Home » Blog » Sejarah Kerajaan Tidore

Sejarah Kerajaan Tidore

Sejarah Kerajaan Tidore

Sejarah Berdirinya Kerajaan Tidore

Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, yang lokasi persisnya berada di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama Limau Duko atau Kie Duko yang berarti “pulau yang bergunung api.” Penamaan ini disesuaikan dengan kondisi topograi pulau Tidore yang memiliki gunung api—bahkan merupakan gunung tertinggi di gugusan kepulauan Maluku—yang oleh penduduk asli, gunung tersebut mereka namakan gunung Kie Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Sedangkan untuk nama Tidore sendiri berasal dari gabungan dari tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re (aku telah sampai).

Disebabkan karena letak geograisnya yang berada di antara pulau Sulawesi dan pulau Irian jaya, Kerajaan Tidore menjadi salah satu kerajaan besar yang berada di kepulauan Maluku sekaligus memiliki posisi yang sangat strategis dan penting dalam dunia perdagangan masa itu. Ditambah lagi bahwa kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga di juluki sebagai “he Spicy Island.

Pada saat itu, rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan bertujuan ke sana akan melewati rute perdagangan tersebut. Para pedagang dari Arab dan India yang beragama Islam dan berperan dalam perdagangan internasional juga banyak yang berdagang dan menetap disana. Berwal dari situ, syiar agama Islam akhirnya sampai dan meluas di Maluku, seperti Ambon, Ternate, dan Tidore. Agama Islam yang masuk ke Kerajaan Tidore dibawa oleh Ciriliati, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliati atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Keadaan seperti ini, telah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada di Maluku, tiga lainnya adalah Ternate, Jaijolo dan Bacan. Dari keempatnya, hanya Tidore dan Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi dan militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, di mana Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur yang wilayahnya meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur, Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan dan sekitarnya. Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, letak pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan berada di kota mana. Baru pada era Jou Kolano Balibunga, beberapa informasi mengenai pusat kerajaan Tidore mulai sedikit terkuak meski masih dalam perdebatan. Tempat yang menjadi pusat pemerintahan terdahulu Kerajaan Tidore tersebut adalah Balibunga. Namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan di mana sebenarnya letak Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore dan ada pula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.

 Lambang Kesultanan Tidore.
Lambang Kesultanan Tidore.

Pada tahun 1495 M, saat Kerjaan Tidore dipimpin oleh Sultan Ciriliati, letak pusat kerajaan berada di Gam Tina dan ketika Sultan Mansyur naik tahta pada tahun 1512 M, pusat kerajaan dipindahkan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Perpindahan posisi ibu kota baru ini berdekatan langsung dengan kerajaan Ternate dan hanya diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang serta dekat dengan Kerajaan Ternate yang juga merupakan salah satu kerajaan besar, akhirnya lokasi ibukota yang baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.

Dalam sejarah kerajaan Tidore, tercatat sudah terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Tahun 1600 M misalnya, ibukota dipindahkan oleh Sultan ke 17 kerajaan Tidore yaitu Mole Majimu (Ala ud-din Syah)  dari Rum ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan karena meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih menjadi animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibu kota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan ke 33 yaitu Sultan Saif ud-din (1857 – 1865). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.

Selain Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore juga merupakan salah satu Kerajaan besar di jazirah Maluku Utara yang berhasil mengembangkan kekuasaannya terutama ke wilayah selatan pulau Halmahera dan kawasan Papua bagian barat. Sejak 600 tahun yang lalu Kerajaan ini sudah mempunyai hubungan kekuasaan hingga sampai ke Irian Barat (Pesisir Tanah Papua).

Waktu itu, yang memegang kendali kekuasaan pemerintahan di Kerajaan Tidore adalah Sultan Mansyur, Sultan Tidore yang ke 12.

Menurut (almarhum) Sultan Zainal Abidin “Alting” Syah (Sultan Tidore yang ke 36) yang dinobatkan di Tidore pada 27 Februari 1947 / 26 Rabiulawal 1366 H, bahwa Kerajaan Tidore terdiri dari 2 bagian, yaitu:

  1. Nyili Gam
    1. Yade Soa-Sio se Sangadji se Gimelaha
    2. Nyili Gamtumdi
    3. Nyili Gamtufkange
    4. Nyili Lofo-Lofo
  2. Nyili Papua (Nyili Gulu-Gulu)
    1. Kolano Ngaruha (Raja Ampat)
    2. Papua Gam Sio
    3. Mavor Soa Raha

Disebutkan dalam catatan beliau, bahwa bukan Irian Barat melainkan Papua. Kerajaan Tidore juga pernah menaklukkan pulau-pulau di sekitarnya seperti pulau Gebe, pulau Patani, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Sorong, Gorong, Maba, Weda dan Papua. Ketika Sultan Mansyur yang merupakan Sultan Tidore pernah mengadakan expedisi sampai ke pulau Halmahera bagian selatan sampai di “Papua” dan pulau-pulau sekitarnya dicatat dalam sebuah sejarah dengan menggunakan bahasa Tidore. Yang kurang lebih seperti ini.

“Madero toma jaman yuke ia gena e jaman “Jou Kolano Mansyur” Jou Lamo yangu moju giraa2 maga i tigee Jou Kolano una Mantri una moi2 lantas wocatu idin te ona: Ni Kolano Jou Ngori ri nyinga magaro ngori totiya gam enareni, tiya Mantri moi2 yo holila se yojaga toma aman se dame madoya.

Ngori totagi tosari daerah ngone majoma karena daerah ngone enareni yokene foli, kembolau gira toma saat enarige ona jou Mantri moi-moi yo marimoi idin enarige, lantas Jou Kolano una rigee wotagi wopane oti isa toma Haleyora (Halmahera) wodae toma rimoi maronga Sisimaake wouci kagee lalu wotagi ine toma Akelamo lantas kagee wotomake jarita yowaje coba Jou Kolano mau hoda ngolo madomong kataa, gena e lebe laha Jou Kolano nowako koliho mote toma lolinga madomong kataa, gena e lebe laha Jou Kolano nowako koliho mote toma lolinga karena kagee seba foloi.

 Lantas gaitigee Jou Kolano wowako sewolololi ino toma lolinga majiko wotagi ia toma Bobaneigo lantas gaitigee womaku tomake se Jou Kolano Ternate, “Jou Kolano Komala” Gira Jou Kolano ona ngamalofo rigee yo maku yamu rai se yo maku sawera sewowaje, Jou Kolano Ternate tagi turus ia toma Kao, Jou Kolano Tidore woterus toma Lolobata, Bicoli, Maba se Patani.

Lantas kagee Jou Kolano wolahi Kapita2 kagee toma Maba, Buli, Bicoli se Patani ona yomote una terus toma Gebe la supaya yohoda kiye mega yoru-ruru, yo bapo ino uwa, toma Gebe madulu se I ronga “Papua”.

 Gira2 tigee ona Kapita moi2 yomote Jou Kolano ine toma Gebe lalu turus toma Salawati, Waigeo, Waigama, Misowol (Misol), terus ine toma Papua Gam Sio, se Mavor Soa-Raha. Raisi karehe Jou Kolano se ona Kapita ona rigee yowako rora tulu toma Salawati, wotia Kapita hamoi se woangkat una wodadi Kolano kagee, hamoi yali toma Waigeo, hamoi yali toma Waigama, se hamoi yali toma Masowol (Misol). Kapita-kapita ngaruha onarigee Jou Kolano woangkat ona yodai Kolano teuna ipai maalu gena e mangale Kolano Ona Ngaruha rigee ngapala Kapita Patani, ona ngaruha yoparentah yodo toma Papua Gam Sio se Mavor Soa Raha”.

Yang jika diterjemahan memiliki arti sebagai berikut :

“Bahwa pada masa dahulu kala, masa kekuasaan Sultan Tidore yang bernama “Mansyur“, dimana daerah kekuasaannya belum/tidak luas, maka beliau berikir, bahwa wilayah Kerajaan di Tidore pada masa itu memang terlalu kecil yakni hanya di pulau Tidore. Beliau menetapkan untuk keluar mencari daerah tambahan. Para Menteri beliau berhadap dan titah beliau, bahwa atas maunya sendiri bertolak nanti dari Tidore untuk maksud yang utama dan kepada Menteri2 beliau tinggalkan kerajaannya untuk dijalankan oleh para Menteri, menjaga agar supaya berada aman dan damai. Menteri bersatu dan menerima baik yang dititahkan.

Lalu dengan sebuah perahu biduk beliau beserta beberapa pengawal dan pengikutnya bertolak dari pulau Tidore ke Halmahera tengah dan selatan, tiba pada sebuah tempat namanya Sismaake. Di sana Beliau turun dan berjalan kaki ke Akelamo. Di Akelamo beliau mendapat keterangan/ceritera dan mendapat saran dari orang di Akelamo, katanya jika beliau hendak melihat lautan sebelah (lautan di teluk Kao Halmahera), maka sebaiknya beliau melewati jalan di Dodinga, karena di Dodinga sangat dekat dengan lautan sebelah. Sri Sultan Mansyur kembali dari Akelamo menuju Dodinga dan dari Dodinga berjalan kaki ke Bobaneigo.

Di Bobaneigo Sultan Ternate yang ke XVI bertemu dengan Sri Sultan Ternate Bernama “Komala“, Kedua Sultan tersebut kemudian saling bertanya dan akhirnya menyepakati untuk membagi pulau Halmahera menjadi dua wilayah kekuasaannya, dari Dodinga ke utara menjadi kekuasaan dari Sultan Ternate sedangkan wilayah dari Dodinga ke selatan Sultan Tidore yang menjadi penguasanya.

Pembagian kekuasaan di Halmahera ini menjadikan pulau Halmahera tepatnya di daerah Dodinga menjadi batas wilayah kultur antara kedua Kerajaan ini, bahkan masih bias dilihat dan ditemui sampai sekarang bakas pembagian tersebut, bahkan pembagian daerah dengan cara pembagian yang seperti Sultan Ternate dan Tidore lakukan sampai saat ini dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk menetapkan batas wilayah Kabupaten sejak jaman Indonesia merdeka.

Kemudian dalam perjalanan selanjutnya Sultan Mansyur berkelana menuju kedaerah Lolobata, Bicoli, Maba, Buli dan Pulau Patani. Di sana Sultan Mansyur minta supaya Kapitan-kapitan dari Maba, Buli, Bicoli dan Patani turut dengan beliau ke pulau Gebe untuk menyelidiki pulau-pulau apa yang terapung di belakang pulau Gebe, dalam pengamatan Sultan Mansyur terlihat antara pulau yang satu dengan lain tidak berdekatan. Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Sultan Mansyur saat itu adalah pulau “Papua”.

Kapitan-kapitan yang diajak oleh Sultan Mansyur tersebut akhirnya turut dengan beliau ke Gebe, terus berlanjut ke Salawati, Waigeo, Waigama, Misowol hingga pada daerah yang disebut sebagai Papua Gam Sio (Negeri Sembilan di tanah Papua) dan Mavor Soa Raha Empat Soa/ Klan di Mavor). Sesudah berhasil sampai di pulau Papua tersebut Sultan Mansyur dan Kapitan-kapitannyanya kembali, singgah di Salawati, Waigeo, Waigama dan Misowol, dan disana Sultan Mansyur mengangkat keempat kapitan tadi menjadi Raja setempat yang bergelar seperti dirinya (Kolano), mereka berempat disebut sebagai “Raja Empat” sebuah raja yang masih dibawah naungan payung kekuasaan Sultan Mansyur Raja dari kerajaan Tidore yang mengangkat mereka menjadi raja, dengan pengertian tersebut, dikpahami bahwa mereka berempat menjadi Raja tetapi masih tunduk dan harus mendengar perintah dari Sultan Tidore. Kekuasaan ke-empat Raja itu sampai di daerah yang disekitarnya yang kemudian disebut Papua Gam Sio dan dearah Mavor Soa-Raha”.

Namun sumber/ referensi tentang pengangkatan raja empat bila dikaji lebih jauh dengan menggunakan Analisa Historiograi, maka masih terdapat beberapa kelemahan, diantaranya:

  1. Tidak dijelaskan tahun berapa atau kurun waktunya kapan dari kejadian yang diuraikan dalam sumber ini.
  2. Tokoh sentral yang dijelaskan dalam sumber ini adalah “Sultan Mansyur”, namun dalam cerita ini Sultan Mansyur yang mana? Karena dalam silsilah kerajaan Tidore terdapat empat Sultan yang memakai nama Mansyur.

Terlepas dari itu semua, sejarah telah mencatat bahwa beberapa daerah diluar pulau Tidore, mulai dari Papua barat hingga pulau-pulau di selatan Pasiik pernah menjadi bagian dalam historis kerajaan Tidore.

Berikut ini adalah nama-nama Kolano / Sultan kerajaan Tidore yang diurutkan berdasarkan tahun berkuasa dalam pemerintahannya, penyusunan ini didasarkan dari beberapa sumber baik lokal maupun sumber asing yang menjadi referensi kajian kerajaan Tidore dan silsilahhnya adalah sebagai berikut:

  1. (……… – ………) Kolano Sah Jati
  2. (……… – ………) Kolano Bosamuangi
  3. (……… – ………) Kolano Subu
  4. (……… – ………) Kolano Balibunga
  5. (……… – ………) Kolano Duku Madoya
  6. (1317     – ………) Kolano Kie Matiti
  7. (……… – ………) Kolano Sele
  8. (……… – ………) Kolano Metagena
  9. (1334   – 1372) Kolano Nur ud-din
  10. (1373 – …?…) Kolano Hasan Syah
  11. (1495 – 1512) Sultan Ciriliati aliasJamal ud-din
  12. (1512 – 1526) Sultan Mansyur
  13. (1529 – 1547) Sultan Amir ud-din Iskandar Zulkarnain
  14. (1547 – 1569) Sultan Kie Mansyur
  15. (1569 – 1586) Sultan Miri Tadu Iskandar Sani Amir ulMuzlimi, kawin dengan Boki Randan Gagalo, seorang puteri dari Sultan Babu’llah Datu Syah ibni Sultan Khair ul-Jamil.
  16. (1586 – 1599) Sultan Gapi Maguna alias Sultan Zainal Abidin Siraj ud-din aliasKaicil Siraj ul-Arain, yang kawin dengan Boki Filola pada tahun 1585 seorang puteri dari sultan Ternate Sultan Said ud-din Barakat Syah ibni al-Marhum Sultan Babullah Datu Syah
  17. (1599 – 1626) Sultan Mole Majimu aliasMolemgini Jamal ud-din alias ‘Ala ud-din Syah
  18. (1626 – 1633) Sultan Ngora Malamoalias Sultan ‘Ala uddin ibni Sultan Jamal ud-din
  19. (1633 – 1653) Sultan Gorontalo alias Kaicil Sehe
  20. (1653 – 1657) Sultan Magiau aliasSultan Said ud-din ibni Sultan ‘Ala ud-din alias Kaicil Saidi
  21. (1657 – 1689) Sultan Syaif ud-din aliasKaicili Goloino
  22. (1689 – 1700) Sultan Hamzah Fakhr ud-din ibni alMarhum Sultan Syaif ud-din
  23. (1700 – 1708) Sultan Abul Falal al-Mansyur
  24. (1708 – 1728) Sultan Hasan ud-din
  25. (1728 – 1756) Sultan Amir Muhid-din Bi-fallil-ajij alias Kaicil Bisalalihi (1756 – 1780) Sultan Jamal ud-din
  26. (1780 – 1784) Sultan Patra Alam
  27. (1784 – 1797) Sultan Kamal ud-din
  28. (1797 – 1805) Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah aliasKaicil Paparangan alias Jou Barakati
  29. (1805 – 1810) Sultan Mohammad Zain al-Abidin
  30. (1810 – 1822) Sultan Mohammad Tahir (Wafat : 17 November 1821)
  31. (1822 – 1856) Sultan Akhmad-ul Mansyur (Dinobatkan 19 April 1822, wafat 11 Juli 1856)
  32. (1857 – 1865) Sultan Akhmad Sai ud-din aliasKhalifat ulMukarram Sayid-din Kaulaini ila Jaabatil Tidore alias Jou Kota (Dinobatkan April 1857)
  33. (1867 – 1894) Sultan Johar Alam (Dinobatkan Agustus 1867)
  34. (1894 – 1905) Sultan Akhmad Kawi ud-din Alting alias Kaicil Syahjoan, (Dinobatkan Juli 1849) Pada masa ini Keraton Tidore dibumihanguskan sebagai sikap protes terhadap kebijakan pihak Belanda yang merugikan Tidore).
  35. (1947 – …….) Sultan Zain al-Abidin “Alting” Syah (Dinobatkan di Tidore pada tgl. 27 Perbruari 1947, bertepatan dengan tgl. 26 Rabiulawal 1366-H).
  36. (Sekarang) Sultan Djafar “Dano Yunus” Syah, (Dinobatkan ————- hingga sekarang).

 Masa Kejayaan Kerajaan Tidore

Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa pemerintahan Sultan Nuku yang pada masa kekuasaannya antara tahun 1797 – 1805, Sultan Nuku memiliki nama lain seperti Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou Barakati. Pada masa pemerintahanya wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas bahkan mencapai Tanah Papua di selatan samudra pasiik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram Timur. Menurut beberapa tulisan di berbagai situs internet, dituliskan bahwa kekuasaan Tidore sampai ke beberapa kepulauan di pasiik selatan, diantaranya; Mikronesia, Melanesia, kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan identitas nama daerah dengan embelembel Nuku, antara lain; kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas tidaklah mudah. Perlu penelitian tersendiri. Hal ini juga dibantah oleh salah satu Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastera Universitas Khairun Ternate yang tidak mau menyebutkan namanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa “agak mustahil” kekuasaan Sultan Nuku bisa sampai ke ke kawasan pasiic.

Alasan bantahan terhadap hal ini didasarkan pada argumennya bahwa:

  1. Pasiik Selatan terlalu jauh dari Tidore.
  2. Tidak adanya pengakuan dari penduduk setempat di Pasiic Selatan bahwa mereka mempunyai kaitan sejarah dengan Sultan Nuku.
  3. Tidak ada bukti-bukti dan catatan tertulis tentang kapan dan bagaimana Sultan Nuku data ng dan memberi nama pulau-pulau tersebut.
  4. Masyarakat Pasiic Selatan saat ini mayoritas beragama Kristen. Jika memang kekuasaan Sultan Tidore telah sampai ke sana tentu ada jejak-jejak Islam ditemukan di sana.
  5. Sultan Nuku hidup ketika penjajah Eropa sudah berdatangan ke wilayah Timur dan wilayah Pasiic Selatan diduduki oleh mereka.
  6. Masa hidup Sultan Nuku lebih banyak digunakan untuk berjuang melawan Belanda.
  7. Adanya nama Nuku di depan nama kota atau tempat di sana bukanlah bukti yang bermakna kuat karena bisa saja kata “Nuku” di sana mempunyai arti yang berbeda.

Argumentasi ini sangat beralasan, karena tidak ditemukan catatan sejarah tempat-tempat dimaksud yang menjelaskan bahwa mereka mempunyai kaitan sejarah dengan Kesultanan Tidore dengan Sultan Nuku-nya. Juga tidak ditemukan jejakjejak hadirnya orang-orang Tidore di daerah ini.

Walaupun demikian, terlepas dari “perdebatan” permasalahan ini, fakta sejarah mencatat bahwa di masa Sultan Nuku yang hanya berkuasa sekitar delapan tahun inilah, Kerajaan Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang wilayahnya paling luas dan disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa.

Struktur Pemerintahan di Kerajaan Tidore

Sistem kesultanan Tidore pada masa awal merupakan sistem yang masih sederhana, karena kerajaan Tidore pada awalnya merupakan kumpulan-kumpulan soa-soa atau kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah yang berkumpul di bawah satu pimpinan dan kemudian diangkat menjadi sultan, sehingga semboyan ilosois kesultanan pada masa itu yaitu Kolano se i rakyat yang artinya Sultan dengan Rakyatnya. Kemudian diubah menjadi Kolano Se i Bobato Dunia (adat) Se i Bobato Akherat (Agama ) Se i Rakyat pada masa Sultan ke delapan.

Dan pada akhirnya dari sejarrah terbentuknya kerajaan Tidore ini menjadi kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan yang sangat unik, dibandingkan dengan sistem kerajaan Islam lainnya yang pernah ada di Nusantara. Kerajaan ini menganut sistem pemerintahan yang sangat Demokrasi serta Monarki secara bersamaan dalam suatu sistem pemerintahan kesultanan.

Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan Tidore sangat demokratis, hal ini ditunjukkan saat dalam pengangkatan seorang sultan muda (putra mahkota) bukan diambil dari putra raja itu saja akan tetapi segenap keturunan-keturunan kerajaan lainya yang kemudian diseleksi dan selanjutnya dipilih oleh bobato-bobato yang diserahi tugasnya masing-masing. Sistem pemerintahan kesultanan Tidore mulai berkembang dengan baik adalah pada masa kesultanan Nuku ada tambahan bobato yaitu dewan wazir, dan adanya sistem pelimpahan kewenangan yang cukup jelas dan memberikan otonomi khusus kepada setiap daerah kecamatannya. Olehnya dalam sistem pemerintahan kesultanan Nuku membagi 3 wilayah kekuasaannya yaitu pemerintahan Ibukota Kesultanan, Pemerintahan dalam pulau Tidore.

Sistem pemerintahan ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku telah ditata dengan baik. Saat itu, Sultan (Kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syaraa, adat se Nakudi. Dewan ini dipimpin oleh Sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (Perdana Menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato Pehak Raha (Bobato empat pihak) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir.

Sistem dan Struktur Pemerintahan yang dijalankan di Kerajaan Tidore pada masa lampau cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan Sultan. Menariknya, di keempat Kerajaan di Jazirah Maluku Utara yang dikenal dengan “Moloku Kie Raha” yaitu; kerajaan Jailolo, kerajaan Bacan, kerajaan Ternate dan termasuk di kerajaan Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota yang dijadikan sebagai penerus kekuasaan ketika sang Raja meninggal sebagaimana sistem regenerasi kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Penerus kerajaan Tidore dipilih dengan model Seleksi, proses seleksi seseorang untuk dipilih  menjadi Sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari pihak Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi Sultan Tidore tentunya dengan pemenuhan sarat-sarat yang telah ditentukan oleh hokum adat.

Selanjutnya mengenai Struktur Pemerintahan Kerajaan Tidore sejak Sultan Tidore yang pertama yaitu Sultan Syah Jati alias Mohammad Nakel baru kemudian mengalami perubahanperubahan bentuk pemerintahan di jaman Sultan Ciriliati, dalam beberapa sumber menyebutkan Sultan ini yang pertama kali mulai masuk Islam, mungkin karena pengaruh masuknya agama Islam inilah yang menyebabkan perlunya perubahan sistem kekuasaan dari sebelumnya dan kemudian disempurnakan pada jaman Sultan Syai ud-din yang bergelar Khalifat ul-mukarram Sayid-din Kaulaini ila Jaabatil Tidore, perubahan sistem tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Kolano Sei Bobato Pehak Raha, artinya : Sultan dan 4 Kementeriannya dengan pegawai, yang terdiri dari :

  • Pehak Bobato, Urusan Pemerintahan dikepalai oleh Jogugu. Anggota2nya:
    1. Hukum
    2. Sangadji
    3. Gimalaha
    4. Fomanyira
  •  Pehak Kompania, Urusan Pertahanan dikepalai oleh Kapita2/Mayor :
    1. Leitenan
    2. Aliris
    3. Jodati
    4. Serjanti
    5. Kapita Kie
    6. Jou Mayor, dan
    7. Kapita Ngofa
  • Pehak Jurutulis, Urusan Tata-Usaha dikepalai oleh Tullamo (Sekneg). Anggota2nya :
  1. Jurutulis Loaloa
  2. Beberapa Menteri Dalam, yaitu:
    • Sadaha, (Kepala Rumah Tangga Kerajaan)
    • Sowohi Kiye, (Protokoler Kerajaan Bidang Kerohanian),
    • Sowohi Cina, (Protokoler Khusus Urusan Orang Cina),
    • Sahabandar, (Urusan Administrasi Pelayaran).
    • Fomanyira Ngare, (Public Relation Kerajaan)
  1. Pehak Lebee, urusan Agama/Syari’ah dikepalai oleh seorang Kadhi. Anggota2nya :
    1. Imam
    2. Khotib
    3. Modin

Selain struktur tersebut di atas masih terdapat Jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Surang Oli yang membidangi urusan propaganda.

Masuknya Bangsa Eropa ke Kerajaan Tidore

Sultan kedua Tidore yaitu Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 kemudian ia menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Almansur adalah Sultan yang pertama menerima kedatangan bangsa Spanyol di Tidore, Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia. Kedatangan Spanyol ke Tidore adalah untuk mengajak kerajaan Tidore beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis sebemnya.

Untuk mendukung kemajuan perdagangan di Tidore dengan tangan terbuka, ditambah lagi melihat kerajaan Ternate yang terlebih dahulu bekerja sama dengan Bangsa Portugis maka tidak ada kecurigaan sama sekali akan adanya tindakan buruk dari bangsa Spanyol mengakibatkan Sultan Almansur memberikan tempat spesial bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Waktu awal datang bangsa Spanyol menukar sepotong kain merah dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga memaksa sultan Almansur harus mencari remaph-rempah di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah awal mula kerjasama antara Tidore dan Spanyol, hubungan perdaganganpun semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga sampai bidang militer.

Pada tahun 1524 mulai terjadi persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah antara pasukan kerajaan Ternate dan Tidore, saat itu pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu kerajaan Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah dalam penyerangan tersebut meskipun serangan gabungan antara Ternate dan Portugis berhasil mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Berselang dua tahun berikutnya pada tahun 1526 Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti. Kegagalan serangan dan perselisihan antara Ternate dengan bantuan dari Portugis dan Tidore dengan bantuan dari Spanyol berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan isi bahwa Portugis harus mengganti imbalan sebesar 350.000 ducats pada Spanyol maka Charles V sebagai raja Spanyol kala itu bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku, namun setelah disepakatinya perjanjian tersebut tidak serta merta membuat seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.

Putera bungsu Sultan  Almansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore Pada tahun yang sama saat Perjanjian Zaragosa disepakati, dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, pada saat Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang Tidore, hal ini tentunya menghianati perjanjian Zaragosa yang telah disepakati oleh kedua raja Portugis maupun Spanyol. Dalam penyerangan itu pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan meninggalkan Tidore.

Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat pada tahun 1547 dan digantikan oleh Sultan Saifuddin, dalam perjalanan tongkat estafet kesultanan berikutnya berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore. Namun demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan. Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya uniikasi kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak. Uniikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya pada tanggal 26 Desember 1575, yaitu Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar berhasil menaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Kondisi yang lemah dan terdesak inilah yang mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis harus membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.

Pada tanggal 26 Maret 1606, Don Pedro da Cunha Gubernur Jenderal Spanyol di Manila,  mulai membaca gerakgerik VOC-Belanda yang mencoba memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Mulai merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda di Maluku, ditambah bahwa VOC-Belanda mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate untuk memperkuat posisinya dalam kancah perdagangan di Maluku maka Don Pedro da Cunha memimpin pasukan untuk menggempur Benteng Gamlamo tempat yang menjadi basis kekuatan VOC-Belanda di Ternate, penyerangan yang dilakukan Spanyol tentu saja dengan bantuan dari Tidore bekas kerajaan yang pernah menjadi aliansinya, pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu kerajaan Tidore dengan senang hati membantu Spanyol dalam mengusir VOC-Belanda di Ternate. Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol. Dan sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku diangkatlah Paulus van Carden.

Pada tahun 1663 Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. secara mengejutkan Spanyol bahkan menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, Nampak juga meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku. Ketika itu kerajaan Tidore diperintah oleh Sultan Tidore ke 12 yaitu Sultan Saifudin, dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan akhirnya VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu.

Menghindari kerusakan dan kerugian yang lebih besar pada akhirnya Sultan Saifudin melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah:

  1. VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan.
  2. Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.

Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan atas Maluku.

Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih menjadi turun drastis. “Hongi Tochten” ini sebenarnya sudah pernah diterapkan pada Kesultanan Ternate pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Dengan memberikan imbalan tertentu (recognitie penningen) pada kerajaan oleh VOC akibat operasi ini.

Kesultanan Tidore semakin melemah sepeninggal Sultan Saifudin. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di kalangan istana, dengan kondisi kerajaan yang lemah menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok sebagian besar wilayah kerajaan Tidore. Puncak dari kekacauan ini terjadi hingga pemerintahan Sultan Kamaluddin (17841797), dimana sejarawan mencatat bahwa Sultan Kamaluddin memiliki perangai yang kurang baik sehingga mengakibatkan terjadinya banyak kerusuhan baik diluar dan didalam istana. Namun demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan Nuku, seorang Sultan yang akan menjadikan kerajaan Tidore bangkit dari keterpurukan dan menjadikan kerajaan Tidore menjadi kerajaan terbesar di Maluku.

Pada tahun 1780, Sultan Nuku membuat gebrakan dengan memproklamasikan dirinya sebagai Sultan dari kerajaan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan Tor.

Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku. Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang dengan berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Pada titik ini bahkan kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.

Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku atas VOC-Belanda juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di Eropa terlebih negeri Belanda. Pada tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku dan hal inilah yang dimanfaatkan oleh Sultan Nuku untuk merebut kembali kekuasaan yang diambil oleh VOC-Belanda.

Pada tanggal 14 November 1805, akhirnya Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.

Hal yang diingat oleh rakyat Malaku, Tobelo, Galela dan Lolada tentang Sultan Nuku adalah sifatnya yang memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku juga terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Sultan Nuku-lah seorang Sultan dari kerajaan Tidore yang berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang didalamnya terdapat kemauan dan kemampuan untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.

You also like

Kerajaan Perlak

Kerajaan Perlak

Sejarah Berdirinya Kerajaan Perlak Perlak yang terletak di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara,…
Hasil Peradaban Mongol Masa Islam

Perang Salib dalam Lintasan Sejarah

Perang Salib adalah perang agama yang terjadi selama hampir tiga abad sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap…
Sejarah Kesultanan Gowa

Sejarah Kesultanan Gowa

Gowa, atau dikenal sebagai Goa adalah sebuah kerajaan yang terletak di daerah Sulawesi Selatan. Apabila membicarakan Kerajaan Gowa…
Sejarah Kerajaan Siak

Sejarah Kerajaan Siak

Sejarah Berdirinya Kerajaan Siak Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak adalah kawasan yang berada…
Sejarah Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram Islam

Asal Usul Kerajaan Mataram Islam Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582 dan berpusat di Kotagede, Yogyakarta. Sejarah kerajaan…
Sejarah Kerajaan Cirebon

Sejarah Kerajaan Cirebon

Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon Cirebon adalah salah satu kota besar yang ada di provinsi Jawa Barat. Cirebon mempunyai…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Shopping Cart

No products in the cart.

Return to shop

Nama Toko

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu