwayat pembunuhan Utsman.
Pemaparan Riwayat Sahm Al-Azdi
Dan lekarang akan ditampilkan riwayat Sahm yang dijuluki dengan Abu Khunais, yaitu seorang laki-laki berasal dari kabilah Azad, ikut menyaksikan pembunuhan Utsman, dan ia satu-satunya yang dijumpai Umar bin Abdul Aziz diantara orang orang yang melihat terbunuhnya Utsman. Kemudian ia ditemui oleh Tsaur bin Yazid Ar-Rahbi Al-Kalaa’i Al-Abid, seorang ahli hadits (-153H), yang memintanya mengulang kembali hadits yang disampaikannya kepada Umar bin Abdul Aziz, maka Sahm pun meriwayatkannya untuknya.
Tsaur bin Yazid Ar-Rahbi berkata: “Sahm telah mengabarkan kepadaku bahwa dirinya bersama Utsman bin Affan pada hari dimana ia dikepung di dalam rumahnya, maka ia menganggap bahwa penunggang kuda itu berasal dari penduduk Mesir yang pernah datang kepadanya sebelum itu, ketika itu mereka oleh Utsman telah diperkenankan dan telah diridhai, lantas kemudian mereka pergl.”
Ungkapan singkat ini sejalan dengan apa yang telah disebutkan Abu Said pada bagian kedua dari riwayatnya, dimana ia berkata: “Kemudian para utusan Mesir itu pulang dengan penuh kerelaan”, dan seakan mewakili mereka Said berkata: “Sampai ketika mereka berada di pertengahan jalan, mereka berpencarseakan mereka ingin pulang, dan keluarlah Utsman bin Affan kemudian menunaikan shalat dhuha atau shalat zhuhur, maka penghuni masjid menghujaninya dan melempamya dengan bafu kecil, sandal, dan sepatu.”
Dan berikut iniadalah tafsiran dan rincian perkataan Abu Said: “Maka marahlah orang-orang sambil berkata bahwa ini adalah rekayasa Bani Umayyah, selanjutnya Tsaur berkata seperti dinukildari Sahm: “Maka beranjaklah Utsman menuju mmahnya dan bersamanya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Marwan bin Hakam, dan Mughirah bin Akhnas, serta banyak lagi orang lain yang tidak bisa saya hafal untuk disebutkan kecuali nama-nama tadi. Kemudian mereka mengawasi dari belakang rumah, pada saat yang sama tiba-tiba rombongan brang-orang celaka’ itu telah memasuki kota Madinah dan disambut oleh orang banyak sampai mereka menempati pintu rumah Utsman, dan di tangan mereka senjata pedang. Maka Utsman berkata kepada seorang anak muda dari pihaknyayang bernamaWibab: ‘Ambillah beberapa kilo kurma ini…,kemudian beranjaklah dengan membawa kurma ini menuju rombongan kaum tadi, dengan jika mereka mau menyantap makanan kita biarkan saja, dan jika engkau was-was terhadap mereka, tinggalkan mereka dan segera kembali.” Segera anak muda tadi beranjak dengan kiloan kurma tadi, dan ketika mereka melihatnya maka mereka menghujaninya dengan anak panah. Anak muda tadi langsung saja lari berbalik, sedang dipundaknya tertancap anak panah. Maka keluarlah Utsman ke arah mereka bersama beberapa orang, kemudian mereka pun berlari mundur hingga akhirnya melihat seorang laki-laki berjalan dengan mundur ke belakang, Aku bertanya: “Mengapa engkau lari sambil mundur ke belakang?” Ia justru membalikkan badannya karena takut ditangkap. Maka kami mengambilnya dan membawanya menemui Utsman bin Affan. Ia lalu berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kami demi Allah tidak ingin membunuhmu, tetapi ingin memberi peringatan kepadamu, maka peringatilah kaummu dan ambillah kerelaannya.” Utsman menjawab: “Wahai Abu Hurairah, semoga mereka betul-betul menginginkan hal itu, maka lepaskanlah mereka!” Maka kami pun melepaskan mereka.”
Kisah ini bukan dalam riwayatAbu Said, namun isinya tidak bertolak belakang, bahkan ia merupakan rincian terhadap peristiwa yang khusus. Dipahami darinya bahwa sebagian dari penduduk Mesir datang dan mengawasi Utsman di rumahnya. Kemudian Sahm menuturkan: “Dan keluarlah Aisyah Ummul Mukminin seraya bbrkata: “lngatlah Allah! Ingatlah Allah, wahai Utsman dalam urusan darah kaum mukminin!” Maka ia pun segera kembali ke dalam rumah.
Dan kisah di atas adalah kejadian lain yang tidak termasuk dalam riwayat Abu Said, tapi isinya tidak jauh berbeda. Sepertinya Aisyah mengkhawatirkan terjadinya bentokan keras diantara dua pihak setelah keluarnya Utsman dan para sahabatnya menuju gerombolan pengepung rumahnya yang tampak ingin memberi pelajaran kepadanya, maka segera Aisyah mengeluarkan tegurannya tadi. Adapun apa yang diriwayatkan Sahm setelah kejadian ini, maka didalamnya terdapat keterputusan dan kealpaan tentang kejadian “Al-Kitaab”, seakan-akan ia memang tidak ingin membahasnya, atau mungkin ia tidak menghadirinya. Dan yang ia munculkan dalam riwayat berikut adalah Utsman meminta pendapat dari para sahabatnya tentang apa yang ia akan perbuat.
Sahm menuturkan: “Dan ketika Utsman selesai shalat shubuh bersama kami, lantas ia berkata: ‘Berikanlah pendapat kalian untukku,’ maka tidak ada yang berbicara kecuali Abdullah bin Zubair: “Wahai AmirulMukminin, akan saya tunjukkan kepadamu tiga hal, pilihlah salah satunya yang engkau sukai: (1) kita keluar berihram untuk umrah sehingga diharamkan kepada mereka darah kita semua. Dan kita dalam keadaan demikian hingga bantuan pasukan datang dari arah Syam -dan Utsman sebelumnya pernah menulis surat kepada penduduk Syam, khususnya penduduk Damaskus: ‘Sungguh saya ini berada di tengoh satu kaum dimana usioku telah diponjangkan nomun mereka ingin mempercepat takdir (membunuhku-Edt), dan mereka memberi pilihan kepada saya antara mereka membawa soya di atas unta yang tua menuju gunung Ad-Dukhan, atau saya melepaskan untuk mereka selendang yang Allah kenakan untukku, atau saya membiarkan mereka untuk menuntus qishohsh dariku. Dan barangsiapa berada pada kekuasaan bisa saja berbuat salah ataupun benar.”- ,(2)atau kita melarikan diri dengan cepat sampai seorang pun tidak ada yang tahu hingga kita meraih tujuan kita dari negeri Syam, atau (3) kita bersama orang orang yang mendukung kita keluar dengan pedang, hingga kita berperang dalam kebenaran, sedang mereka dalam kebatilan.”
Utsman berkata:”Adapun usulmu agar kita keluar untuk umrah sehingga diharamkan darah kita, maka demi Allah seandainya mereka tidak akan melihatnya hari ini karena bagi mereka haram, tapi mereka tidak mengharamkannya jika kita telahtahalluldari umrah. Sedang idemu untukkeluarlari ke negeri Syam, maka demi Allah sesungguhnya saya amat malu untuk datangke Syam karena lari dari kaumku dan penduduk negeriku. Adapun gagasanmu agar keluar dengan pedang yang kita miliki dan beserta siapa saja yang mengikuti kita untuk melakukan pertempuran karena kiia yang benar dan mereka yang batil, demi Allah, sungguh saya masih amat mengharap akan bertemu Allah dan saya tidak pernah menumpahkan setetes pun dari darah kaum mukminin.”
Pemberitaan ini bukan termasukriwayatAbu Sa’id namun tidak bertentangan, dan tampak lebih rinci darinya. Kemudian oleh Sahm ditambahkan sebagai berikut “Setelah beberapa hari kami tinggal diam maka kita menunaikan shalat subuh. Selepas shalat, Utsman memberi’ceramah di depan kita dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian berkata: “Suatu malam (dalam mimpi) Abu Bakar dan Umar pernah mendatangiku, keduanya mengatakan kepadaku: “Berpuasalah, wahai Utsman, karena engkau akan berbuka di kediaman kami.’ Untuk itu, sebenamya aku bersaksi kepada kalian bahwasannya diriku telah berpuasa dan telah berazam terhadap siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir kecuali ia keluar dari rumah ini dalam keadaan selamat dan muslim.” Perkataan ini mirip seperti yang disajikan oleh Abu Sa’id, hanya saja dalam mimpi di sini bersama Abu Bakar dan Umar tanpa Rasulullah Shollo llahu Alaihi wa Sallam. Selanjutnya Sahm berkata:
“Maka kami berkata: “Wahai Amirul Mukminin, jika kita keluar, kita tidak bisa merasa aman dari mereka atas terhadap diri kita, maka izinkan kami ada dalam satu rumah yang didalamnya ada perlindungan dan penjagaan.” Maka Utsman pun mengizinkan mereka memasuki rumah, dan Utsman memerintahkan agar pintunya dibuka. Ia pun meminta mushaf Al-Qur’an lalu mulai membacanya tanpa sibuk dengan yang lainnya. Saat ifu Utsman mempunyai dua istri yaitu puhi Farafashah Al-Kalbiyah dan pubi dariSyiibah.”
Penjelasan ini memberi penjelasan apa yang ada dalam riwayatAbu Sa’id, dan tidak ada pertentangan antar keduanya.
Lalu Sahm melanjutkan: “Dan yang pertama kali masuk ke dalamnya adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian ia berjalan ke arah Utsman sampai ia memegang jenggotnya, maka Utsman berkata: “Lepaskan wahai anak saudaraku, demi Allah, ayahmu saja sungguh amat segan unfuk memegang jenggot yang kurang dari (yang kau pegang) ini.” Maka ia pun malu kemudian pergi keluar seraya berkata: “Aku sudah mengenainya (maksudnya telah mengenai jenggotnya – Edt).” dan Utsman mengambil apa yang rontok dari dagunya lalu diberikan kepada salah satu ishinya. Lantas masuklah Rumman bin Wardan -termasuk dari kabilah Murad-. Ia adalah seorang laki-laki yang pendek, bermata biru, dan ada bercak bekas cacar, berasal dari keluarga Dzu Ashbah, di tangannya ada sebuah tombak terbuat dari besi. Maka Utsman menyambutnya, selanjutnya Rumman bertanya: “Pada agama apa kamu, wahai orang tua brengsek?” Utsman menjawab: ‘Aku bukanlah tua bangka brengsek, tapi aku adalah Utsman bin Affan, dan aku berada di atas agama Nabi Ibrahim yang hanif lagi berserah, dan saya tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” Segera dijawabnya: “Kamu telah berdusta!” Segera lakiJaki itu memukul Utsman dengan tongkat besar tersebut pada bagian kiri pelipisnya, kemudian dibunuhnya. Dan oleh istinya -yaitu puti Farafashah Utsman didekap diantara pakaiannya. ”
Sedangkan apa yang terjadi selanjutnya, maka tidaklah perlu dikisahkan di sini. Namun sebenarnya setelah pembunuhan Utsman terjadi bentrokan keras antara para penentang dan sahabat-sahabat Utsman di dalam rumahnya. Dan rincian dari baris cerita tentang hal ini pada satu saat tampak lebih luas dari riwayat Abu Said dan pada kondisi lain lebih pendek, dan keduanya saling melengkapi yang lain.
Dan saya menilai bahwa cerita Sahm tentang peristiwa ini tidaklah bertolak belakang dan berbeda dengan kisah Abu Sa’id dan tidak berbeda, terkecuali dalam rinciannya atau hal-hal yang tidak dijelaskan oleh pihak yang lain, maka keduanya saling melengkapi satu sama lainnya; suatu hal merupakan ciri khas riwayat-riwayat sejarah yang shahih dan benar.
Pemaparan Riwayat Ahnaf bin Qais
Sedangkan riwayat Ahnaf bin Qais, terlihat harmonis dengan dua riwayatsebelumnya dan saling melengkapidi bagian mana keduanya terputus. Dan Ahnaf bin Qais termasuk tokoh ahli hikmah di kalangan Arab, yang dikenal dengan kepemurahannya, sehingga ia sering dijadikan tamsildalam hal itu. Juga ia tergolong orang yang bisa dipercaya, sekitar tahun 70 H ia wafat, dan sempat hidup di masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan riwayatnya termasuk sanad yang shahih.u Darinya An-Nasa’i pernah mengutip safu bagian darinya, lalu diriwayatkan secara panjang dan singkat.zl Berikut teks riwayatnya secara lengkap:
Al-Ahnaf berkata: “Suatu kali kami bertolak dari kota Madinah untuk menunaikan ibadah haji, maka dari rumah masing-masing kami semua mempersiapkan perjalanan itu, sampai datanglah seseorang berkata: “Mereka telah membuat kepanikan dan berkumpuldi masjid, maka kami segera beranjak pergi dan melihat banyak manusia sudah mengerumuni seseorang di tengah masjid. Ternyata di situ sudah ada Ali, Zubair, Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqqash dan juga kami, serta merta datanglah Utsman bin Affan dan terucap: “Nah, ini Utsman telah datang”, maka tampak kuning kepucatan penuh menghiasi raut mukanya, seraya ia berucap: ‘Apakah Ali ada di sini?” Mereka menjawab: “lya.l’ Lagi ia bertanya: jApakah Zubair ada di sini?” Mereka menjawab: “lya.” Ia bertanya lagi: ‘Apakah Thalhah ada di sini?” Dijawabnya: “lya.” Utsman berkata: ‘Aku bertanya kepada kalian, Demi Allah, yang tiada Tuhan kecuali Dia, apakah kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pemah bersabda: ‘Barangsiapa membeli tempat pengering kurma dari bani fulan semoga Allah memberi ampunan baginyo’ , maka saya pun membelinya sebesar duapuluh atau duapuluh lima ribu, kemudian aku mendatangi Rasulullah seraya berucap: ‘WahaiRasulullah, saya telah membelinya.’ Kemudian Rasulullah menjawab: Jadikan barang itu untuk masjid kita ini, dan pahalanya untukmu.’?”
Kemudian serentak khalayak yang hadir bersuara: “lya, benar.” Selanjutnya Utsman menyebutkan beberapa hal lain semacam ini.
Bisa dinilai bahwa pada umumnya untaian kisah di atas sesuai dengan riwayat Abu Said.
Al-Ahnaf berkata lagi: “Maka aku menjumpai Thalhah dan Zubeir sambil bertanya: ‘Kepada siapa kalian berdua perintahkan aku pergi kepadanya dan kalian rela akannya? Sebab aku tidak melihat laki-laki ini (Utsman) kecuali akan mati terbunuh.” Keduanya menjawab: “Ali.” Aku menegaskan: ‘Apakah kalian berdua memerintahkan kepadaku untuk datang kepada Ali dan kalian rela kepadanya?” Keduanya berucap: “lya.”
Segera aku bertolak pergi sampai aku menginjakkan kota Makkah, maka tiba-tiba datang kepada kami musibah terbunuhnya Utsman. Aku lalu menemui Aisyah Radhiyallohu Anha,lalu aku bertanya: “Siapa yang akan engkau perintahkan kepadaku untuk aku bai’at?” Aisyah menjawab: ‘Ali.” Aku tegaskan lagi: “Jadi engkau beri perkara ini kepadaku untuk memilih Ali dan engkau rela akannya?” Aisyah menjawab: “lya.,’
Maka ketika aku melewati rumah AIi di Madinah, maka aku membai’atnya, kemudian aku kembalilagi ke kota Bashrah. Dan aku tidak lagi melihat persoalan ini kecuali sudah tampak stabil sepertibiasa. Maka demikianlah yang kami dapatkan sampai datang seseorang seraya berkata: ‘Aisyah, Thalhah, Zubeir telah turun ke dekat Kharibah.” Maka aku bertanya: ‘Apa yang membuat mereka datang ketempat itu?” Mereka berkata: “Mereka telah mengirim kepadamu (Ahnaf), untuk mengajakmu memenangkan tuntutan tumpahnya darah Utsman.” Maka orang itu menyampaikan padaku perkara yang jauh lebih menakutkan dari perkara apapun. Lantas aku berkata: “Sungguh penolakanku terhadap mereka sementara mereka bersama Ummul Mukminin dan sahabat dekat Rasulullah sungguh adalah perkara yang berat, dan sebaliknya jika aku memerangi seseorang yang masih anak paman dari Rasulullah yang mereka telah memerintahkanku untuk membai’atnya juga adalah perkara yang sangat berat.” Maka ketika aku datang pada mereka, mereka mengatakan: “Kami datang untuk meminta bantuan atas tumpahnya darah Utsman karena ia terzhalimi.” Maka aku katakan: “Wahai Ummul Mukminiin, aku tanyakan kepadamu, demi Allah; bukankah telah aku katakan kepadamu: ‘Siapa yang engkau usulkan kepadaku (untuk aku jadikan pemimpin)’, lalu engkau jawab: Ali.’ Ketika kutegaskan: Apakah engkau memerintahkan kepadaku untuk memilihnya dan engkau rela akannya?’, engkau katakan:’lya.’ Aisyah segera merijawab: ‘Memang betul, tapi sekarang berubah.’ Kemudian aku berucap: “Wahai Zubeir pengikut dekat Rasulullah! Dan wahai Thalhah! Aku tanyakan kepada kalian berdua, demi Allah bukankah aku pernah bertanya kepada kalian apa yang akan kalian perintahkan kepadaku? Lantas kalian menjawab: ‘Ali.’ Kemudian aku tegaskan: Apakah kalian memerintahkanku unutk memilih Ali dan kalian rela akannya?’ Dan kalian berdua menjawab: ‘lya.”‘ Selanjutnya Zubeir dan Thalhah menjelaskan: “lya memang benar, namun hal itu sudah berubah.” Maka dengan tegas aku katakan: “Demi Allah, aku tidak akan berperang bersama kalian, sedangkan bersama kalian Ummul Mukminin dan pengikut dekat Rasulullah, dan juga aku tidak akan memerangi laki-laki putera paman Rasulullah, yang telah kalian perintahkan padaku untuk memba’iatnya.”
Dan teks riwayat ini tidak didapatkan pada riwayat Abu Sa’id atau riwayat Sahm, namun akan melengkapi keduanya. Disamping menafikan perbedaan yang lalu antara Ali, Zubeir, Thalhah, dan antaraAli dan Aisyah. Dan ini menunjukkan bahwa Aisyah, Zubeir, dan Thalhah beritikad bahwa Ali telah berubah setelah kekhilafahannya, atau bahwa Ali tidak berjalan pada syarat-syarat yang telah memba’iatnya. Dan Aisyah pernah merelakannya menjadi khalifah setelah muncul kabar terbunuhnya Utsman di kota Makkah dimanaAisyah berada.
Maka sangat jelas bahwa tiga riwayat itu sejalan dan seiring saling melengkapi dengan riwayat-riwayat itu semua. Maka dengan kedudukannya sebagai riwayat-riwayat orang yang menyaksikan kejadian, dan mempunyai peran didalamnya; dan karena yang menukilkan riwayat ini kepada kita adalah sosok yang terpercaya dan tidak berdusta, maka secara historis kita harus menjadikan riwayat-riwayat ini sebagai landasan pokok yang kita jadikan sandaran dan percayai, serta kita pertemukan dengan riwayat-riwayat lainnya, yang jika saling berbenturan dengannya maka bisa kita pastikan bahwa riwayat-riwayat (terakhir) ini tidak menunjukkan hakekat kejadian yang sebenamya.
Pijakan-pijakan Dasar Yang Bisa Dipetik dari Tiga Riwayat Tersebut
Apa pokok dasar utama dari peristiwa ini yang bisa dipetik dari riwayat-riwayat tadi, dan yang harus disandingkan dengan riwayat-riwayat lainnya; yang jika riwayat itu memiliki keanehan dari yang lainnya berarti riwayat ini tidak pantas dianggap sebagai fakta kenyataan utama?
Pijakan pertama: bahwa Utsman bin Affan telah banyak menjawab tuduhan yang tertuju ke arah dirinya, dan telah meminta ampunan (beristighfar) atas segala perbuatannya yang telah ia akui sebagai kesalahan yang ia perbuat, sehingga orang-orang yang marah kepadanya rela terhadap apa ia janjikan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.
Pijakan kedua: bahwa Utsman belum pernah merubah janjinya, dan belum pernah mengirim surat kepada para pegawainya di Mesir untuk membunuh para pemberontak.
Pijakan ketiga: bahwa Utsman sebenarnya bisa memerangi mereka yang dianggap keluar dan membalasnya, namun ia tidak ingin bertindak sesuatu yang mengakibatkan fumpahnya darah kaum muslimin dalam rangka membela dirinya, atau untuk meninggkalkan kota Madinah. Bahkan sikap yang diambilnya adalah pasif, sampai-sampai ia rela untuk dibunuh, atas dasar mimpi yang ia saksikan.
Pijakan keempat: bahwa para sahabat generasi awal berada di pihak Utsman, menyerahkan segala urusan kepadanya, memperkokoh kekuasaan-nya, ditambah dukungan dari putra[1] putra mereka.
Pijakan kelima: bahwasanya tidak pernah ada di benak Thalhah dan Zubeir untuk menguasai kekhilafahan, dan tidak juga keduanya tamak akannya setelah Utsman. Keduanya bahkan melihat bahwa Ali yang paling pantas akan khilafah.
Pijakan keenam: bahwa Aisyah sejalan dengan pendapat kedua sahabat di atas dalam hal ini.
Pijakan ketujuh: bahwa Aisyah, Thalhah, dan Zubeir telah keluar untuk menuntut tumpahnya darah Utsman, karena keyakinan mereka bahwa Utsman terbunuh dengan kezhaliman, dan mereka berkeyakinan bahwa Ali paling tepat menggantikan posisi Utsman. Dan sepertinya mereka melihat hal ini sebagai suatu tindakan untukbalas dendam terhadap Utsman.
Pijakan kedelapan: bahwa diantara penduduk Madinah adabeberapa orangyang mempunyai dendam terhadap Utsman karena persoalan materi. Sebab Utsman pernah berkehendak melarang mereka untuk ikut serta dalam harta hasil pembebasan wilayah baru (futuhat). Dan kebanyakan atau sebagian dari mereka adalah yang meninggalkan tanah, pertanian dan peternakan mereka dan pergi ke Madinah untuk menuntut pembagian harta tersebut.
Pijakan kesembilan: Diantara penentangAli adalah mereka yang merasa cemburu (shiroh) atas dasar agama.
Pijakan kesepuluh: Adanya tangan-tangan tersembunyi yang bermain di balik layar untuk menciptakan perpecahan di kalangan muslimin. Pihak itulah yang membuat surat-surat atas nama para sahabat, dan tangan jahil itulah yang memalsukan surat yang dikirim kepada para pegawai Utsman di Mesir, dan kelompok inilah yang memprovokasi semua perkara.
Pijakan kesebelas: bahwa diantara para penentang terdapat beberapa orang dari sahabatyang memiliki rasa dendam, seperti Muhammad bin Abu bakar, mungkin juga Muhammad bin Abu Hudzaifah, dan Ammar bin Yasir. Namun permasalahan ini tidak sampai kepada keterlibatan mereka dalam pembunuhan Utsman.
Inilah pokok-pokok yang nampaknya akan menjadi penuntun kita untuk melihat berita dan riwayat seputar pembunuhan Utsman, sehingga bisa dijadikan sandaran. Dan selanjutnya kita akan menilai sumber-sumber lain yang ada tentang fitnah ini selaih tiga riwayat yang shahih tadi, sehingga kita bisa membandingkarinya.
Sebelumnya sudah dibuat dua macam pembagian dari sumber-sumber tersebut:
Pertama: Sumber para ahli sejarah terdahulu yang telah menulis tentang fitnah, dan berita-berita tersebut bisa sampai melalui kitab-kitab yang telah beredar, yaitu karya Al-Waqidy, Abu Mikhnaf, dan Saif.
Kedua: Sumber kisah fitnah lainnya dari para saksi mata, atau dari siapa saja yang bertemu dan bersambung dengan para saksi mata, seperti: Yazid bin Abu Habib, Az-Zuhri, dan Said bin Al-Musayyib, Zubair bin Awwam.
Dapat dilihat bahwa mereka dari kedua kelompok para narasumber riwayat fitnah tersebut tidak mungkin bisa dianggap berita-berita mereka shahih, atau layak dipercaya dari sisi penuturannya. Dan telah dilihat kelemahan pada penutur riwayat yang ada. Darinya riwayat-riwayat itu tidak terlalu disandarkan untuk dijadikan sebagaibukti. Hanya saja metode sejarah dan para ahli hadits itu tidaklah menghalangi untuk dapat dijadikan alat bantu atau sandaran jika riwayat-riwayat itu dalam bentuk yang searah dengan pokok-pokok pijakan yang telah dicapai di atas sebagai standar pemberitaan yang shahih dan baik, dan ditutur riwayatkan oleh para saksi kejadian.
Apakah riwayat-riwayat kedua kelompok ini berada pada alur ini? Semua riwayat tadi, terkecuali salah satu darinya, bertolakbelakang pokok-pokok tersebut. Dan satu-satunya diantara riwayat-riwayat tersebut yang berjalan searah dengan pokok-pokok tersebut adalah riwayat Saif, sebab riwayat ini menampilkan alur kisah peristiwa fitnah yang tidak berbeda dengan pokok-pokok di atas, kecuali beberapa rincian yang kebanyakan para periwayatnya juga berlainan.
Sehingga di sini kita harus komitmen dari sisi metode sejarah untuk mengenyampingkan setiap riwayat-riwyat dari kedua kelompok, dan kita hendaknya merujuk kepada riwayat Saif bin Umar dan mempertimbangkan pengambilan riwayat tersebut untuk memperjelas beberapa masalah yang terselubung atau tidakjelas.
Pada dasarnya, bahwa ketiga riwayat-riwayat yang diakui tadi, khususnya riwayat Abu Sa’id menunjukkan adanya permasalahan tapi tidak didapati jalan keluarnya. Masalah itu adalah adanya tangan tersembunyi yang menggerakkan peristiwa fifuiah tersebut, dan memancing kemarahan para penentang. Dan tangan-tangan tadi selalu berada di belakang untuk menyulut mereka jikalau keadaan sudah tenang, juga yang memalsukan surat-surat mengatasnamakan para sahabat, terutama tangan-tangan tersebuflah yang memalsukan surat dengan nama Utsman tertuju kepada para pembantunya di Mesir.
Sesungguhnya kesimpulan dari peristiwafitnah dan sebab[1] sebabnya bisa dirasakan dengan segala perasaan bahwa di sana terdapat tangan di balik peristiwa fitnah tersebut. Hal itu semakin bertambah terasa tatkala ditelaah teks-teks shahih yang secara terbuka ditemukan kasus adanya tangan-tangan jahil tersebut.
Sebab-sebab Fitnah Secara Umum
Jika dibahas sebab-sebab terjadinya fitnah secara umum tanpa terinci, atau jika kita simpulkan sebab-sebab tersebut dari berbagai riwayat yang shahih ataupun palsu, maka didapatkan riwayat-riwayat tersebut tidak memberi tafsiran tentang perkembangan peristiwa ifu sebagaimana mestinya. Untuk itu akan disampaikan sebab-sebab fitnah seperti yang ada pada riwayat-riwayat tersebut secara global, maka akan dilihat apakah hal tersebut memberi tafsiran tentang kenyataan peristiwa fitnah tersebut?
Berikut ini akan dicakup sebab-sebab fitnah seperti yang munculpada riwayat-riwayat itu. Pada masa Utsman terdapat orang-orang yang merasa tidak puas akan kebijakannya. Maka Utsman memeriksa para sahabat maupun yang bukan sahabat, serta menghisab perbuatan-perbuatan mereka dan mendiskusikannya. Diantara mereka ada yang “terganggu” dengan upaya Utsman tersebut, dan diantara mereka ada yang menyalahkannya, baik perkataan ataupun perbuatan. Abdullah bin Mas’ud -misalnya- pemah menaruh harapan bahwa Utsman akan memberi kepercayaan kepadanya untuk mengumpulkan Al-Quran (mushaf) karena dirinya adalah qari’ yang menguasainya, namun yang terjadi Utsman mempercayakan hal ini kepada Zaid bin Tsabit.
Sedangkan Ammar bin Yaasir pernah bersilang pendapat dengan Abbas bin Utbah bin Abu Lahab, hingga terjadi perang mulut, maka keduanya dipukul oleh Utsman. Dan juga Muhammad bin Abu bakar dan Muhammad bin Abu Hudzaifah keduanya berselisih dengan Utsman.
Dan adapula orang-orang yang kurang puas terhadap Utsman dari pendudukMadinah dari kalangan pengecap duniawi dan penghambur, dimana pada masa Utsman segala macam bentuk hiburan dan hal yang sia-sia diberangus, dan para pelanggannya dikucilkan dari Madinah serta dihukumi karenanya. Karena ifu mereka memprotesnya.
Disana ada kalangan ahli zuhud menyaksikan adanya banyak harta yang dianggap milik kaum muslimin dari hasil futuhat (pembebasan wilayah) tampak dihabiskan untuk mendirikan rumah-rumah yang megah, dan mengambil sarana kesejahteraan yang tidak pernah ada dalam Islam. Dan diantara pucuk kalangan ahli zuhud tersebut adalah Abu Dzar Al-Ghilary. Mereka melihat adanya isyarat dalam Al-Quran yaitu ayat:
‘Adapun arang-orang yang menumpuk emas, perak, dan tidak membelanjakannya di ialan Allah.” Akibatnya mereka memprotes dan menuntut kaum kaya untuk memberikan hartanya kepada kaum fakir, dan untuk tidak menimbunnya, maka timbullah kemudian suara-suara sumbang. Utsman kemudian membuang Abu Dzar ke daerah Rabadzah karena marah kepadanya.
Kemudian ada pula kalangan mantan pegawai yang dipecat dan dikeluarkan dari wilayahnya, dan diletakkan penggantinya dari kalangan Bani Umayyah; diantara mereka adalah Amru bin ‘fuh. Pada saat dirinya masih berada di Mesir, ia dijauhkan dari wilayah kekuasaannya, sehingga ia marah terhadap Utsman.
Selain mereka yang disebut tadi, ada orang-orang yang merasa cemburu dan iri akan kedudukan keturunan Bani Umayyah yang didapat dari Uhman. Bani Umayyah pada masa Utsman mencapai kejayaannya, dimana kekuasaan dikuasai dan harta kekayaan ada dalam pengelolaan mereka, serta khalifah menjunjung dan menyukai mereka.
Jadi rasa ketidakpuasan terhadap Utsman sudah ada pada beberapa orang, dan ketidakpuasaan itu memiliki latar belakang dan mungkin bisa dimanfaatkan. Dan disamping itu Utsman juga melakukan beberapa pembaharuan dalam urusan agama, contohnya ia mendahulukan khutbah ‘ld daripada shalat sunnah ‘ld. Juga mengizinkan semua orang untuk mengeluarkan zakat s€cara perorangan, dan memotong beberapa sektor pemasukan untuk diberikan kepada pemiliknya (yang berhak), dan yang lainnya. Sehingga sebagian orang menilai Utsman telah melakukan bid’ah dari apa yang sudah diketahui dan biasa mereka lakanakan.
Itulah kesimpulan sebab-sebab peristiwa fitnah sebagai[1] mana tampak pada berita dan riwayat tersebut. Maka apakah hal ini cukup untuk mendorong fitnah yang terjadi, yang kemudian menyebabkan munculnya akibat-akibat seperti yang telah diketahui bersama? Marilah kita lihat hal ini dengan jelas. Bahwa setiap apa yang terjadi atas diri Utsman sebagaimana disebutkan di atas, juga telah terjadi pada diri Umar bin Al-Khathab, atau setidaknya sebagian dari yang terjadi. Dan tidak seluruh sahabat merasa puas terhadap perbuatan Umar, bahkan apa yang diputuskan Umar lebih keras dan lebih tegas dibandingkan yang diambiloleh Utsman.
Bahkan Umartelah menegakkan hukuman (hududl tanpa kompromi (kemudahan), dan ia begitu sangat tegas dalam bermuamalat dengan semua orang dan juga dirinya. Sehingga banyak kalangan yang tidak senang. Kemudian juga Umar membuat sesuatu “yang baru” dalam agama dan diikuti oleh semua orang, sebagaimana mereka mengikuti Utsman. Sampai[1] sampai anaknya, Abdullah berkata: “Mereka telah mencela dan menyalahkan Utsman karena melakukan hal-hal yang jika saja Umar yang mengerjakannya, niscaya mereka tidak akan mencela dan menyalahkannya.”
Meskipun demikian, ternyata perbuatan Umar itu tidak menciptakan api fitnah pada masanya, atau tidak ada seorang pun yang menentangnya. Sehingga sebagian orang mengira bahwa orang menentang Utsman karena dirinya lemah dan tidak tegas terhadap mereka. Sedang kenyataannya walaupun usianya telah sangat lanjut, namun Utsman tidaklah lemah dalam menerapkan hudud Allah, meskipun pembawaan Utsman tidak seperti Umar, dan juga kewibawaannya. Meskipun patut dicatat bahwa tabiat dan wibawa tidaklah berpengaruh dalam memperlambat penentangan dan pemberontakan. Maka kalua seandainya sebab-sebab yang disebut tadi adalah benar faktor[1] faktor yang menyebabkan pembangkangan di masa Utsman, maka tindakan keras Umar terhadap penentangnya seharusnya juga memotivasi terjadinya pemberontakan yang serupa.
Realitanya, bahwa sebab-sebab itu tidaklah mungkin menjadi sebab-sebab sesungguhnya dari revolusi yang ada, melainkan sebatas fenomena, sehingga perlu dikembalikan kepada perkataan-perkataan yang shahih dan memperhatikan apa sebenamya diambil dan diingini para penentang itu terhadap Utsman? Seandainya didapati apa yang dituduhkan kepada Utsman dari kelengahan dan kesalahan dalam penuturan para penentang itu sendiri, maka tidak didapati suatu hal yang mengundang terjadinya revolusi. Dan Utsman dinilai mampu untuk membela apa yang dilakukannya dan menjelaskan bahwa dirinya benar dalam hal tersebut. Marilah kita lihat apa yang Utsman lakukan dengan mengambilnya dari penuturan riwayat yang benar.
Pernah Ubman mengirimAlibinAbuThalib ke Mesir, maka Ali berkata: ‘Apa yang membuat kalian marah kepada Utsman?” Mereka menjawab: “Kami marah kepadanya karena Utsman telah menghapus Kitabullah(maksdunya ia mengajak umat untuk bersatu di atas satu mushaf Al-Qur’an), menetapkan daerah larangan, mengangkat para kerabatnya sebagai pejabat, memberi Marwan sejumlah seratus ribu dinar, dan mengkritik para sahabat Rasulullah Shallollahu Alaihi rlo Sollom.” Maka oleh Utsman tuduhan-tuduhan mereka dijawab: ‘Adapun Al-Qur’an dari Allah, sedangkan yang saya larang dari kalian adalah berselisih dalam apa yang ada didalamnya, maka bacalah Al-Qur’an dengan huruf apapun sesuka kalian; mengenai daerah terlarang, rnaka demi Allah, tidaklah saya memberinya untuk onta dan kambingku, akan tetapi untuk onta shadaqah. Sedang tuduhan kalian bahwa diriku telah memberi Marwan sebanyak seratus ribu, maka itu adalah baitul maal milik mereka sehingga harta didalamnya dipakai untuk siapa yang disukai; mengenai perkataan kalian tentang kritik untuk para sahabat Rasulullah, maka saya adalah manusia yang dapat marah dan dapat pula ridha. Maka barangsiapa pemah saya zhalimi maka inilah diriku, jika ia mau, balaslah, dan jika ia mau, maafkanlahl” Seketika itu semua puas dan kemudian masuk ke kota Madinah secara damai dan sukarela.
Dan kita juga mendapati bahwa penduduk Kufah mengajukan gugatan dalam sebuah teks riwayat yang sanadnya shahih, ternyata maknanya seperti ini meskipun tidak terlalu kuat:
Ibnu Sirin mengatakan: “Utsman telah mengirim Ali kepada mereka untuk menyampaikan (bahwa) kalian telah diberikanAl-Qur’an dan diingatkan dari setiapyang kalian tuntut. Semua penduduk Kufah pun menyambutnya dari segala kelompok, dan mereka berdamai dalam lima perkara yaitu: bahwa orang yang telah diasingkan akan segera dipulangkan; yang selama ini tidak diberikan akan diberikan; akan disediakan tanah fa’i’; akan adildalam pembagiannya dan menggunakan orang yang amanah dan kuat sebagai pejabat. Hal-hal tersebut kemudian ditulis dalam sebuah lembaran surat dan akan segera mereka kirimkan kepada lbnu ‘Amir di Bashrah dan Abu Musa di Kufah.”
Dalam dua teks yang shahih ini tampak jelas apa sebenamya yang dituntut oleh para penentang Utsman, yaitu hal[1] hal wajar yang selalu dituntut di setiap masa pemerintahan, dan itu terjadi di setiap waktu, dan -karena itu- seharusnya tidak menyebabkan terjadinya sebuah revolusi.
Tangan Terselubung dalam Peristiwa Fitnah
Jika dibalik tuntutan-tuntutan terhadap Utsman tidak ada tangan yang bermain atau menciptakan percikan peperangan dan permusuhan, maka ter5adinya revolusi adalah suatu hal yang tidak mungkin. Sehingga haruslah dibayangkan adanya tangan[1] tangan jahil yang menginginkan perkara tertentu untuk mendapatkan sesuatu darinya. Dan apabila hal itu tidak kita gambarkan, maka sulit bagi kita untuk memahami bahwa tuntutan-tuntutan sederhana tersebut dapat menyebabkan terbunuhnya khalifah Utsman di tengah siang.
Kita tentu patut bertanya-tanya: Siapa saja mereka yang bersembunyi di balik peristiwa fitnah ini dan menggerakkannya? Dan sejarah selalu ingin untuk menyingkap hakekat yang sebenarnya lalu merekamnya, agar setiap orang dapat menafsirkan kejadian-kejadian itu dengan penafsiran yang lengkap. Apakah ada satu sumber kisah yang memberikan penjelasan tentang tangan-tangan tersembunyi tersebut?
Sebenarnya Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf telah menerangkan tentang tangan-tangan tersembunyi tersebut; yaifu tangan-tangan para sahabat sendiri yang berada di sekeliling Utsman, seperti Thalhah, Zubeir, Aisyah, Amru bin Ash, Muhammad bin Abu Hudzaifah, Ammar bin Yasir; dimana mereka ikut serta dalam menyulut ketidakpuasan orang banyak terhadap Utsman.
Ini pendapat Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf. Namun kalau kita sedikit berpikir lagi, maka sangat jauh kemungkinannya para sahabat tadi atau sebagian mereka telah terlibat dalam hal fitnah ini. Apakah masuk akal Thalhah, Zubeir, Aisyah dan Amru bin Ash terlibat langsung dalam melemparkan fitnah dan menyalakan apinya, sedang merekalah yang pergi kepada Ali untuk menuntut akan tumpahnya darah Utsman?
Meskipun pemikiran ini selalu berselisih dan diselimuti pmsangka buruk, maka tidak mungkin kita akan rnengambil satu madzhab yang melenceng dari akal dan standar kita.
Dalam pasukan Ali bin Abu Thalib sendiri terdapat beberapa orang yang pemah mengepung Utsman berakibat terbunuhnya sang khalifah itu. Apakah para pengepung tersebut mengetahui bahwa Thalhah, Zubeir, Aisyah dan Amru bin ‘Ash adalah bersama mereka dan termasuk yang menggerakkan dan terlibat dalam pembunuhan Utsman; sehingga mereka dapat menyerang, menyingkap dan menjatuhkan para sahabat itu dengan bukti yang telah mereka ketahui?
Marilah lebih serius dan menggunakan logika, dan kita jauhkan terlibat-nya para sahabat tersebut dalam menggemklan dan menyulut terjadinya fitnah, lalu kemudian menunhrt untuk membunuh siapa yang menggerakkan dan menyuluhrya.
Marilah kita lontarkan pertanyaannya sekali lagi, dengan mengatakan : “Siapa sebenarnya yang menggerakkan peristiwa fitnah dan menyalakan apinya? Bahkan tidak cukup sampai di situ, ia bahkan menyulut hal itu sekali lagi?”
Apabila Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf tidak memberikan penjelasan yang masuk akaltentang tangan tersembunyi tersebut, maka sebenarnya Saif bin Umar telah membongkar hal itu dengan sangat jelas, dan pembahasannya mencakup secara menyeluruh, bahkan sampai kepada pemberian keterangan bersejarah dan memaparkan perkembangan kejadian pada arah yang umum, dan meletakkannya di antara paparan-paparan sejarah dalam kejadian-kejadian pada masa itu.
Dan telah disebutkan bahwa Saif selalu sejalan dengan pokok-pokok yang telah disimpulkan dari tiga riwayat yang shahih, sehingga Saif semestinya dapat kita percaya dan bisa kita golongkan riwayatnya ke dalam riwayat-riwayat yang shahih, karena Saif berjalan searah dan menafsirkan titiktitikyangsamar didalamnya. Riwayat Saif bin Umar
Mari kita perhatikan riwayatSaif:
Saif hidup pada pertengahan awal abad kedua hingga awal pertengahan akhir abad tersebut. Ia meriwayatkan dari guru[1] gurunya yaitu: Muhammad bin Abdullah bin Sawad bin Nuwairah, Thalhah bin Alam, Abu Haritsah, Abu Utsman dan Athiah. Mereka meriwayatkan kisah ini secara bermiripan. Itu karena Saif -setelah menyebut nama-nama mereka- berkata: “Mereka mengatakan.” Kemudian setelah itu ia pun meriwayat[1] kan kisahnya. Teks cerita yang diriwayatkan Saif adalah sama dengan pan gurunya secara kronologi, susunan dan penyampai[1] annya. Para guru-guru Saif ini sepakat dalam melakukan pendekatan terhadap peristiwa, perincian dan alur cerita. Mereka juga sepakat bahwa untuk meriwayatkan sebuah kisah harus dari sumber yang satu.
Kami menemukan sosok sejarawan dari riwayat guru-guru Saif yaitu Yazid Al-Faq’ai AtrTamimi Al-Asadi. Ia hidup pada penghuiung abad pertama, sedangkan riwayat Saif ditemukan paling lama pada penghujung abad pertama.
Suatu hal yang menarik bagi kami adalah pembelaan Saif terhadap orang-orang yang menuduhnya lemah dalam periwayatan. Mereka menuduh Saif adalah orang bayaran. Karni tidak tahu dari mana asal mula tuduhan tersebut, sebenarnya sikap Saif adalah seperti ulama Salaf lainnya yang sangat menghormati para sahabat, ia juga mensucikan sahabat daripada perbuatan-perbuatan tercela.
Periwayatan Saif sebenarnya sejalur dan seirama dengan tiga periwayatan lainnya yaitu: Riwayat Abu Sa’id, riwayat Sahm, dan riwayatAl-Ahnaf.
Dengan mengacu pada metode penulisan sejarah, maka periwayatan Saif dapat diterima karena tidak menyelisihi kabar[1] kabar yang shahih. Akan kita lihat bagaimana periwayatannya hampu menjelaskan titik-titik buram yang ditampilkan oleh riwayat-riwayat lain. Akan kami sampaikan secara singkat sebagai berikut:
- Peran Abdullah bin Saba’dalam menggulirkan fitrah. Riwayat Saif telah menceritakan kepada kita kisah asal-usul fitnah. Saif berkata dari guru-gumnya:
Abdullah bin Saba’adalah seorangYahudi dari Shan’a, ia masuk Islam pada masa Ubman, ibunya adalah orang Negro yang berkulit hitam. Ia sering berpindah-pindah di daerah-daerah Islam guna menyesatkan penduduknya. Ia mulai dari kota Hijaz, Bashrah, lalu ke Kufah dan kemudian ke penduduk Syam. Di Syam ia diusir oleh penduduk setempat hingga akhirnya ia berpindah ke Mesir dan tinggal di sana. Salah satu perkataannya adalah, “Sungguh sangat aneh sekali orang yang menyatakan bahwa Isa akan kembali ke dunia, sedangkan ia mendustakan kembalinya Muhammad, padahal Allah Subhonohu waTa’ala telah berfirman, ‘SesungguhnyoYang mewajibkan otas }omu Al[1] Qur’ an niscnya akon mengembalikan kamu ke tempat kemboli.’ Maka Muhammad lebih berhak untuk datang kembali ke dunia daripadalsa.”
Lalu ia menambahkan bahwa sudah ada seribu nabi, dan setiap nabi mempunyai wasiatnya dan wasiat Muhammad adalah Ali. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad adalah Nabi terakhir dan Ali adalah wasiat terakhir, adakah orang yang lebih zhalim daripada orang yang tidak membolehkan adanya wasiat Rasul, padahal beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali.” Ia menambahkan, “Sesungguhnya Utsman telah mengambil wasiat ini tanpa hak, padahal ini adalah wasiat Rasulullah, untuk itu bangkitlah dan bergeraklah, mulailah dengan mengkhianati pemimpin-pemimpin kalian! Lakukanlah amar makrul nahi munkar, maka engkau akan mendapatkan hati masyarakat, bawalah kepada mereka hal ini.”
Ucapan-ucapan lbnu Saba’ini diserukan dan ditulis oleh para pengikutnya untuk disebarkan ke seluruh kota. Mereka kemudian menceritakan pandangan ini secara rahasia dan pura[1] pura menyerukan amar mokruf nahi munkar. Mereka juga menulis beberapa tulisan yang mengungkap cacat-cacat para pemimpin mereka, hal ini kemudian disambung oleh teman[1] teman mereka, dan mereka sebarkan dari kota ke kota hingga sampai ke Madinah. Seruan mereka semakin luas. Mereka sebenarnya menginginkan sesuatu yang mereka sembunyikan. Para penduduk Mesir mengatakan, “Sesungguhnya kami tidak terkena apa yang menimpa penduduk Madinah itu.” Mereka juga mengatakan, “Kami tidak terlibat daripada apa yang dikatakan masyarakat itu.”
Dari teks ini nampak metode yang dilakukan oleh lbnu Saba’. Ia menginginkan kedudukan Ali bin Abi Thalib diangkat dan menuduh Utsman sebagai orangyang mengambil tanpa hak, sehingga diharapkan Sahabat akan pecah dalam dua golongan; sebagian akan berada pada pihak yang diambil haknya yaitu AIi bin Abi Thalib dan ia akan berusaha menggerakkan masyarakat dengan mengajaknya kepada dasar yang (kelihatannya) baik, yaitu omor makruf dan nahi munkar. Ia telah membuat masyarakat memberontak terhadap para pemimpin mereka. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan tuntutannya. Untuk itu, ia menginstruksikan kepada para pengikutnya untuk mengirimkan surat-surat ke seluruh pelosok negeri tentang berita buruk di berbagai daemh, sehingga penduduk Bashrah misalnya; mempunyai kesan bahwa keadaan penduduk Mesir sangat sengsara dan tertindas oleh pemimpinnya. kndudukMesir juga mempunyai kesan bahwa penduduk Kufah sangat tersiksa dan teraniaya oleh para penguasanya, begitu juga penduduk kota Madinah mendapatkan surat dari lbnu Saba’ akan buruknya keadaan para penduduk muslim.
Demikianlah, masyarakat memandang seakan-akan keadaan sekarang sudah sedemikian buruknya. Siapakah yang terpengaruh dengan isu tersebut? Mereka adalah orang-orang yang lemah imannya yang membenarkan semua berita-berita buruk, karena hal tersebut bermanfaat bagi mereka. Mereka akan dapat mencapai cita-cita mereka dengan menggunakan kebenaran dan demi menggusur kezhaliman yang telah dilakukan oleh para penguasa.
Khalifah Utsman mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres di beberapa kota. Ia menulis surat seperti yang dikisahkan oleh Saif dari para guru-gurunya “Kemudian, saya telah mengangkat para pegawai-pegawai dengan persetujuanku dalam setiap musim. Saya sudah mewajibkan kepada rakyatku sejak diangkat menjadi khalifah untuk melakukan amar mokruf nahi munkar. Tidak ada hak yang sampai kepadaku maupun sampai kepada pegawaiku kecuali saya berikan hak-haknya, tidak ada hak bagi diriku dan keluargaku sebelum terpenuhinya hak rakyatku. Saya telah mendengar laporan bahwa sebagian masyarakat sedang mencela dan mengumpat secara rahasia. Barangsiapa mengaku hak-haknya terampas, maka ambillah haknya dariku atau dari para p€gawaiku, atau berscdekahlah! Sesungguhnya Allah membalas orang-orang yang bersedekah.”
Setelah surat ini dibacakan di seluruh pelosok kota maka masyarakat menangis. Mereka mendoakan Utsman, dan berkata, “sesungguhnya masyarakat telah berada dalam kekeliruan.” Padahal kenyataan yang sesungguhnya mereka berada dalam kesalahan yang besar. Ibnu Saba’ masih saja memprovokasi masyarakat. Kami mengetahui cara-cara lbnu Saba’ ini dari apa yang dikatakan oleh lbnu Saba’ kepada Abu Dzar Al-Gh ifari, sebagaimana dikutip oleh Saif, “Wahai Abu Dzaq bagaimana pendapatmu tentang Muawiyah yang menyatakan bahwa harta Baitul Mal merupakan harta Allah Subhanahu wa Ta’olo, sehingga ia boleh menggunakan seenak dirinyadan tidak memberikan hak-hak kepada kaum muslimin?” Abu Dzar mengangkat hal ini kepada Muawiyah. Muawiyah menjawab, “semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Dzar, bukankah kita menjadi hamba Allah, dan hartia merupakan harta-Nya, semua makhluk adalah makhluk-Nya dan semua perkara adalah perkara-Nya.”
Tempat yang digunakan oleh lbnu Saba’ adalah Mesir. Di Mesir banyak orang-orang yang membenci Ubrnan dari pengikut Amru bin Al-Ash yang dipecat dari gubernur Mesir. Ada iuga pengikut Muhammad bin Abu Hudzaifah, Ammar bin Yasirdan sebagainya. Mereka bersepakat dan berangkat menuju Madinah. Berangkat pula orang-orang yang benci terhadap Utsman dari Kufah dan Bashrah dengan jumlah besar, sedangkan Ibnu Saba’ hanya memadukan kedua kekuatan ini.
Para Pengacau Berada di Madinah dan Terbunuhnya Utsman
Kemudian Saif menceritakan kepada kita dari guru[1] Gurunya bagaimana pengikut Saba’ memasuki kota Madinah pertama kali. Mereka datang untuk mengecam akan kesalahan[1] kesalahan Utsman dan menyatakan bahwa Utsman bersalah. Mereka mengatakan kepada masyarakat bahwa Utsman tidak mau menghindari dan bertaubat dari dosa-dosanya, untuk itu ia sudah halal darahnya. Ketika mereka sampai di Madinah, Utsman menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya dan mengingkari semua dakwaan-dakwaan mereka. Ia juga menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah benar. Para penasehat Utsman menganjurkan supaya mereka semua dibunuh, akan tetapi Utsman enggan membunuh mereka dan membiarkan mereka pulang ke kota-kota mereka. Menurut Utsman mereka belum pantas untuk dihukum mati, mereka akhirnya pulang sambil berjanji akan datang lagi pada bulan Syawal tahun 35 H, atau pada tahun ifu juga dengan menyamar sebagaijamaah haji.
Cerita ini tidak ada dalam teks-teks yang kami jadikan pegangan, dalam teks ini ada penjelasan tentang tipu daya orang[1] orang pengikut Ibnu Saba’.
Saif kemudian menceritakan dari guru-gurunya tentang kedatangan kembali orang-orang pengikut lbnu Saba’ke Madinah pada bulan Syawal tahun 35 H. Saif menceritakan:
Sekitar 600 hingga 1000 orang dari pendudukMesir keluar menuju Madinah, mereka tidak berani diketahui masyarakat bahwa tujuan mereka untuk berperang, untuk itu mereka menyamar sebagai jamaah haji, ikut bersama mereka lbnu Sauda’ (anak hitam) -sebutan ejekan untukAbdullah bin Saba’-. Fada waktu yang sama keluar pula penduduk Kufah dengan jumlah yang hampir sama dengan penduduk Mesir. Penduduk Bashrah juga keluar dengan jumlah yang tidak berbeda dengan penduduk Mesir. para penduduk Mesir adalah orang-orang yang condong kepada Ali, sedangkan penduduk Bashrah sangat cinta kepada Thalhah, dan penduduk Kufah sangat cinta kepada Az-Zubair. Semua perbedaan ini adalah berkat bisikan lbnu Saba’supaya mereka berselisih di antara mereka sendiri setelah fitnah ini berakhir.
Mereka sampai di Madinah dan mengutus dua orang utusan untuk menghadap isteri-isteri Nabi Shallollohu Alaihi wo Sollom, menghadap Ali bin Abi Thalib, menghadap Thalhah dan menghadap Az-Zubair. Kedua utusan ini mengatakan, “Kami datang guna mengadu kepada Utsman akan perbuatan[1] perbuatan pegawainya kepada kami, mereka kemudian memintakan izin teman-temannya di luar Madinah supaya memasuki Madinah, akan tetapi para Sahabat menolak dengan mengatakan, “Telur tidak akan menetas.” Kemudian dua ufusan ini kembali dengan tanpa hasil. Sebagian penduduk Mesir kemudian mendatangi Ali. Sebagian penduduk Bashrah mendatangi Thalhah dan sebagian penduduk Kufah mendatangi Az-Zubair, mereka semua mendapat jawaban yang sama dari paraSahabat ini.
Cerita ini kami dapatdariteks-teks yang tidak kami jadikan pegangan, kecuali hanya isyaratdariAbu Said yang mengatakan bahwa Utsman tidak suka mereka masuk Madinah. Ada juga p€rkataan sahabat yang menolak kedatangan mereka dengan mengatakan, “Telur tidak akan menetas-” [-Ial ini berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thdih deragan riw4rat yang shahih,”Aku tdak mengijinkan kalian rnernasuki Madinah, iika kalian tidak mau maka telur akan mcnetas, nr*sudnya akan kamiperangi, tetapi Saif tidak rnengetahui htrbungan Ubman dengan orang-orang di luamya, sebagaimana telah ltita ketatrui dariAbuSaid.
Saif menceritakan lagi dari para gurunya: “Fara p€ngacau tersebut akhirnya meninggalkan tempat-tempat mereka di Dzu Khasyab menuju kemah-kemah mereka. Mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut dalam tiga gelombang supaya para penduduk Madinah yang menolak mereka bubar dan pergi memang benar, pada waktu mereka kembali ke kemah-kemah mereka. Penduduk Madinah pun pergi dan pada waktu itu pula para pengacau kembali datang menuju Madinah. Fenduduk Madinah tidak mendengar apa-apa kecuali seruan takbir saja di sekitarnya. Ali bertanya kepada para pengacau tersebut, ‘Apa yarg membuat kalian kembali setelah meninggalkan tempat ini?” Penduduk Mesir menjawab, “Kami menemukan surat dari Utsman yang memerintahkan pegawai-pegawainya untuk membunuh kami.” Ali bertanya kepada penduduk Kufah dan Bashrah, “Bagaimana kamu tahu akan surat kepada penduduk Mesir padahalkamu sudah kembali ke negeri-negerikamu?” AIi mengatakan, “Demi Allah, ada sesuatu yang terjadi di l”Idinah.” Para pengacau berkata, “silahkan kamu berprasangka apa saja, kami tidak akan menarik hrnfutan kami sampai Ubman mundur.” Kemudian mereka pun memasuki Madinah.
Pertanyaan Ali rnembuka tabir perihal surat tersebut kepada kita. Kita perlu mengaitkan surat itu dengan pengirimnya yang seolah sengaja menyerahkan diri kepada mereka (orang[1] orang Mesir ihr). Sudah jelas bahwa orang-orang Mesir sudah berrnuhkat dengan orarqg-oremg Kufah dan Bashrah untuk tetap kembali ke Madinah dengan cara mengada-ada dan menulis surat palsu ifu sendiri sebelum mereka meninggalkan tempat rnereka.
Saif juga mengatakan bahwa Ubman telah menulis kepada penduduk seluruh negeri supaya menolongnya, dalam surat tersebut Utsrnan mengatakan, ”
Mereka telah menyerang kami di samping Rasulullah ShallallohuAlaihi wa Sallam, di masjidnya, dan di kota Hijrah, mereka dibanhr oleh orang-orangArob (orang fuab Badui yang lemah imannya), mereka seperti pasukan yang bersekutu dalam perang Ahzab.”
Setelah membaca surat ini pam penduduk dari berbagai kota keluar rumah untuk menuju Madinah, di antara mereka sebagian besar adalah pam Sahabat, tetapi mereka akhimya harus kembali dengan kesedihan karena kedatangan mereka telah terlambat. Fitnah telah melenyapkan segala-nya dan telah membunuh Utsman sebelum mereka sampai di kota Madinah.
Pada hari Jum’at, Utsman berkhutbah di masjid, ia rnempersaksikan Muhammad bin Maslamah atas kebenaran ucapannya, berdirilah Hakim bin Jabalah bin Maslamah yang luga siap menjadi saksi, tetapi Utsman menyuruhnya duduk. Berdiri juga Zaid bin Tsabit guna meminta surat yang mereka temukan supaya dipelajari oleh orang yang paling tahu tentang tulisan. Ia juga disuruh duduk oleh Utsman, pada waktu inilah para pengacau menyerang jamaah hingga mereka keluar dari Masjid. Mereka juga menyerang Utsman hingga pingsan. Orang-orang Mesir tersebuttidak ada yang ingin menolong penduduk Madinah kecuali Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Abu Hudzaifah, dan Ammar bin Yasir. Sedangkan selain mereka sedang sibuk melindungi Utsman. Setelah Utsman siuman ia menyuruh orang-orang bubar, kemudian Ali, Thalhah, dan Az[1] Zubair menjenguk Utsman. Setelah menyatakan kesedihan mereka, mereka pun kembali ke rumah masing-masing.
Penduduk Madinah kemudian pulang dan tetap tinggal di rumah masing-masing, mereka selalu membawa pedang guna mempertahankan diri, sedangkan para pengacau telah mengepung Madinah selama 40 hari. Barangsiapa ketahuan keluar rumah, mereka akan melucuti senjatanya.
Utsman berkhutbah untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu ia menyuruh para pengawalnya dari para putera-putera Sahabat untuk meninggalkannya, “Keluarlah kalian, semoga Allah merahmatimu dan tetaplah di depan pintu.” Lalu ia berpamitan dengan mereka. Tidak lama kemudian ia menyuruh mereka kembali ke rumah masing-masing, mereka kemudian kembali kecuali Hasan bin Ali, Muhammad bin Thalhah, dan Ibnu Az-Zubair; mereka duduk-duduk di pintu sebagaimana diperintahkan oleh bapak-bapak mereka, sedangkan Utsman tetap memilih tinggal di rumahnya.
Madinah telah dikepung selama 40 malam, dan pada malam yang ke-18, para penduduk dari beberapa kota sudah mendekati Madinah, para pengacau tersebut telah mendapatkan kabar bahwa para Sahabat telah datang dari berbagai kota. Fada waktu inilah para pengacau sudah berubah, mereka mencari alasan-alasan supaya dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Mereka lalu mencari rumah Utsman dan melempari[1] nya dengan batu dan berusaha merusaknya, kemudian mereka berteriak, “Kita sedang diserang.” Utsman datang menghampiri mereka dan memanggilnya, ‘Apakah kalian semua tidak takut kepada Allah? Apakah engkau tidak tahu bahwa di rumah ini ada omng selain saya?”
Mereka menjawab, “Bukan kami yang melempari kamu.” Utsman kemudian bertanya, “Lalu siapa yang melempari kami?” Mereka menjawab, ‘Allah.” Utsman berkata, “Engkau telah berbohong, kalau Allah yang melempari kami maka tidak akan tersalah, sedangkan lemparan kalian banyak tersalah.” Lalu Utsman meminta air kepada Ali dan Ali kemudian memberinya air. Fara pengacau masih tidak dapat memasuki rumah Utsman.
Pada waktu itu datanglah Ummu Habibah, isteri Rasulullah Shollollohu Alaihi wa Sallam dengan membawa air sembari menunggang kuda. Melihat kedatangan Ummu Habibah mereka Iangsung memangkaskan pedangnya ke wajah kuda beliau hingga putus tali kendalinya dan ia pun terlempar jatuh. Mereka kemudian mengikat Ummu Habibah, mereka hampir membunuhnya. Sedangkan Aisyah berniat pergi dari Madinah guna menunaikan ibadah haji. Ia takut diperlakukan seperti apa yang diperlakukan terhadap Ummu Habibah. Setelah mendengar kabar Ummu Habibah ini, Thalhah dan Az-Zubair memilih diam di rumah mereka takut mengalami seperti peristiwa Ali dan Ummu Habibah.
Para pengacau sendiri takut akan kedatangan pasukan dari beberapa kota, mereka melihat tidak ada yang mampu menyelamatkan mereka kecuali dengan membunuh Utsman. Karena dengan membunuh Utsman, orang-orang akan mengurusi kematian Utsman. Mereka lalu bersegera menuju pintu rumah Utsman guna memasukinya, tetapi mereka ditahan oleh Hasan, Ibnu Az-Zubair, Muhammad bin Thalhah, Marwan bin Hakam, Said Az-Zubair dan beberapa putera Sahabat. Mereka mampu menahan para pengacau tersebut, Utsman lalu memanggil mereka, “Demi Allah! Demi Allah! Kalian tidak perlu melindungiku lagi.” Mereka masih tidak membukakan pintu bagi para pengacau tersebut, keluarlah Utsman dengan pedang dan perisainya guna mengusir para pengacau tersebut. Setelah melihat Utsman, orang-orang Mesir itu mundur sejenak, kemudian Utsman memerintahkan para penjaganya unfuk masuk lagi dan menutup pinfu dari orang-orang Mesir, akan tetapi mereka tidak mau pergi, dan Utsman akhirnya mengambil Mushaf dan membacanya, sedangkan orang-orang Mesir malah datang membawa api dan membakar pintu dan atap hingga roboh. Melihat hal ini para penghuni rumah Utsman berhamburan sedangkan Utsman tetap shalat, para Sahabat tetap melarang mereka masuk hingga terjadilah perternpuran antara kedua belah pihak.
Di sini ada sedikitperbedaan antara kisah Saif dengan teks[1] teks yang kami jadikan p€gangan. Perbedaan itu hanya dalam perincian saja; teks-teks ini tidak menyebutkan akan dibakamya atap dan pintu Utsman, tetapi hanya mengatakan bahwa Utsman menyuruh supaya pintunya dibuka. Kami memandang teks-tek Saif lebih dekat dengan kenyataan, walaupun Saif tidak menyebutkan mimpi yang dilihat Utsman dalam tidumya. Saif menceritakan:
Fara pengacau lalu menerobos masuk rumah dari segala arah, hingga tiba-tiba mereka sudah memadati rumah Utsman tanpa sepengetahuan para penjaganya. Penduduk Madinah kemudian datang untuk menengok anak-anak mereka yang melindungi Utsman, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak. Para pengacau mengutus beberapa orang untuk membunuh Utsman, satu orang masuk menemui Utsman unfuk membunuh[1] nyatetapi kemudian ia kembali dan takut membunuhnya, karena Utsman selalu mengingatkan orang-orang yang menghadapnya perihal umat-umat terdahulu. Orang yang terakhir masuk adalah Muhammad bin Abi Bakar, Utsman berkata kepadanya, “Sungguh celakalah kamu! Apakah Engkau marah karena Allah, apa dosa saya kepadamu sehingga engkau berbuat demikian kepadaku?” Mendengar hal ini, ia kembalidan keluar, setelah para pengacau melihat kegagalan membunuh Utsman ini, masuklah ke ruangan Utsman tiga orang pengacau yaitu Qatirah, Saudan bin Hamran As-Sukuniyah dan Al-Ghafiqi. Al-Ghafiqi pertiama-tama memukul Utsman dengan besi yang dipegangnya, lalu ia menendang mushhaf hingga berputar di hadapan Utsman, darah segar mengalir dari tubuh Utsman. Pada waktu itu masuklah Saudan bin Hamran untuk menebaskan pedangnya terhadap Utsman, tetapi usahanya terhalang karena masuklah Nailah binti Al-Farafi shah sambil membawa pedang hingga terjadi perkelahian dan dipeganglah tangan Nailah hingga jatuh pedangnya. Setelah itu baru ia menusuk Utsman dengan pedangnya, mereka pun membunuh budak-budak Utsman, merampok rumahnya lalu mereka beranjak menuju BaitulMal untuk merampoknya.
Setelah mendengar kematian Utsman, Az-Zubair, Thalhah dan Saad bin Abi Waqqas menangis sedih karena pada waktu itu mereka menjauh dari Madinah supaya tidak terlibat dalam.
Masa Utsman memang tidak sama dengan masa Umar, masyarakat pertama-tama menerima Utsman sebagaimana mereka menerima Umar. Tetapi ada perubahan besar setelah enam tahun masa pemerintahan Utsman berlangsung yaitu pembukaan daerah sudah terhenti, hal itu dikarenakan memang kondisinya tidak dapat dilanjutkan lagi. Setelah terhentinya pembukaan daerah muncullah kelas baru dalam masyarakat di pentas peristiwa. Mereka adalah orang-orangA’rab (badui) yang sudah murtad dari Islam. Sungguh tepat tindakan Abu Bakar dengan pandangannya yang jauh ia tidak mengirim orang-orang A’rob itu untuk membuka daerah. Hal ini juga dilakukan oleh Umar bin Al-Khathab dan mereka tidak bersikap lunak sedikit pun dalam hal ini. Sedangkan Utsman telah terpaksa mengirim kabilah-kabilah A’rob Badui dalam ekpansi pembukaan daerah. Mereka sebagian besar adalah orang-orang yang sudah murtad. Daerah yang sudah dibuka sungguh sangat luas sehingga tidak bisa mengambil tenaga dari orang-orang yang bagus Islamnya saja. Sungguh keterpaksaan yang membuat Utsman melakukan hal ini. Maka, bergegaslah orang.orang H rab iniunfuk membuka daerah dengan tujuan mendapatkan ghanimah (harta rampasan) dan mendapatkan harta dan budak. Jika sejarah Islam dicela orang maka celaan itu dikarenakan perbuatan dari mereka[1] mereka ini, dan tidak ada celaan bagi orang-orang lebih dahulu masuk Islam yang telah membuka daerah guna menyiarkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Mereka menyiarkan bukan untuk mencari rampasan perang. Bahkan mereka yang terbunuh dalam peperangan sangat besar jumlahnya, mereka tidak tamak sedikit pun akan rampasan perang. Bahkan musuh yang kuatpun merasa takut dengan orang-orang seperti ini.
Setelah terhentinya pembukaan daerah dan munculnya fenomena Arab dan orang-orang murtad, harta-harta rampasan sudah tidak ada lagi, orang-orangArob mulai bertanya, “Ke mana harta-harta rampasan dulu, ke mana larinya tanah-tanah rampasan dulu? semuanya diserahkan ke BaitulMal dan Utsman membagikannya ke sahabat-sahabatnya saja, hingga mereka mengambilbagian yang besar dari BaitulMal. Baitul Mal tidak untuk para pembuka daerah tetapi hanya untuk para penduduk Madinah saja. Situasi seperti ini adalah situasi yang panas bagi orang-orang yang terbiasa berperang dan tidak memahami agama secara sempurna.
Keadaan seperti ini sangat mudah untuk menjadi jalan masuknya pikiran-pikiran buruk, dan cukuplah hal ini untuk dapat menyulut fitnah apabila ada yang menyalakannya, dan dapat menjadi pendorong bergeraknya orang-orang Arab Badui dan menyatukan sikap mereka, memang merekalah akhimya menjadi pengacau yang melumatkan apa saja.
Saif telah menjelaskan kepada kitaakan perihalkaumfuab badui ini dan hubungan mereka dengan pengacau di Madinah. Hal itu bisa dilihat dari surat Utsman kepada para penduduk di berbagai kota, “Mereka telah menyerang kami yang sedang berada di sisi Rasulullah S hallallahu Alaihi wa Sallam , di haramnya (masjidnya) dan di tanah hijrah, dan mereka dibantu oleh para Arab badui.”
Mereka juga terlihat dari perkataan Aisyah, “Fara pengacau dari beberapa penduduk kota dan orang-orang Asing dari beberapa kabilah Arab badui telah menyerang masjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka membikin kekacauan dan melindungi para pelaku kerusuhan di rumah-rumah mereka mereka telah membunuh Imam kaum Muslimin tanpa ampun dan seterusnya….”
Mereka munculpula yang ketiga kalinya dalam perkataan Ali kepada masyarakat pasca kematian Utsman, “Wahai masyarakat, usirlah orang-orang badui dari daerahmu,” dan berkata, “Wahai fuab badui! Kembalilah ke rumah-rumah kalian.” Para pengikut Ibnu Saba’ enggan sedangkan orang-orang fuab mengikuti perkataan Ali.
Para Arab badui ini hanya mencari harta dan dikendalikan oleh ketamakan saja, mereka juga sudah dihinggapi perasaan dendam terhadap Utsman hingga dengan mudah mengambil setiap perkataan memprovokasi keadaan, keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’ untuk mengerahkan, menyusun dan memberangkatkan mereka ke Madinah untuk menyulut fitnah. Ia memberikan surat palsu yang katanya dari Ali, Thalhah, Az-zubair dan para isteri-isteri Rasul shollollahu Alaihi wo Sallam, hingga ketika mereka bertemu sahabat para Arab badui ini tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan isi hatinya, mereka mendapatkan Utsman seorang sosok yang sangat memenuhi hak-hak mereka, akhimya merekapun pulang dengan sangat rela terhadap Utsman, atau sebagian besar dari mereka rela hatinya, akan tetapi lbnu Saba’ menyusun kembali sebuah surat yangdipalsukan dari Utsman dan distempeldengan stempel yang mirip stempelnya Utsman, dan memalsukan tanda tangan Utsman. Dalam hal ini, menurut mereka ada dua kemungkinan, pertama; Surat itu ditulis Utsman, kedua; Surat itu ditulis oleh sekretaris Utsman, kemungkinan yang kedua mustahil karena mereka tidak akan percaya terhadap surat yang ditulis selaetarisnya.
Waktu itu adalah musim haji. Sebagian besar penduduk Madinah menunaikan ibadah haji, sedangkan yang masih tinggal di Madinah adalah orang-orang yang terhasut membenci Utsman karena hanya memberikan hartanya kepada para sahabatnya saja. Para Sahabat akhirnya menyuruh anak-anaknya untuk melindungi Utsman tetapi sayang mereka telah menguasai kota, para pengacau dapat memegang dan tidak memberikan air kepada Utsman, setelah mengetahui bahwa sebagian penduduk Madinah tidak berada di sampingnya. Utsman pun tidak ingin berperang bersama putera-putera Sahabat demi tidak terjadinya pertumpahan darah. Ia pernah bermimpi diajak baginda Rasul Shollallahu Alaihi wa Sallam untuk berbuka bersamanya hingga ia sangat terkesan dengan mimpi ini. Ia pun menjadi benci akan kehidupan, dan menyerahkan dirinya untuk meninggal dan bertemu Rasul Shollo llahu Alaihi wa Sallam.la menyuruh putera[1] putera sahabat untuk kembali ke rumah mereka masing-masing, tetapi mereka tidak mau meninggalkan Utsman sendirian, mereka tetap berjaga-jaga di depan pintu, akan tetapi para pengacau mengetahui bahwa pertahanan mereka sangat lemah hingga mereka kemudian memaksa masuk ke rumah dan menemui sang Khalifah, mereka mendapatkannya sedang membaca Al-Qur’an, Muhammad bin Abu Bakaryang ingin membunuhnya akhimya tidak tega dan pergi. Sedangkan yang membunuhnya adalah orang-orang Arab badui dari beberapa kabilah. Para Sahabat dikagetkan dengan kematiannya, mereka tidak memperkirakan akan terbunuhnya sang Khalifah akan tetapi ia terbunuh karena kepasrahan dan penyerahannya supaya tidak terjadi pertumpahan darah dari kaum muslimin. Ia telah syahid di dalam menjaga Islam, dalam keperwiraan dan dalam kecintaannya bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Peristiwa ini adalah akibat munculnya generasi baru di masyarakat yang menginginkan kedudukan di antara masyarakat yang lain, mereka digerakkan oleh orang yang busuk dan bertujuan memasukkan Islam dalam petaka. Para sahabat di Madinah tidak sampai berfikir bahwa orang-orang ini sampai melampui batas hingga membunuh Utsman, karena mereka datang mengatasnamakan omar makruf nahi mungkor. Akan tetapi sebagian penduduk Irak dan Mesir begitu juga seperti Al[1] Ahnaf bin Qais mengetahui bahwa perkara ini akan berakhir dengan kematiannya, karena mereka tahu siapakah fuab badui itu sebenamya dan kondisi yang melatarbelakangi mereka.
Saif menafsirkan semua ini dengan peristiwa-peristiwa dan tidak menggunakan dialog. Ia tidak tahu bahwa kita menuntutnya atas semua tafsiran itu, ditemukannya dokumen-dokumen tersebut adalah dari para guru-gurunya, lalu ia menuliskannya dan menceritakan kepada kita, maka sudah terpenuhilah apa yang kita minta dari sejarah.
Pembaiatan Ali bin Abi Thalib dan Sikapnya Terhadap Para Pengacau
Setelah memperhatikan hal-hal di atas kami dapat mempercayai Saif dan dapat menjadikan riwayatnya sebagai pegangan, karena ia mengikuti peristiwa fitnah hingga akhir perang Jamal dengan jalur periwayatannya sendiri. Mari kita ikuti kisah-kisahnya hingga akhir perang Jamal dengan keyakinan bahwa ialah sejarawan yang paling mendekati kebenaran saja, ia berkata yang secara ringkasnya sebagai berikut:
Setelah kematian Utsman, Madinah dipimpin oleh salah seorang dari pengacau yaitu Al-Ghafiqi bin Harb. Selama lima hari berkuasa mereka lantas mencari orang yang mau dan mampu menjadi Khalifah. Orang-orang Mesir datang menghadap Ali bin Abi Thalib, Ali sendiri menghindar dari mereka. Setelah mereka menemukan Ali, Ali lantas mengusir mereka dan tidak bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan sedikit pun. Orang-orang Kufah juga mencari Zubair tetapi tidak menemukannya, merekapun lantas mengirim beberapa utusan untuk menemuinya, tetapi Zubair malah mengusir para ufusan ini dan tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Thalhah juga melakukan halyang sama dalam menghadapi orang-orang Bashrah. Para pengacau yang telah bersepakat untuk membunuh Utsman ini akhirnya berselisih untuk mengangkat siapa yang berhak menjadi Khalifah setelah kematiannya. Setelah mendengar jawaban dari ketiganya, mereka lantas mengatakan, “Kami tidak akan mengangkat mereka bertiga.”
Mereka lalu mengutusorangkepadaSaid bin Abi Waqqas, mereka mengatakan, n’Engkau adalah termasuk dari Ahli Syura maka majulah akan kami baiat.” Ia menjawab, “Saya dan lbnu Umar tidak menerimanya, aku tidak membutuhkan menjadi khalifah sedikit pun.” Mereka kemudian menemui Abdullah bin Umar, mereka mengatakan, “Engkau adalah putera dari Umar bin Al-Khathab, maka majulah mengambil tampuk khilafah ini!” Ia menjawab, “Sungguh hal ini akan mendapat balasan, demi Allah aku tidak-akan mengambilnya, carilah orang selain aku.” Mereka menjadi bingung tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Demikianlah kami tegaskan bahwa para sahabat tidak mau terlibat dengan mereka dan tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.
Di sini selesailah riwayat Saif dari Muhammad, Thalhah, Abu Haritsah dan Abu Utsman, akan tetapi Abu Haritsah dan Abu Ubman masih melanjutkan ceritanya, mereka mengatakan secara ringkasnya:
Pada hari Kamis, genap 5 hari pasca kematian Utsman, para pengacau lalu mengumpulkan penduduk Madinah. Mereka tidak menemukan Sa’ad dan Zubair karena telah keluar meninggalkan Madinah, dan menemukan Thalhah di kebunnya. Mereka juga telah mengetahui bahwa keturunan Bani Umayyah telah melarikan diri dari Madinah kecuali orang-orang yang tidak berdaya saja. Setelah penduduk Madinah berkumpul, penduduk Mesirberkata, “Kalian semua adalah ahli Syura, engkaulah yang menenhrkan pemimpin, pilihan kalian akan diikuti oleh penduduk yang lain, pilihtah orang yang paling cocok dan kami akan mengikutinya.” Maka sebagian besar hadirin berteriak, “Ali bin Abi Thalib, kami rela dengannya. ” Sampai di sini apa yang diceritakan oleh Abu Utsman dan Abu Haritsah, sedangkan Muhammad dan Thalhah masih mengikuti kisah fitnah ini hingga Saif pun mengambil kisah dari keduanya. Kami mengambil kisah-kisah tersebut karena sejarahnya sudah jelas sehingga dapat kami jadikan pegangan. Inilah yang dikatakan para pengacau terhadap penduduk Madinah secara ringkasnya:
“Wahai penduduk Madinah! Ajukanlah pemimpin dari kalian, kami telah memberikan tangguh dua hari kepadamu, demi Allah! jika kalian tidak melakukannya maka bdsok akan kami bunuh Ali, Thalhah, Zubair dan sebagian besar masyarakat!” Maka bergegaslah orang-orang menemui Ali dan mengatakan, “Kami membaiatm! Kami telah melihat kedudukanmu dalam Islam dan pada masa kami diuji.’l Ali menjawab, “Tinggalkan saya dan carilah orang selain saya, bagaimana kita menerima pgrkara yang belum jelas, tidak diterima oleh hati dan tidak jelas secara nalar.” Mereka menjawab, “Demi Allah kami juga sependapat dengan engkau, Apakah engkau tidak melihat Islam? Apakah engkau tidak melihat fitnah ini?.Apakah engkau tidak takut akan Allah?” Ia menjawab, ‘Aku terima permintaan kalian dan ketahuilah bahwa aku akan melakukan untukmu segenap apa yang aku ketahui, jika engkau meninggalkan aku maka aku akan menjadi seperti salah seorang daripada kamu ,dan aku akan menjadi orang yang paling taat kepada orang yang kalian pilih.” Kemudian mereka berpencar dan membaiat Ali.
Para pengacau kemudian bermusyawarah di antara mereka sendiri, ‘iJika Thalhah dan Zubair membaiat maka sudah selesailah perkara.” Orang-omng Bashrah lantas mengirim utusan ke Thalhah dan orang-orang Kufah mengirim utusan ke Zubair guna dapat membawa mereka ke Madinah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Saif.
Esok paginya pada hari Jum’at, masyarakat sudah berkumpul di masjid, Ali datang ke masjid dan langsung berkhutbah, “Wahai para hadirin, ini adalah umsan kalian, tidak ada yang berhak mengambilnya kecuali orang yang kalian pilih saja, kita telah berselisih kemarin. Kalau kalian menghendaki saya untuk duduk maka saya akan duduk, jika tidak maka aku tidak akan mencela seorang pun.” Mereka mengatakan,
“Kami masih berselisih seperti kemarin.” Lalu datanglah orang-orang bersama Thalhah mengatakan, “la telah membaiat kamu.” Thalhah mengatakan, “sesungguhnya aku membaiat unfuk menumpas tipu daya ini.” Dialah orang pertama yang membaiat Ali, lalu didatangkanlah Zubair, iapun membaiat seperti Thalhah -mengenai pembaiatan Zubair ada selisih periwayatan-. [-alu didatangkanlah orang-onng yang dulu berselisih dan mengatakan, “Kami membaiat untuk ditegakkannya Kitab Allah di tempat yang dekat maupun jauh, terhadap orang yang mulia maupun orang yang hina.” Mereka kemudian membaiat Ali dan berdirilah masyarakat membaiat Ali semuanya.
Nampak di sini bahwa penduduk Madinah sangat konsisten untuk mengakhiri fitnah ini, dan Ali menerima khilafah ini untuk melepaskan masyarakat dan kaum muslimin dari fitnah ini, dan nampak bahwa Zubair dan Thalhah membaiatnya dengan terpaksa, untuk itu ia dapat keluar dari baiat sewaktu-waktu.
Muhammad dan Talhah melanjutkan ceritanya, “Orang[1] orang pengikut Ibnu Saba’mengancam Ali untuk menghukum para pengacau, di sisi lain datang Thalhah, Zubair dan sebagian Sahabat. Mereka mengatakan, “Wahai Ali, kamitelah mensyaratkan kamu untuk menegakkan hukum-hukum Allah, mereka para pengacau telah bersekufu membunuh orang ini (Utsman), untuk itu mereka wajib dihukum.” Ali menjawab, “Wahai saudara-saudaraku, aku bukannya tidak tahu apa yang kalian inginkan, tetapi apa yang harus saya lakukan terhadap kaum yang menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Mereka telah dibantu oleh budak-budak kamu dan orang-orang Arab badui dari kamu. Mereka telah melakukan apa saja yang mereka kehendaki, adakah yang dapat kita lakukan terhadap mereka? Demi Allah, aku sependapat dengan apa yang kalian inginkan insyaAllah, biarkanlah aku menenangkan diri terlebih dahulu.”
Ali bersikap keras terhadap orang-orang Quraisy yang lari dari Madinah. Ia pun melarang Bani Umayyah untuk lari keluar Madinah, pada waktu inilah berselisih masyarakat. Sebagian mereka mengatakan, “Demi Allah, jika pelarian diri masih terus berlangsung maka siapa yang akan menangkap para pengacau tersebut?” Sebagian lagi mengatakan, “Kita harus menghukum para pengacau tanpa menangguhkannya. Demi Allah! Ali hanya menggunakan pendapatnya sendiri saja dan tidak menampung pendapat kita, kami melihat perkara orang Quraisy lebih kuat dari pendapat orang-orang lainnya-” Mendengar halini Ali berdiri, Setelah memuji Allah, ia mengingatkan kemuliaan bangsa Quraisy dan bagaimana Ali sangat membutuhkan mereka. Ia menyeru, “Aku tidak bertanggung jawab atas hamba yang keluar dari tuannya.” Maka tersinggunglah pengikut Ibnu Saba’ dan Arab badui, mereka berkata, “Suatu saat kami akan mengalahkan orang Quraisy dan sekarang memang kami tidak bisa membantah hal ini.”
Pada hari ketiganya, Ali keluar menemui para pengacau, dan berpidato, “Wahai masyarakat, keluarkanlah orang-orang Arab dari kotamu!” Mereka menyambut dengan mengatakan, “Wahai para Arab badui! Kembalilah ke daerah-daerah kamu.” Maka pengikut Saba’ menolak seruan ini, sedangkan orang-orang Arab badui menemui Ali di rumahnya. Mereka juga menemui Thalhah, Zubair dan sebagian Sahabat sambil menantang, “Tunjukkan balas dendammu kepada kami!” Maka sebagian sahabat menasehati Ali untuk tidak melakukan balas dendam kepada mereka sekarang. Thalhah mengatakan, “Biarkan kita berpikir sejenak.” Zubair juga menjawab demikian kepada mereka.
Dalam cerita ini dapat diketahui bahwa Ali ingin meng[1] hukum mereka tetapi para sahabatnya tidak sepakat dengan pendapatAli.
Mughirah bin Syu’bah menasehati Ali untuk membiarkan para pegawai Utsman di seluruh kota tetap menjadi pegawai dan tidak memecatnyd, tetapi Ali tidak menerima pendapatnya. Pada hari berikutnya ia datanglagi dan menasehatinya untukmemecat mereka, dan masuklah Abdullah bin Abbas kepada Ali sambal mengatakan, “Kemarin ia memang menasehatimu dan sekarang ia telah menipumu.”
Tidak nampak di sini kenapaAli bersikeras unfuk memecat pegawai-pegawai Utsman, tetapi kami dapat menganalisa sikap Ali itu karena ia yakin bahwa bencana ini datang dari para pegawai-pegawai Utsman, untuk itu ia harus memecat mereka semua.
Ali kemudian mengirimkan pegawai-pegawainya ke seluruh kota. Mereka diterima dengan buruk oleh para penduduk kota masing-masing, sebagian dari mereka kembali. Ali lantas memanggilThalhah dan Zubairdan berkata, ‘Apa yang aku peringatkan kepadamu ternyata sudah terjadi, ini adalah fitnah seperti api, semakin berkobar maka semakin besar dan semakin panas.” Mereka berdua menjawab, “lzinkan kami keluar dari Madinah.” Lalu Ali berkata, ‘Akan aku pegang perkara ini semampuku, jika tidak bisa maka obat terakhir adalah perang.”
Ia lalu menulis surat kepada Muawiyah dan kepada Abu Musa, ia menulis surat kepada Abu Musa untuk meminta ketaatan penduduk Kufah. Sedangkan Muawiyah malah membunuh utusan Ali. Ia kemudian mengutus orang untuk membawa surat kepadaAli tanpa ada isinya, Ali berkatakepada utusan Muawiyah ini, ‘Apakah kalian aman bersama saya?” Ia menjawab, “Utusan diberi keamanan dan tidak dibunuh, kami mewakili kaum yang tidak rela kecualibalas dendam.” Ia bertanya, “Dendam dengan siapa?” Utusan itu menjawab, “Dari diri Anda.” Ali menjawab, “Kalian telah membiarkan 60.000 orang tua menangisi pakaian Utsman, dan mereka menaruh pakaian Utsman di mimbar kota Damaskus. Kalian menuntut darah Utsman dariku. Saya sama kedudukan dengan Utsman. Ya Allah, aku tidak terlibat dari darah Utsman, sungguh celaka dan merugi sang pembunuh Utsman.”
Perselisihan antara Aisyah, Thalhah, dan Ibnu Zubair dengan Ali
Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali untuk menunaikan ibadah Umrah. Iapun mengizinkan keduanya berangkat ke Makkah, Ali tinggalmengurusi Muawiyah saja, ia mengangkat sebagian Sahabat untuk menjadi pegawainya dan tidak memberikan posisi satupun kepada pegawai Utsman. Ia berkhutbah di depan penduduk Madinah yang bunyi khutbahnya antara lain, “Bangkitlah menuju mereka yang telah mencerai[1] beraikan jamaah kalian, semoga Allah memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh perusuh dari pinggiran, dan supaya hilang beban-beban kalian.”
Ia juga menyerukan kepada penduduk Makkah dengan pidatonya, “Sesungguhnya Allah memberikan orang yang menzhalimi umat ini maaf dan ampunan, dan mengaruniakan kemenangan serta pertolongan bagi orang-orang yang konsisten di jalan-Nya, barangsiapa tidak mengambil kebenaran maka ia telah mengambil kebatilan. Ketahuilah bahwa Thalhah, Zubair dan Ummul mukminin telah menuduh saya dan mengajak manusia untuk berdamai, jika mereka berhenti maka kami akan membiarkan mereka, dan kami hanya berbuat sesuai dengan apa yang kami ketahui tentang mereka.”
Kemudian ia mendapatkan berita bahwa mereka juga menuju Bashrah untuk melihat dan melakukan perdamaian di sana. Ia pun ingin menemui mereka. Ia berkata: “Jika mereka meminta baiat di sana maka putuslah kepemimpinan kaum Muslimin.” Dan Ibnu Umar samasekali tidak berkeinginan untuk keluar bersama Ali.
Aisyah -setelah mendengar kematian Utsman berkhutbah di Makkah. Ia membela para pegawai Utsman di Makkah, gubernur Makkah pada waktu itu Abdullah bin Amir Al- Hadhrami dan keluarga Bani Umayyah menerima ajakan Aisyah ini.
Thalhah dan Zubair telah sampai di kota Makkah dan menemui Aisyah, Aisyah bertanya, “Bagaimana kota Madinah yang kamu tinggalkan?” Mereka menjawab, “Kami membawa barang-barang kami pergi dari Madinah dan pergi dari para perusuh yang dibantu oleh orang-orang Arab badui, kami meninggalkan sebuah kaum yang bingung, tidak membenarkan kebenaran dan tidak mengingkari kebatilan, tidak mencegah diri[1] diri mereka (maksud mereka adalah Ali dan para pendukungnya).” Aisyah kemudian berkata, “Persiapkanlah segalanya dan berangkatlah menuju para p€msuh itu.”
Ketika tekad mereka menuju Bashrah sudah bulat maka mereka berkata, “wahai Ummul mukminin, pergilah bersama kami ke Madinah, sesungguhnya kami pergi ke negeri yang terabaikan, maka bangkitkanlah mereka sebagaimana engkau membangkitkan penduduk Makkah. ” Lalu ia pun menyetujuinya.
Berita pertemuan mereka dan perkataan Aisyah untuk berangkat ke Bashrah telah terdengar oleh Ali, Ali lalu bergegas dengan pasukannya menuju Syam. Ikut bersama rombongan Ali orang-orang dariKufah dan Bashrah yang jumlahnyasekitar 700 orang. Ali berharap bisa bertemu dengan Aisyah dan sahabat-sahabatnya di persimpangan jalan, akan tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Abdullah bin Salam yang mengatakan, “Wahai Amirul mukminin, janganlah engkau pergi ke sana, demi Allah jika engkau ke sana niscaya engkau tidak akan pulang dan tidak ada pemimpin umat Islam lagi.”
Aisyah sudah berangkat menuju Bashrah. Di sisi lain Utsman bin Hanif yang menjadi gubemur Bashrah pro-Ali telah mengutus Abul Aswad Ad-Duali dan kawannya unfuk menemui Aisyah. Setelah bertemu Aisyah ia berkata, “Pemimpin kami mengutus kami untuk menanyakan tujuan perjalanan baginda, apakah kepergian baginda untuk umsan yang sifatnya rahasia?” Ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak pergi untuk perkara yang rahasia, parapemsuh dari berbagai kota dan dari berbagaikabilah telah menyerbu masjid Rasulullah Shallallohu Alaihi wa Sallom dan membuat kekacauan di dalamnya, mereka telah menampung para perusuh ini hingga berhak mendapat laknat Allah dan Rasul-Nya, mereka telah membunuh Amirulmukminin tanpa ada alasan yang jelas, mereka menghalalkan dan menumpahkan darah, mengotori tanah haram dan bulan haram, mereka merampas harta, mencabik-cabik kehormatan, mereka tinggali daerah yang kaumnya membencinya, mereka adalah kaum yang rusak dan merusak, tidak ada manfaat sedikitpun dari mereka, mereka tidak memberikan keamanan, untuk itu aku pergi menemui kaum muslimin dan memberitahukan kepada mereka untuk memperbaiki kondisi ini.” Lalu ia membaca ayat yang artinya , “Tidak ada kebaikan dalam sebagian besor bisikon mereka kecuali orang yong memerintahkan sedekah atou hal yang mokruf atau memperboiki hubungan antar manusia.”
Mendengar halini Abulfuwad dan Imran mohon pamit kepada Aisyah kemudian menemui Thalhah, mereka berkata, Apa yang membuat engkau melakukan hal ini?” Ia menjawab, “Meminta pertanggungiawaban atas darah Utsman.” Mereka berkata, “Bukankah engkau telah membaiat Ali?” Ia menjawab, “Ya, karena pedang sudah berada di leherku. Saya akan memusuhi Ali selama ia memisahkan antara kami dan para pembunuh Utsman.”
Mereka kemudian menemui Zubair dan ia pun menjawab hal yang sama dengan Thalhah.
Aisyah dan para sahabahrya sudah sampai di Bashrah, ia pun berpidato di depan penduduk Bashrah. Para pendukung Utsman bin Hanif pecah menjadi dua golongan, sebagian golongan mengatakan, “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Aisyah, demi Allah apa yang dikatakannya adalah hal yang baik.” Lalu Aisyah pun menyingkir. Sedangkan penduduk Bashrah berselisih, para pendukung Utsman bin Hanif juga membuat kelompok sendiri dan sebagian penduduk Bashrah bergabung dalam barisan Aisyah.
Melihat hal ini Hakim bin Jabalah (salah satu pembunuh Utsman)maju ke depan dan memulai peperangan.
Akan tetapi kedua belah pihak akhirnya berdamai dan menunggu kepastian apakah Thalhah dan Zubair membaiat karena terpaksa ataukah tidak, jika yang pertama benar maka yang benar adalah mereka berdua, dan jika tidak maka yang benar adalah Utsman bin Hanif, mereka lalu mengirim Ka’ab untuk mengklarifikasi hal ini di Madinah, ia lalu bertemu dengan Usamah bin Zaid, ia mengatakan, “Mereka berdua membaiat karena dipaksa.” Lalu berdirilah sebagian perusuh, dan karena takut akan keselamatan Ka’ab sebagian Sahabat menimpali, “Benaq mereka membaiat dengan senang hati.”
Aisyah juga mengirim surat ke penduduk Kufah yang isinya, “Kami telah masuk kota Bashrah, dan mengajak mereka untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dan syariatnya, sebagian mereka yang shaleh menerima hal ini tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan. Sedangkan yang lain berbuat kasar dan mengkafirkan kami, dan berbicara kepada kami dengan hal yang mungkar, kami lalu membacakan ayat:
‘Apakah engkau belum melihat orang-orang yong diberi[1] kan Al Ktab mereko diajak ke kitab Alloh untuk menghukumi di antara mereka.” Sebagian di antara mereka tunduk kepadaku dan sebagian yang lain berselisih, kami tinggalkan mereka yang melepaskan senjata mereka, sedangkan Utsman bin Hanif menyerukan untuk memerangi kami, kami menginap 26 malam untuk mengajak kepada kitab Allah dan mendirikan hukum[1] hukumnya guna melindungi pertumpahan darah, mereka menolak dan memberikan alasan yang bermacam-macam dan kami pun mengajak berdamai dengan mereka, tetapi mereka mengkhianati dan memerangi kami, kami pun terpaksa memerangi mereka hingga mereka terbunuh semuanya kecuali safu orang saja yang melarikan diri.”
Pertempuran itu dimenangkan oleh pihak Aisyah, dan terbunuhlah orang-orang yang bersekutu membunuh Utsman kecuali seorang saja yang melarikan diri. Sebenarnya Aisyah ingin menghindari pertumpahan darah tetapi tidak mampu hingga terjadilah pertempuran tersebut.
Ali kemudian menuju Rabadzah di daerah Kufah dan untuk melanjutkan perjalanannya ke Bashrah dengan membawa pasukan. Ketika hendak berangkat ke Bashrah ia dicegat oleh Ibnu Rifa’ah bin Rafi’ yang bertanya, “Wahai Amirul mukminin! Kemana engkau akan pergi dengan membawa kami?” Ali menjawab: “Kami hanya menginginkan perdamaian jika diterima oleh Aisyah dan pendukungnya.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana kalau mereka tidak mau menerima?” Ia menjawab, “Kami membiarkan mereka, kami berikan hak kepada mereka, dan kami bersabar.” Ia bertanya, “Bagaimana kalau mereka tidak rela?” Ia menjawab, “Kami membiarkan mereka selama mereka membiarkan kami?” Ia bertanya, “Bagaimana jika mereka tidak membiarkan kita?” Ia menjawab, “Kami akan cegah mereka.” Ia menjawab, “Benar yang engkau katakan.”
Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Ja’far sudah datang ke Kufah, kemudian mereka menemui Abu Musa Al-fuy’ari dengan membawa surat dari Ali bin Abi Thalib, ia tidak memberi jawaban apa-apa terhadap surat tersebut, mereka berdua akhirnya marah dan bersikap keras terhadap Abu Musa, Abu Musa berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku masih memegang bai’atnya Utsman, jika kami memang harus berperang maka kami tidak akan memerangi seseorang pun sampai dibunuhnya para pembunuh Utsman di manapun berada, keduanya lalu berangkat menghadap Ali dan menceritakan kisah mereka dengan Abu Musa. Pada waktu itu Ali tengah menuju Kufah didampingi oleh Malik Al-Asytar, Ali kemudian berkata, “Wahai Asytar, engkau adalah sahabat Abu Musa dan menjadi wakil dalam segala sesuatu, pergilah engkau bersama Abdullah bin Abbas, perbaikilah apa-apa yang telah rusak!” Lalu berangkatlah Abdullah bin Abbas bersama Al-Asytar menuju Kufah, mereka didampingi oleh beberapa penduduk Kufah menemui Abu Musa untuk bergabung dalam barisan Ali, akan tetapi Abu Musa tetap menolaknya.
Ketika Ibnu Abbas kembali menghadap Ali dan mencerita[1] kan tentang Abu Musa, Hasan mengusulkan kepada ayahnya Ali untuk mengutusnya dan Ammar bin Yasir untuk menemui Abu Musa, Ali berkata kepada Ammar, “Pergilah dan perbaikilah hal[1] hal yang telah rusak.” Mereka lalu berangkat menuju Kufah, setelah sampai Kufah mereka langung memasuki masjid, orang pertama yang menemui mereka adalah Masruq bin Al-Ajda’, ia langsung mengucapkan salam kepada mereka berdua dan berkata kepada Ammar, “Wahai Abul Yaqzhan! Apa yang membuat engkau membunuh Utsman?” Ia menjawab, “la telah mencabik-cabik kehormatan kami dan memukuli para penduduk kami.” Ia menjawab, “Demi Allah, engkau telah melakukan lebih daripada perlakuan mereka kepadamu, dan jika engkau sabar maka hal itu baik bagi orang-orang yang sabar.”
Abu Musa kemudian keluar dan menemui Hasan dan memeluknya, ia kemudian ia juga menemui Ammar dan berkata, ‘Apakah engkau ikut bersama orang-orang yang memusuhi Amirul mukminin, sehingga ikut bergabung dengan orang-orang jahat?” Ammar menjawab, “Aku tidak melakukannya, lalu kenapa engkau memusuhikami?” Hasan lalu memotong perdebatan mereka.
Hasan lalu mendatangi Abu Musa, “Wahai Abu Musa, apa yang membuat engkau mengajak manusia untuk menjauh dari kami? Demi Allah kami hanya mengharapkan perbaikan, dan Amirulmukminin tidak pernah takut akan adanya kerusuhan sedikit pun.” Abu Musa menjawab, “Sungguh benar engkau.” Lalu terjadi keributan sedikit, kemudian para penduduk Kufah bersepakat untuk membaiat Ali bin Abi Thalib.
Perang Jamal
Ali bin Abi Thalib mengutus Al-Qa’qa’ bin Amru -ia adalah salah satu sahabat Nabi Shollallahu Alaihi uro Sallom dan memerintahkannya, “Temuilah dua orang ini: Thalhah dan Zubair, ajaklah mereka berdua untuk menjaga persatuan dan jamaah, dan nasehatilah dia untuk tidak berselisih dan bersengketa. ” Al-Qa’qa’ kemudian berangkat menuju Bashrah. Dan setelah sampai di kota Bashrah, ia langsung menemui Aisyah, pertama-tama ia mengucapkan salam kepadanya, kemudian ia bertanya kepada Aisyah, “Wahai ibundaku, apa yang membuat ibunda datang kemari?” Ia menjawab, “Unfuk melakukan ishlah (perdamaian) antar manusia.” Ia lalu berkata, “Utuslah Thalhah dan Zubair kemari sehingga ibunda mendengar perkataan kami dan mereka berdua.” Lalu ia mengutus seseorang untuk memanggil mereka berdua, maka datanglah mereka berdua, Al-Qa’qa’ berkata, ‘Aku telah bertanya kepada ibunda Aisyah perihaltujuan keberangkatan dan kedatangan ia ke kota ini, dan iapun sudah menjawab untuk memperbaiki hubungan antara manusia, bagaimana pendapatmu: setuju apa yang dikatakan ia ataukah tidak?” Mereka menjawab, “Kami sepakat dengannya.” Al-Qa’qa’ bertanya, “lshlah yang bagaimana yang engkau maksudkan? Demi Allah, kalau kami mengetahuinya maka akan kami laksanakan.” Mereka berdua menjawab, “Para perusuh telah membunuh Utsman bin Affan, dan jikalau mereka dibiarkan maka berarti membiarkan Al- Qur’an dan Sunnah.” Al-Qa’qa’ menjawab, “Engkau malah telah membunuh para pembunuh Utsman dan lainnya dari penduduk Bashrah, dan engkau sebelum membunuh mereka dalam keadaan yang lebih baik daripada sekarang. Engkau telah membunuh 600 dari mereka kecuali satu orang mengakibatkan 6000 orang marah demi mereka hingga mereka meninggalkan kamu dan keluar dari barisan kamu, engkau meminta dihadirkan satu orang yang lari (Hurqush bin Zuhair) dan merekapun menolaknya, padahal jika engkau membaiat kami maka hal itu sebagai pertanda baik akan datangnya rahmat dan akan dapat membalaskan kematian Utsman serta menyebabkan keselamatan umat ini.” Mereka menjawab, “Benar yang engkau katakan, unfuk itu pulanglah jika Ali seperti pendapatrnu maka sudah selesailah perkara ini.” Lalu ia pun pulang kembali menghadap Ali dan memberitahukannya, Ali sangatgembira mendengar hal ini, hingga ia memimpin sendiri upaya perdamaian ini.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Ali sangat ingin terus melacak para pembunuh Utsman, akan tetapi ketika hal itu dilakukan, umat Islam akan terjebak dalam dua golongan yang salingbertikai.
Beberapa rombongan dari penduduk Bashrah telah datang ke Kufah, kemudian Ali binAbiThalib berpidato didepan mereka, “Ketahuilah bahwa aku akan berangkat besok, dan ketahuilah jangan sampai besok pagi ikut dalam rombonganku orang yang ikut membantu dalam pembunuhan Utsman.” Sebagian para perusuh berkumpul dan bertanya, ‘Ada apa ini?” Al-Asytar berdiri dan berkata, “Thalhah dan Zubair kita telah mengetahui perkara mereka, sedangkan Ali bin Abi Thalib kita tidakmengetahui apayang ia inginkan sampai hari ini, dan orang-orang juga telah memandang kita, demi Allah Yang Maha Esa, jika Ali dan Aisyah berdamai maka mereka akan bersepakat untuk menumpahkan darah-darah kita. Untuk itu marilah sekarang kita bunuh Ali supaya menyusul nasib Utsman, dan kita hembuskan fitnah lagi sehingga manusia lupa akan urusan mereka membunuh kita.”
Abdullah bin Saba’menjawab, “Fendapatmu adalah paling konyol, kamu dari penduduk Kufah berangkatlah bersama Dzi Qar dengan membawa 2500 atau 2600 pasukan, sedangkan lbnu Hanzhalah dan sahabat-sahabatnya membawa 5000 pasukan, jangan memancing pertempuran, jagalah diri kalian, janganlah mengangkat beban yang kalian tidak kuat mengangkatnya.” Kemudian ada orang selain Al-Asytar berbicara, lalu lbnu Saba’ langsung berbicara lagi, “Wahai kaum! Sesungguhnya kemuliaan kamu adalah selama kamu bergabung dengan manusia, maka bergabunglah dengan mereka. Jika orang-orang sudah berkumpul besok pagi maka mulailah peperangan, dan jangan jadikan manusia dapat berkomunikasi sesama mereka.”
Dari teks di atas dapat dipahami bahwa Ibnu Saba’telah menasehati para pendukungnya untuk menyerang lbnu Zubair dan Thalhah sehingga mereka mengira bahwa tentara Ali yang menyerang mereka, sehingga Zubair dan Thalhah akan bersama penduduk Kufah. Mereka akan menasehatinya untuk memerangi Ali dan mereka berdua akan setuju dengan hal itu.
Ali bin Abi Thalib berpidato, ia memuji dan memuji kepada Allah dan berkata, “Wahai para hadirin, kendalikanlah dirimu, jagalah tanganmu dan lisanmu terhadap mereka yang datang, karena mereka adalah saudara-saudaramu, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kalian, jangalah kalian bertindak mendahului kami, karena lawan kita besok pagi adalah orang yang melawan sekarang.” Kemudian ia meninggalkan tempat tersebut.
Sikap kedua belah pihak adalah satu yaitu menghendaki kesepahaman dan perdamaian.
Ketika masyarakat sudah tenang maka berangkatlah Ali dan keluarlah Thalhah dan Zubair mereka telah sepakat untuk mendamaikan hal-hal yang mereka perselisihkan, dan akhirnya mereka berdamai dan berjanji tidak memerangi satu sama lain, kemudian mereka kembali ke tempatnya masing-masing.
Ketika mereka masih dalam keadaan damai maka para perusuh yang telah membanhr pembunuhan Utsman begadang dan tidak tidur malam harinya, mereka bermusyawarah semalam suntuk, mereka bersepakat untuk mengobarkan pertempuran secara rahasia, mereka kemudian menyelinap secara diam-diam tanpa terdengar oleh para tetangga mereka. Pada malam yang gelap itu mereka yang berasaldari kabilah Mudhar menemui orang-orang Mudhar yang berada di pihak Aisyah, begitu juga orang-orang dari kabilah Rabi’ah menemui omng-orang Rabi’ah yang ada dipihaknya, dan orang-orang Yaman menemui mereka yang berasal dari Yaman di barisan Aisyah. Mereka sudah menempelkan senjata-senjata mereka hingga guguplah mereka. Melihat hal ini para pasukan dari Bashrah dan lainnya bergolak dan memerangi mereka yang datang, lalu keluarlah Zubair dan Thalhah di hadapan orang-orang Mudhar dan mengatakan,’Ada apakah ini?” Mereka menjawab, l’Kami diserang pada malam hari.” Lalu keduanya berkata, “Sekarang kita telah mengetahui bahwa Ali tidak mau berhenti kecuali dengan pertumpahan darah.” Kemudian keduanya kembali ke pasukan Bashrah, pasukan Bashrah kemudian memerangi para penyerang malam tersebut hingga mereka melarikan diri ke tempat mereka masing-masing.
Ali dan penduduk Kufah mengetahui hal ini, para perusuh sudah mempersiapkan orang di samping Ali untuk memberitahu apa-apa y’ang mereka inginkan, Ali bertanya, ‘Ada apa ini?” Lelaki ini menjawab, “Kami mendadak diserang oleh kaum yang tinggal bersama kami sehingga kami mengusir mereka ke kemah-kemah mereka masing-masing. ”
Ali lalu berkata kepada orang sebelah kanannya, “Datangkanlah pasukan dari kanan saya!” Lalu ia berkata pula kepada orang di sebelah kirinya untuk mendatangkan pasukan dari sebelah kirinya. “Aku akhirnya mengetahui bahwa Thalhah dan Zubair tidak pernah berhenti kecuali dengan pertumpahan darah,” ujarnya.
Kemudian Ali berdiri dan berpidato di depan pasukannya, “Wahai manusia! Tenanglah! tidak terjadi apa-apa.” Karena termasuk kesepakatan mereka untuk tidak saling memerangi kecuali setelah jalur diplomatik sudah buntu, tidak membunuh orang yang sudah lari dan tidak menganiaya orang yang terluka.
Pidato Ali di atas menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Aisyah sesungguhnya tidak terpengaruh sama sekali dengan fitnah, mereka malah sepakat untuk berdamai dan tidak berperang kecuali setelah pufus semua prasarana perdamaian.
Menurut riwayat Muhammad dan Abu Amru mereka mengatakan, “Ka’ab bin Tsaur menemui Aisyah dan berkata, “Lihatlah orang-orang! Mereka hanya menginginkan peperangan, sernoga Allah memperbaiki urusanmu.” Ia lalu memakai pakaian perangnya dan menaiki untanya, sampai ketika rumah-rumah sudah nampak olehnya, ia mendengar suara perusuh yang datang bergemuruh, ia bertanya, “Suara apakah ini?” Mereka menjawab, “ltu suara serbuan pasukan.” Ia kemudian bertanya, “Untuk hal yang baik ataukah yang buruk?” Mereka menjawab, “Untuk halyang buruk.” Ia bertanya lagi, “Barangsiapa bersama gemuruh pasukan tersebut maka mereka akan terkalahkan.” Tidak beberapa lama terjadilah pertempuran hingga terdengar berita kekalahan pasukannya, lalu Zubair dan pasukan menyusuri lembah As-Siba’, sedangkan Thalhah membalas serangan mereka dengan busur-busur panahnya.
Saif tidak menceritakan bagaimana hal ini bisa terjadi, mungkin beberapa perkataannya sudah hilang, karena sampai sekarang ia masih mencari penafsiran segala sesuatu, akan tetapi mungkin kami bisa menyajikan semampunya sebagai berikut: Orang-orang pengikut Ibnu Saba’ masih menyerang pasukan Aisyah, Zubair dan Thalhah dengan pedang-pedang mereka, dengan panah-panah mereka dan dengan tombak-tombak mereka, sudah sewajarnya kalau tentara Bashrah juga membalas serangan mereka, dan terjadilah pertempuran. Bagaimanapun bentuk penafsirannya yang jelas Aisyah tidak menghendaki peperangan, malah ia keluar untuk melerai pertempuran hingga terjadilah hal yang tidak diduga-duga ini.
Pasukan Bashrah yang dipimpin oleh Zubair akhirnya Kalah dan ia pun terluka dengan tusukan panah, sedangkan Thalhah kembali ke Bashrah lagi setelah terkena oleh anak panah,lalu Aisyah berkata kepada Ka’ab angkatlah kitab Allah dan ajaklah mereka untuk menegakkan kitab Allah, lalu ia menyerahkannya kepada Ka’ab. Fara pasukan Ali menerima hal ini, dan Ali pun setuju dengan penegakan kitab Allah ini, tetapi pengikut lbnu Saba’masih takut akan terjadinya perdamaian. Mereka lalu melempari Ka’ab dengan panah hingga terbunuh, mereka juga melempari Aisyah yang berada di unta dengan senjata-senjata mereka hingga ia berteriak, “Wahai bekas-bekas pasukanku! Ingatlah kepada Allah dan Hari Penghisaban!” Mereka mengabaikan seruan ia hingga ia berteriak lagi, “Wahai manusia! Laknatilah para pembunuh Utsman dan para pembantu-pembanfunya!” Mereka pun menerima seruan Aisyah ini, dan Ali pun mendengarnya lalu bertanya, “seruan apakah ini?” Mereka menjawab, ‘Aisyah menyeru untuk menyerang para pembunuh Utsman dan pendukung-pendukungnya.” Ali pun menerima seruan Aisyah dengan mengatakan, “Ya Allah! Laknatilah para pembunuh Utsman dan para pendukungnya.”
Sedangkan menurut riwayat Muhammad dan Thalhah secara ringkasnya:
“Pertempuran terus berlangsung hingga pertengahan hari, Thalhah terluka sedangkan Zubair pergi dengan pasukannya, dua pasukan telah bertabrakan. Pasukan sayap kanan Bashrah dikalahkan oleh tentara kanan Kufah, dan tentara Rabiah Bashrah dikalahkan oleh Rabiah Kufah, lalu Ali yang membawahi pasukan Mudhar Kufah mengalahkan pasukan Mudhar Bashrah. Ali berkata, “Kematian pasti akan datang, dan kematian bagi kelompok pendatang dan tidak pada penduduk yang mukim.”
Secara lahiriah Ali dan Aisyah sudah dapat menguasai keadaan hingga pertempuran akhirnya berhenti. Ali memerintahkan beberapa orang untuk mengangkat tandu Aisyah dan diletakkan di antara para orang-orang yang terbunuh, lalu Al-Qa’qa’ dan Zufar bin Harits menurunkannya dan meletakkannya di samping unta. Muhammad bin Abu Bakar dan sebagian orang memasukkan tangannya ke tandu, Aisyah bertanya, “siapakah ini?” Ia menjawab, “Saudaramu yang baik.” Aisyah menjawab, “Saudaraku yang jahat. ”
Pada tengah malam dari hari pertempuran itu Aisyah yang diantar oleh Muhammad sudah sampai kota Bashrah, dan perang tersebut berakhir dengan kemenangan pasukan Kufah yang dipimpin oleh pengikut-pengikut lbnu Saba’terhadap pasukan Bashrah.
Sedangkan Zubair pada hari kekalahan tersebut berjalan menuju Madinah tanpa kendaraan hingga akhimya dibunuh oleh Ibnu Jarmuz.
Ali sendiri tinggaldi Kufah selamatiga hari tidakmemasuki Bashrah sedikit pun, ketika Ka’ab bin Tsaur menemuinya ia mengatakan, “Engkau mengang[lap mereka yang datang adalah para orang-orang bodoh, apa yang engkau lihat terhadap noda hitam ini?” Ali ketika melihat orang baik lewat di depannya mengatakan, “Biarlah orang mengatakan bahwa yang datang adalah perusuh tetapi ia adalah orang yang taat beribadah.”
Para korban perang Jamal (unta) sebanyak 10.000 jiwa, sebagian dari pendukung Ali dan sebagian lagi dari pendukung Aisyah -sebagaimana menurut riwayat Saif-. Jumlah ini terlalu berlebihan karena Ali setelah perang Jamal menghitung jumlah uang yang ada di Baitul Mal jumlahnya ada 600.000 lebih, dan dibagikanlah kepada para pasukan yang berperang bersamanya, setiap orang mendapatkan 500 bagian.
Ali kemudian rnenulis surat kepada gubernumya di Kufah, “Dari Ali Amirul mukm in in, amma ba’ du, kita telah bertemu pada pertengahan Jumadil Akhir dengan pasukan dari Al-Kharibah sebuah nama daerah di Bashrah, kemudian Allah memberikan mereka pelaiaran bagi kaum muslimin, telah terbunuh banyak sekali di antara kita dan mereka..”
Ali tidak menjelaskan bagaimana terjadinya peperangan ini, dan tidak menjelaskan mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ia juga menganggap pasukan yang bersama Aisyah adalah termasuk kaum muslimin dan tidak menganggapnya sebagai orang-orang murtad karena telah keluar dari Khalifah.
Ali kemudian memberikan kepada Aisyah semua perlengkapannya baik kendaraan, makanan dan perbekalan, dan ikut bersamanya sisa-sisa pasukan yang masih selamat kecuali orang-orang yang masih ingin tinggal di Kufah, kemudian Ali memilih 40 wanita terbaik pilihan dari Bashrah untuk mengantarnya, kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad, antarlah ia hingga sampai Madinah.”
Pada hari keberangkatannya, Ali menemuinya dan berkumpulah orang-orang untuk melepaskan kepergiannya, ia berkata, “Wahai putera-puteraku! Diantara kita telah saling memusuhi, mulai sekarang janganlah kita saling memusuhi lagi. Sesungguhnya demi Allah, hubungan antaraAku dan Ali adalah hubungan anak dan mertuanya, ia merupakan orang yang sangat berharga bagiku.” Kemudian Ali menjawab, “Wahai para orang-orang yang hadir, sungguh benar apa yang dikatakannya, hubungan aku dan ia adalah seperti yang ia katakan, ia merupakan isteriNabi kamu di dunia dan di akhirat.” Kemudian Aisyah berangkat pada hari Sabtu pada bulan Rajab tahun 36 Hijriah. Ali juga mengantarkannya hingga beberapa mil dan membiarkan putera-puteranya untuk menemaninya semalam.
Bagaimana Saif Mampu Menceritakan Riwayat Secara Jelas dan Rinci
Dengan teks ini selesailah riwayatyang dinukiloleh Saif dari Muhammad dan Thalhah, andaikan kedua riwayat ini meneruskan riwayatnya hingga akhir sejarah Ali bin Abi Thalib maka akan terungkaplah teka-teki peristiwa yang telah mencoreng wajah umat ini dengan berbagai corengan. Kami melihat riwayat ini telah didahului oleh empat riwayat sebelumnya yaitu Muhammad, Thalhah, Abu Utsman dan Abu Haritsah. Keempat riwayat ini berakhir dengan kematian Utsman saja. Sedangkan Muhammad dan Thalhah mengakhiri ceritanya sampai beberapa peristiwa setelah itu yaitu sampai selesainya perang Jamal, saya melihat dua riwayat ini menafsirkan kepada kita tentang sikap Sahabat secara jelas, tidak ada celaan bagi mereka. Ia menyajikan kepada kita tentang teks-teks dan peristiwa sehingga ia dapat berbicara segala sesuatu, dengan demikian periwayatannya termasuk riwayat yang shahih.
Di sini kita bertanya-tanya bagaimana Saif mampu menceritakan riwayat secara jelas dan rinci, padahal riwayat-riwayat lain tidak bisa? Hal itu karena Saif berasal dari kabilah Thmim yang sangat terkenaldalam bidang cerita sejarah.
Sekarang kita perhatikan tentang sikap Bani Tamim terhadap fitnah, dan pengetahuan mereka terhadap fitnah tersebut. Bani Tamim adalah orang-orang yang tidak terlibat dalam fitnah ketika perang Jamal bersama tuan mereka Al-Ahnaf bin Qais, tidak ada satu pun yang ikut dalam pembunuhan Utsman, kemudian mereka ikut dalam barisan Ali bin Abi Thalib, dan berperang bersama Ali dalam perang Shiffin. Mereka juga tunduk kepada Bani Umayyah pada masa Muawiyah, kemudian mereka membela dan mendukung lbnu Zubair dan berperang bersamanya terhadap Abdul Malik bin Marwan, akan tetapi mereka kemudian juga ikut bergabung dengan Bani Umayyah setelah itu. Ia tidak mempunyai siasat politik yang satu, akan tetapi selalu menyesuaikan dengan keadaan yang ada. Kemudian sebagian mereka ikut ke golongan Khawarij hingga mengetahui kabar-kabar dari mereka, sebagian dari l{hawarij ada yang terlibat pembunuhan Utsman bin Affan bukan karena salah niat tetapi karena menegakkan qmar ma’ruf nohi mungkor. Dengan demikian kita telah melihat bahwa Bani Thmim telah mampu bermuamalah dengan semua pihak yang terlibat dalam fitnah, sehingga ia mampu mendapatkan kabar dari berbagai pihak. Tidak diragukan lagi bahwa sumber asli dari kabar-kabar tersebut adalah pemimpin mereka Al-Ahnaf bin Qais, ia adalah seorang tokoh bijaksana dan mengetahui keadaan perkara secara mendalam sebagaimana mengetahui fenomenanya, ia telah mengamati peristiwa fitnah dari dekat.
Tidak diragukan setelah itu bahwa Saif At-Tamimijuga mampu mengetahui peristiwa fitnah secara detaildan jelas dari kabilah dan keluarganya, tidak heran kalau riwayatnya seirama dengan riwayat Al-Ahnaf bin Qais, dan riwayat tersebut shahih dan sesuai dengan riwayat-riwayat lainnya.
Sebagai kesimpulan bahwa Saif bin Umar telah memberikan kepada kita kisah fitnah dari sumberyang nehaldan akurat. Kisah tersebut sesuai dengan riwayat-riwayat lainnya malah bisa menjadi penafsir,. penjelas, pemerinci dan dapat diterima.
Kesimpulan dari Cerita Fitnah
Kami tidak perlu menakwilkan sikap Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Aisyah dalam menyikapi fitnah ini. Sikap mereka semuanya sama yaitu menghendaki kebenaran dan tidak menginginkan pertempuran. Sedangkan kebenaran pada waktu itu adalah menghukum para pembunuh Utsman, akan tetapi mereka berbeda dalam bagaimana cara menghukum atas para pembunuh Utsman tersebut. Ali bin Abi Thalib melihat bahwa sekarang belum saatnya melakukan hal itu karena akan menyebabkan kabilah-kabilah fuab bergolak dan akan terjadilah persengketaan diantara mereka, hampirsaja ia dan orang-orang yang menyelisihinya berdamai, akan tetapipara pengikut lbnu Saba’telah kembali membakar fitnah-fitnah dan adu domba mereka, maka terjadilah pertempuran pada waktu malam gelap gulita dimana seorang pasukan tidak tahu mana kawan dan mana lawan.
Kita jangan sampai hanya menisbatkan fitnah tersebut kepada pengikut Ibnu Saba’ saja, karena pengikut lbnu Saba’ di sini juga mengambil kesempatan dari realita yang ada. Pada waktu itu muncullah golongan kaum yang tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang mungkar. Pengikut Ibnu Saba’ lalu mengambilkesempatan ini, mereka lalu menyusun kekuatan ini dengan memakai jargon omor mo’ruf nahi mungkar. Mereka pun akhirnya terjerumus dalam fitnah ini. Pada waktu itu hati-hati mereka telah membara, generasi muda mereka sudah tidak menghormati lagi akan generasi tua, untuk itu angin fitnah sangat mudah berhembus dengan kuatnya, sedangkan penghembus fitnah adalah orang-orang yang tidak menampakkan diri. Peristiwa-peristiwa ini juga kurang jelas sehingga para sejarawan banyak sekali membuat penakwilan sendiri terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Banyak sekali di antara mereka yang menakwilkan sebuah peristiwa secara jauh. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang menjadi bingung dan berselisih sampai sekarang ini.
Leave a Reply